Selasa, 27 Desember 2011

Melepas Topeng Kemandirian



Ibu saya berasal dari Matur, sebuah desa yang pasti akan dilewati orang jika akan menuju Danau Maninjau, salah satu tempat wisata terindah di Sumatera bagian Barat. Sementara, ayah saya berasal dari Tanete, Sulawesi Selatan, sebuah desa yang pada saat saya berumur tiga atau empat tahun, rumah-rumah di sana belum memiliki toilet yang layak, dan jika ingin buang hajat, mereka terlebih dulu harus menggali lubang di rimba sekitar.


Ayah saya bekerja di Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) sebagai Mualim, lalu kemudian (karena satu dan lain hal) memutuskan untuk melepas status pegawai negerinya dan bekerja di kapal swasta. Ibu saya seorang guru smp negeri di Padang, Sumatera Barat, dan kini tengah bersiap memasuki masa pensiunnya.


Setelah menikah, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Padang, ibukota Sumatera Barat. Lalu, di kota ini, lahirlah saya dan adik-adik. Meskipun saya bukan keturunan Minang asli, namun oleh karena Sumatera Barat menganut adat matrilinear (keturunan berasal dari pihak ibu) dan saya seorang perempuan, maka saya tetap diakui sebagai orang Minang dan juga sebagai penerus keturunan.


Saat saya berusia sekitar tiga tahun, ayah dan ibu memutuskan untuk pindah ke Sulawesi Selatan. Mungkin karena rute kapal ayah singgah di Sulawesi Selatan dan tidak lagi singgah di Sumatera Barat. Mungkin. Saya taktahu persis. Ibu memutuskan untuk berhenti penuh bekerja, juga berhenti dari status pegawai negerinya. Sebelum pasti kami akan tinggal di kota mana, untuk sementara kami tinggal di rumah kakak ayah, di Lakesik, salah satu desa di sana.


Namun kepindahan itu hanya berlangsung indah untuk sementara waktu. Sebagai orang yang bekerja di kapal, adalah wajar bila ayah saya pulang hanya dalam jangka waktu tertentu. Akan tetapi, semakin lama kepulangan dan kepergiannya semakin berjarak. Semakin ke sini, lebih sering hanya sejumlah kiriman uang saja yang sampai ke rumah. Naasnya, berkali-kali kiriman dari ayah itu pun, sebelum sampai ke tangan Ibu, disortir dulu oleh kakak ayah dan istrinya, dengan alasan pinjam untuk sementara waktu. Lama kelamaan, kiriman itu pun berhenti.


Ibu saya yang kondisinya saat itu semakin sulit melacak jejak keberadaan ayah saya, tinggal di negeri orang yang belum terlalu dikenalnya, setiap kiriman uang untuknya selalu dicegat, tidak lagi bekerja dan harus mengurusi tiga orang anak, agak kepayahan dengan kondisi tersebut. Ia sempat bertahan beberapa lama, kurang lebih setahun kami tinggal di Sulawesi Selatan, namun akhirnya Ibu memutuskan untuk berkirim surat ke salah satu kerabat di Jakarta minta dijemput, lalu segera setelahnya mengurus kembali status ke-pegawainegeri-annya yang tentunya tidak mudah. Setelah beberapa lama sempat tinggal di Jakarta (saya pun sempat menyelesaikan taman kanak-kanak di Jakarta, meski tidak masuk di awal tahun ajaran), kami akhirnya pindah ke Padang kembali.


Itulah sekelumit masa lalu yang sedikit saya ketahui. Ibu tidak pernah langsung bercerita. Saya hanya mendengar sepotong-sepotong saat Ibu sedang bercerita pada orang lain. Hanya itu yang berhasil saya tangkap dan beberapa potong episode setelahnya.


Ada sebuah kalimat yang meluncur dari mulut Ibu yang terpatri dalam benak saya hingga kini, yaitu “kalau mama ngga kerja Nda, ngga tahu deh mama mau kasih kalian makan dari mana.”


Entah saya umur berapa waktu itu. Saya terpana. Ibu hanya mengucapkan itu satu kali. Namun kalimat itu berpengaruh sangat besar pada saya hingga kini. Bahkan meluas dan menggeneralisasi.


Ayah saya orang baik. Saya tahu itu dan saya bisa merasakannya. Bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, ia cukup sering menjenguk kami. Ibu pun takpernah mengarahkan kami untuk membenci ayah. Setiap ayah datang, Ibu selalu meminta aku dan adik-adik untuk menyambut dan menghormati keberadaan beliau. Saat ketika sedang menyelesaikan tahap akhir studi saya pun, ayah cukup sering menghubungi saya (di antara adik-adik, saya yang paling sering berkomunikasi dengannya).


Namun orang baik sekalipun, pada kondisi tertentu, ternyata juga dapat meninggalkan keluarganya. Ia memang tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu. Akan tetapi, di dunia ini, sangat banyak hal-hal yang menghampiri takhentinya hingga membuat seorang manusia dapat sejenak lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya. Dan  ketika ia memperoleh kesadaran itu kembali, semuanya sudah terlambat.


Itu sebabnya saya takpernah mengatakan ayah dan ibu saya bercerai. Mereka berpisah, bukan bercerai (surat cerai resminya pun tak ada). Bagi saya, makna dari kedua kata itu berbeda. Jika bercerai, keduanya yang menginginkan perpisahan itu. Namun, dalam kasus ini, sesungguhnya takada yang menginginkan perpisahan itu.


Dalam benak saya, perlahan terbentuk asumsi-asumsi (yang dulu sama sekali tidak saya sadari), bahwa bergantung sepenuhnya terhadap orang lain (orang baik sekalipun), adalah hal yang menakutkan.  Sebab jika suatu saat apabila kondisi mengharuskan kebergantungan itu terputus, pihak yang bergantung pasti akan menderita. Mungkin kita bisa saja menjalin hubungan yang satu sama lain saling bergantung, satu sama lain saling memberi dan menerima, salah satu tidak bergantung secara penuh terhadap yang lain, namun apakah kita akan selalu dapat menjaga keseimbangan itu? Dan sejak mendengar dan meresapi ucapan ibu saya tersebut (saat itu saya sd), saya memilih untuk sepenuhnya mengandalkan diri sendiri. Saat itu, saya tidak membolehkan diri saya untuk tidak bekerja suatu saat nanti. Antisipasi.


Saya memiliki keluarga besar yang sangat perhatian dan memiliki kepedulian besar. Dalam adat Minang, paman memiliki tanggung jawab kepada kemenakan sama seperti tanggung jawab terhadap anak sendiri. Hal ini sudah mendarah daging dan sudah terpatri di alam bawah sadar orang-orang Minang. Dalam keluarga saya, tidak hanya om yang merasa bertanggung jawab kepada kemenakannya, akan tetapi tante-tante saya pun memiliki rasa yang sama (waktu saya masuk kuliah di Bandung, kakak mama yang pertama yang saya panggil dengan sebutan ibu lah yang paling repot mempersiapkan kebutuhan kos saya dari mulai menyediakan termos, piring, ember, seprai untuk kasur, dan lain-lainnya).


Sehingga, meskipun saya tidak penuh memiliki ayah, sesungguhnya saya tetap tidak kehilangan figur. Ibu menyerahkan pengarahan kami kepada om (terutama apabila dalam kondisi tertentu ibu sudah merasa kewalahan mengarahkan kami ,anak-anaknya, yang rata-rata berwatak pemberontak). Bahkan lebih sering kepedulian om dan tante saya lebih besar saya rasakan dibanding perhatian ibu.


Namun, oleh karena sebuah paradigma sudah terbentuk dalam benak saya, kepedulian mereka justru menakutkan buat saya. Semakin mereka memperlihatkan kepeduliannya, semakin saya menghindar dan menarik diri dari mereka. Menerima kebaikan dan perhatian mereka membuat saya merasa lemah. Menyimpan serta menyelesaikan masalah saya sendiri membuat saya merasa kuat (padahal saya jungkir balik menghadapinya sendiri). Sementara, dalam masa-masa tersebut (masa remaja dan dewasa awal), adalah masa dimana seseorang masih banyak membutuhkan bantuan dan arahan dari orang dewasa di sekitarnya. Mau tidak mau, tetap saja saya harus menerima banyak perhatian dan kepedulian dari mereka. Itu membuat saya semakin merasa lemah dan ketakutan.


Ibu selalu mengkait-kaitkan pekerjaan dengan prestasi. Jika kamu mau bekerja di tempat yang bagus, kamu harus memiliki prestasi bagus. Itu kata ibu. Bersebab saya merasa suatu saat nanti harus bekerja, maka saya sangat peduli dengan nilai-nilai sekolah saya. Oleh karena saat itu adalah zaman dimana lingkungan memberikan informasi pada saya bahwa ilmu eksakta lebih di pandang, maka saat itu saya banyak befokus pada ilmu-ilmu eksakta dibanding yang lainnya.


Kuliah di jurusan teknik industri (Unand) adalah impian saya. Dan menggapai impian itu juga cukup membutuhkan usaha yang lumayan. Saya harus mengulang ujian. Sebab, ketika remaja saya termasuk orang yang labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan memiliki konsentrasi  yang kurang bagus (mudah terpecah).  (Sebagai contoh, waktu menjelang akhir smu, saya sempat merasakan pengalaman religius yang sangat, hingga saya memutuskan berkerudung. Beberapa bulan kemudian, setelah pulang liburan dari Jakarta, saya sudah melepas kerudung dan memotong pendek rambut saya).


Dan ketika saya berhasil lulus ujian, bukannya senang, semangat saya melorot lebih dari setengahnya. Sebab saya lulus bukan di ptn dan jurusan yang saya inginkan. Di satu sisi saya senang bisa lulus di ptn yang diinginkan banyak orang. Namun di sisi lain, ptn dan jurusannya bukan impian saya. Saya gamang. Di satu sisi, oleh karena  alasan tertentu, saya memang sengaja memilih ptn di luar Padang sebagai salah satu pilihan saya, namun ketika ternyata lulus, saya malah bingung sebab bertolakbelakang dengan impian saya.


Saya mengurus semuanya dengan setengah hati. Sebab saya tahu saya juga pasti lulus di ptn dan jurusan yang saya inginkan. ptn impian itu saya letakkan di pilihan nomor dua, bersebab grade-nya hanya sekitar dua pertiga dari jurusan yang saya lulus saat ini. Saya hanya tidak menyangka lulus di pilihan pertama.


Semangat yang tidak penuh itu ternyata sangat berdampak bagi saya saat menjalankan studi. Terlebih lagi saat saya menemukan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran (jurusan yang paling saya hindari). Makin lengkap ketidakpenuhan hati saya. Intinya, saya tidak berminat (walau pada akhirnya saya sangat bersyukur dicemplungkan di sini. Ah, syukur memang sering datang kemudian).


Saya blingsatan. Dalam benak saya sudah terbentuk paradigma bahwa saya harus bekerja agar tidak harus bergantung sama siapapun dan untuk bisa bekerja saya harus memiliki nilai yang bagus. Sementara, saat kuliah, nilai-nilai saya sangat jauh dari harapan saya. Hal itu membuat saya cemas kalau-kalau tujuan saya tidak tercapai. Bayangan akan menjadi bergantung pada orang-orang sekitar menari-nari dibenak saya. Namun lagi-lagi saya hanya menyimpan semua kegalauan itu sebab dalam kondisi saya yang sedang cemas sekarang ini, berbagi cerita dan membuat orang peduli dengan saya malah akan membuat saya merasa lebih tidak berarti.


Sebuah paradigma baru menyelamatkan saya, berkat kesukaan saya membaca dan mengikuti berbagai kegiatan serta berkomunitas.  Paradigma “sekolah untuk memperoleh nilai bagus agar bisa bekerja” tergantikan dengan “memperjelas impian yang sejalan dengan passion, lalu berjuang menggapainya”. Saya suka membaca dan menulis. Saya menyukai seni merintis dan membangun usaha. Meski dasar dari pergerakan saya masih tetap sama, ketakutan dan kecemasan akan kebergantungan. Saya berusaha menggapai semua itu agar saya memiliki kompetensi, agar saya dapat berdiri dengan kaki sendiri, tidak harus bergantung pada siapapun.

***

Pekerjaan rumah saya sekarang adalah sedikit demi sedikit mengikis paradigma bahwa bergantung itu berarti lemah dan mencemaskan. Tidak mudah untuk melepaskan keyakinan yang sudah tertanam cukup kuat dalam diri kita, meski secara sadar kita memahami bahwa itu salah. Saya sekarang sedang mengumpulkan keyakinan-keyakinan yang berlawanan dengan keyakinan saya sebelumnya, dengan cara banyak membaca, banyak mendengarkan, banyak merenung, membuka diri, berbagi, dan lainnya.


Ya, saya sedang belajar bahwa merasa pantas menerima (apapun bentuknya) merupakan bagian dari penghargaan diri. Bahwa ada saat dimana kita memang harus bergantung pada orang lain dan itu bukanlah hal yang salah dan takperlu mencemaskan kebergantungan itu, sebab, ada kalanya kita pun memang harus berjalan sendiri, dan juga ada kalanya justru orang lainlah yang bergantung pada kita. Saling. Selain itu, mandiri tanpa sedikitpun bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat mustahil.


Begitulah. Saya sedang belajar. []



Salam,



Nanda

Senin, 26 Desember 2011

Jasad dan Waktu

Ada waktu yang harus diregang
Untuk menyelam ke dalam halaman demi halaman jasad itu
Lalu muncul ke permukaan dengan sejaring kalimat
Yang akan kauracik menjadi pesan atau kritik atau sekedar penawar gundah

Tapi oh, waktu lebih keras dari baja
Membuatmu tak habis-habisnya menghela dan menghembus
Dan mungkin terpelanting
Sebelum jejakmu utuh menggurat dalam halaman itu, jasad itu

Kenapa selalu mencoba meregangnya?
Telah menjadi takdirnya untuk taklentur 
Itulah gunanya kaudiberi akal kan?
Untuk mensiasati  keberadaan dan kekakuannya
Kau iklas menerimanya, kan?

Dan akhirnya nafasmu berirama teratur
Disela-sela tiga cangkir kosong bekas kopi
Diantara jasad itu, yang semakin menumpuk (kau yang mengundang)
Diujung waktu yang takjua regang, takpernah regang
 Kau iklas menerimanya, kan?  


                    Ananda Putri Bumi, Bandung 25 Desember 2011

Jumat, 23 Desember 2011

2012: Banyak Target = Tidak Memiliki Target



Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Seperti anak pertama pada umumnya, saya memiliki kebiasaan menuntut diri sendiri. Tuntutan ini pada awalnya berasal dari lingkungan, seperti, anak pertama harus selalu memberikan contoh yang baik bagi adik-adik, mengalah dan menjadi teladan bagi adik, membantu dan mengarahkan adik, membantu menyelesaikan tugas-tugas rumah, dan banyak lagi.

Pada akhirnya tuntutan itu menginternalisasi hingga menjadi tuntutan diri terhadap diri sendiri. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Lantas, tuntutan terhadap diri itu menjelma menjadi segunung target-target. Lalu berlanjut dengan penyusunan dan penjabaran langkah-langkah pencapaian target.

Gunung target itu sering membuat saya depresi. Ya, saya sering merasa tertekan, bukan karena ujian atau cobaan yang saya alami, akan tetapi lebih disebabkan target-target yang saya buat. Saat membuat target-target tersebut, saya lupa bahwa saya adalah manusia yang pada suatu waktu bisa merasa malas, mengalami emosi yang dapat mengganggu pencapaian target, memiliki fisik yang tidak selalu fit, dan sebagainya. Saya cenderung melihat diri saya sebagai robot yang saat saya tekan sebuah tombol, akan bergerak teratur dan mekanis mengikuti langkah-langkah yang sudah dibuat.

Sebagai contoh (ini hanya contoh lho) saya menargetkan membaca buku empat jam sehari, menulis tiga jam sehari, tilawah sebanyak tiga juz sehari, hafalan quran setengah halaman sehari, bekerja minimal sepuluh jam sehari, menyelesaikan pekerjaan serapi dan sedetil mungkin, dan lain-lain.

Lalu,  ketika dalam sehari saya hanya mampu membaca selama dua jam, hanya sempat menulis selama dua jam, bekerja teng go, hanya tilawah satu juz sehari, saya merasa gagal. Saya frustrasi. Setelah beberapa waktu tak jua dapat mencapai target itu dengan sempurna, akhirnya semua target itu saya lepas sementara untuk menenangkan diri, sebelum mulai membuat gunung target yang lain lagi. Alhasil, lebih banyak perasaan gagal dalam pencapaian target daripada sebaliknya yang saya rasakan, meski sebenarnya apa yang berhasil saya selesaikan pun ngga jelek-jelek amat.

Setelah beberapa kali mengalami perasaan gagal  dalam mencapai target yang seabrek, saya pun mulai belajar menyederhanakan target hidup saya. Ini bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang yang cenderung menuntut diri. Perasaan frustrasi tergantikan oleh perasaan khawatir kalau-kalau saya terlalu memaklumi dan memanjakan diri. Kalau-kalau saya terlalu menuruti kesenangan diri dan akhirnya malah kebablasan.

Setiap kali saya mendapati diri mulai kembali pada kebiasaan lama, saya berusaha menyadarkan diri bahwa memiliki segudang target sangatlah tidak sehat dan sama saja dengan tidak punya target sebab saya menjadi depresi, berujung pada perasaan gagal, dan pada akhirnya semua target itu pun lepas satu persatu. Selain itu, saya juga berusaha menyadarkan diri bahwa reaksi alamiah saya adalah menuntut diri, sehingga takperlu khawatir akan kebablasan.

Namun, saya tetap butuh penguatan bahwa pilihan saya (menyederhanakan target) sudah benar. Jujur, meski saya sudah cukup lama berusaha menyederhanakannya, masih sering timbul pertanyaan, "apakah ini pilihan yang benar? Apakah pilihannya hanya ada dua jenis, yaitu membuat target segunung atau hanya memiliki beberapa saja?" Saya memilih menyederhanakan target bukan karena saya yakin bahwa itu benar, akan tetapi karena pilihan yang satunya sudah pernah saya jalani dan saya rasakan dampaknya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel tentang visi (baca: target jangka panjang) yang ditulis oleh Rhenald Kasali (Visi Misi - Jawapos 10 Oktober 2011). Dalam artikel tersebut Rhenald mengatakan, semakin “besar” seseorang, semakin sederhana targetnya. Sederhana di sini bukan berarti tidak berkualitas. Akan tetapi semakin jelas, jernih, spesifik, dan kalimatnya pendek. Contohnya adalah visi Steve Jobs (Apple) "an apple at every desk", dan visi John F. Kennedy (AS) "mendaratkan manusia ke bulan dan membawa mereka kembali ke bumi dengan selamat pada akhir dekade ini".

Rhenald juga membandingkan visi sederhana tersebut dengan visi para pemimpin kita yang panjang, banyak, abstrak, tidak/sulit terukur, seperti "Terwujudnya Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur,  bla-bla-bla...". Setelah membaca tulisan Rhenald, saya jadi bertanya-tanya, adakah seorang saja penduduk Indonesia yang hapal visi presiden kita sekarang?

Saya merasa, isi artikel tersebut adalah hal yang saya cari selama ini untuk penguatan pilihan saya. Saat saya membaca artikel tersebut, mendekati akhir tahun 2011 dan jelang awal tahun 2012. Saat yang tepat untuk melakukan pembaharuan target tahunan.  Lalu, dari beberapa  (rencana) target 2012 yang sudah saya sederhanakan, saya beranikan diri untuk lebih menyederhanakannya kembali, memilih satu saja di antara mereka. Tapi yang mana ya? 

Beberapa target tersebut adalah meningkatkan/mengembangkan kecerdasan finansial (berkaitan dengan manajemen diri dalam me-manage keuangan), mulai teratur mengirimkan tulisan fiksi ke media (ada penjabaran lebih lanjut mengenai keteraturan di sini) (berkaitan dengan realisasi salah satu impian), mendalami kembali konsep effective team building beserta penerapannya (berkaitan dengan pekerjaan), tilawah satu juz sehari , dhuha dan membaca al matsurat setiap hari (berkaitan dengan spiritualitas).  Itulah target yang sudah saya sederhanakan.

Ada proses “berpikir” dan “merasa”  yang saya lakukan selama beberapa waktu dalam memilih salah satu di antara semuanya. Sampai akhirnya saya memilih hanya tilawah satu juz sehari saja target saya di 2012 ini, dengan pertimbangan bahwa saya merasa pencapaian target ini akan memenuhi kebutuhan spiritual, emosional, mental, fisik, dan intelektual saya,

1.         Tilawah adalah ibadah yang paling saya sukai dibanding yang lainnya.
2.         Ketika saya mencapai puncak ketegangan yang menyebabkan saya tidak dapat berpikir, meluangkan waktu beberapa saat untuk tilawah dapat melonggarkan ketegangan leher dan menyegarkan pikiran sehingga saya dapat berpikir kembali.
3.         Jika ada emosi yang saya tekan, ketika  tilawah, emosi itu dapat keluar sempurna.
4.         Jika membacanya dengan terbata-bata, ada dua pahala untuk kita dalam setiap hurufnya. Ini kalau terbata-bata lho. Dalam artian, dibanding ibadah yang lainnya, lebih mudah untuk mendapatkan pahala dengan ibadah ini.
5.         Al-Qur’an berisikan perkataan yang baik. Setiap perkataan yang baik akan berpengaruh baik pula bagi jiwa. Jiwa yang sehat akan menghasilkan tubuh yang sehat. Bukan berarti sudah tidak perlu olahraga ya. Maksudnya, paling tidak, kita dapat terhindar dari penyakit fisik yang asal muasalnya dari tidak sehatnya psikis.
6.         Tilawah setiap hari akan terus mengingatkan kita pada-Nya. Hal ini dapat menjadi pagar diri dari lingkungan yang tidak kondusif. Saya termasuk orang yang sangat mudah terwarnai oleh lingkungan.  Penjagaan diri melalui tilawah membuat saya tetap dapat berbaur dalam berbagai lingkungan namun tidak lebur.
7.         Secara kuantitas,  cukup realistis oleh karena beberapa waktu yang lalu saya pernah sanggup melakukan hal ini secara rutin walau akhirnya saya hancurkan sendiri dengan terus menambah kuantitasnya hingga melebihi kesanggupan saya. Bukannya semangat, saya malah merasa tertekan hingga kerutinan itu pun lepas. Takmembaca sama sekali dalam sehari hingga berhari-hari bahkan selama beberapa bulan. Kebiasaan yang seharusnya dapat menenangkan hati malah membuat saya tertekan oleh karena target yang tidak realistis.
8.         Meski ini target di tahun 2012, saya sudah mulai melatih diri sejak dua bulan sebelum awal tahun baru masehi itu, dengan demikian, saya sudah memiliki bayangan akan tingkat ketercapaiannya.
9.         Yang saya tuju adalah konsistensinya (setiap hari) agar terbentuk sebuah kebiasaan, bukan kuantitasnya.

Dengan telah memilih hanya sebuah target saja, itu artinya saya membiarkan yang lainnya mengalir. Bukan berarti saya tidak akan menulis, akan tetapi saya menulis apa yang ingin saya tulis, bukan apa yang harus saya tulis. Bukan berarti saya tidak membaca buku, akan tetapi saya membaca buku yang ingin saya baca, bukan buku yang harus saya baca. Bukan berarti ibadah lain (selain wajib) tidak saya kerjakan, akan tetapi tidak ada keharusan untuk melakukannya setiap hari. Begitu pula dengan yang lainnya.

Saya mencoba melepaskan diri dari kata “harus” yang terlalu banyak.

2012: Membiasakan diri (kembali) untuk tilawah satu juz perhari.

Cukup.


Salam,


Nanda