Selasa, 26 Juli 2011

Sebuah Pengakuan


Jarum jam terus berjalan, setia dengan keteraturannya, mendekati magrib. Sementara, jari-jari saya penuh keragu-raguan menekan tuts keyboard. Sudah cukup lama saya duduk di depan layar. Kebanyakan hanya menatap layar kosong. Atau mengetik lalu menghapus. Mengetik lalu menghapus lagi. 

Mata saya perih. Mungkin terlalu lama di depan layar. Tapi itu takpenting, dibanding dengan kelelahan yang akhir-akhir ini saya rasakan. Ya saya lelah. Setelah cukup lama melakukan penyangkalan, akhirnya, dengan cukup susah payah, saya akui, saya lelah. Pengakuan itu sungguh membuat lega. Kautakharus tampil kuat dan tegar setiap saat, kan. 

KepadaNya pertama kali saya mengakui kelelahan saya. Kalimat doa “Allah, beri saya selalu kekuatan, beri saya kemampuan…,” pun berganti dengan “saya lelah, lelah sangat, Allah, dan saya takut kelelahan ini berdampak tidak baik pada diri saya, pada hubungan saya dengan orang lain, dan terutama pada hubungan saya denganMu. Lindungi saya…”

Lelah yang saya maksud di sini, tentu bukan (hanya) lelah fisik. Jika kau lelah fisik, kaubisa membayarnya dengan tidur yang lebih lama dari biasanya, makan dengan gizi yang lebih, atau jalan-jalan. Mudah. Setelahnya, kaubugar kembali. 

Lelah yang saya maksud di sini adalah, meski tidurmu cukup, makanmu takkurang, kautetap merasakan lelah. Hati dan pikiranmu yang sesungguhnya lelah. Dan kelelahan menyebabkan konsentrasimu berkurang. Kesabaranmu menipis. 

Hanya saja, mengakui kelelahan bukan berarti berhenti. Mengakui berbeda dengan berhenti. Saya mengakui bahwa saya lelah, akan tetapi itu bukan berarti bahwa saya berhenti sampai di sini. Bagi saya, lelah adalah sebuah pertanda bahwa saya sudah membutuhkan energi tambahan. Mengakui kelelahan berarti bersedia mengalokasikan sebagian waktu untuk mengisi (terutama) jiwamu dengan energi. 

Dan kautahu? Mengakui kelelahan meringankan pundakmu. Entah kenapa. Mungkin karena pengakuan lelah  juga merupakan pengakuan bahwa kauadalah manusia yang memiliki batas kekuatan. Kaumengakui batasmu. Dan untuk bisa bergerak melebihi batas tersebut, kaumembutuhkan bantuan. Kau mengakui bahwa kaumembutuhkan bantuan. Meski energi belum bertambah, paling tidak, dengan pundak yang terasa lebih ringan, kaumasih bisa tetap berjalan.

Apa yang membuat saya lelah? Banyak hal. Semua bertumpuk, menggumpal, lalu menyekat hati dan pikiran. Dan biasanya, yang menyebabkan saya tetap bertahan adalah … impian. 

Meskipun menghadapi hari-hari yang sulit dan kaujatuh bangun menjalaninya, namun memiliki impian yang jelas dan spesifik, mengetahui bahwa realisasi dari impian itu akan membawa manfaat untuk  orang banyak, impian itu kauniatkan sebagai persembahan untuk SangPenciptamu atas kesempatan yang telah diberikanNya sebagai wakilNya, dan takkalah penting, apa yang kaulakukan saat ini, selain adalah minatmu, juga kausangat-sangat yakin telah sejalan dengan impianmu ... Itu yang membuatmu bertahan dan terus berjuang. Sebab di sana lah letak sumber energimu.  

Dan saat merasakan kelelahan, saya selalu mengingat alasan yang menyebabkan saya memilih jalan ini. Terutama dalam hal pekerjaan. Pekerjaanmu adalah kegiatan yang paling menyedot waktumu, kan? Dan sumber kelelahan utama, sangat mungkin, berasal dari sana. 

Orang yang bekerja dengan impian yang jelas dan orang yang bekerja hanya untuk makan dan memenuhi gaya hidup, tentu, akan memiliki ketahanan dan daya juang yang berbeda, kan? Pun bila kaumemiliki impian yang jelas, namun hanya sebatas mengejar jabatan dan popularitas, ketahanan dan daya juangmu pun masih akan kalah jauh dengan orang-oang yang impiannya melampaui atribut-atribut duniawi itu.

Dalam pekerjaan, tugas-tugas yang membuat saya merasa cepat lelah adalah tugas-tugas yang mengharuskan saya berkomunikasi, berkoordinasi, dan bernegosiasi dengan manusia lain, entah itu atasan, tim, mitra, maupun klien. Dan realitanya, memang kegiatan itulah yang cukup mewarnai sebagian hari-hari saya. Pekerjaan yang hampir setiap waktu mengharuskan saya membuka diri seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Dan akhir-akhir ini, dering hp, sms, atau email mampu membuat perut saya langsung mulas. Sebab, itu memang bukan saya yang sebenarnya. 

Terasa aneh ya. Di satu sisi saya mencintai pekerjaan saya, namun di sisi lain, saya menjalani sesuatu yang bukan saya. Secara keseluruhan, ya, ini adalah bidang yang saya minati. Hanya saja, sebagian kecil pada salah satu sudut bidang itu, memang bukan saya. Dan sebagian kecil itu akhir-akhir ini, dan dalam rentang beberapa waktu ke depan, memang agak dominan hadir dalam hari-hari saya. 

Dan impianlah yang menguatkan saya. Untuk mewujudkannya, saya membutuhkan kemampuan yang saya dapatkan dari menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini.


: kalaukalau “kamu” bertanyatanya apa alasan saya tetap bertahan dan berjuang di sini.


 Salam,


Nanda