Senin, 09 Juli 2012

Roti Bakar Isi Keju Coklat


Sudah sekitar tiga bulan ke belakang, tiap hari aku sarapan roti bakar isi coklat atau isi keju coklat. Biasanya, aku takpernah memakan makanan atau minuman yang sama, setiap hari, hingga begitu lama. Bosan. Jika sudah bosan, memaksakan diri untuk memakannya hanya akan membikin perutku mual, selezat apapun penganan itu.

Tapi kali ini tidak. Bahkan hingga hari ini, aku masih sangat menikmatinya dan selalu menunggu waktu sarapan agar aku dapat menikmati roti bakar isi keju coklat. Pada lembaran roti, kuolesi mentega dan selai keju, berikutnya kutaburi mesis, lalu dibakar. Semakin coklat hasil pembakaran itu akan semakin nikmat di lidah. Ya, nikmat, pada awalnya. Bagaimanapun, kenikmatan yang selalu diulang hingga menjadi rutinitas, lama-kelamaan akan menjadi hal biasa. Kenikmatannya akan pudar. Bila hal yang sudah terasa biasa itu tetap diulang-ulang, akan bermuara pada kebosanan. Tapi kali ini tidak.

Ini membuatku heran. Sebab dulu aku sempat bosan makan roti, saking seringnya makanan itu masuk dalam perutku. Sejak kebosanan itu melanda, sekitar dua tahun berikutnya, aku takpernah lagi menyentuh roti untuk sarapan, sampai sekitar tiga bulan lalu. Pertanyaan  mengapa yang bergelayut dalam benak membuatku lantas mencari sebabnya.

Akupun menelusuri pola makanku mulai dari mencari penyebab kebosanan sarapan roti yang pernah kurasakan dulu. Aku mendapati, dulu, ternyata tidak hanya saat sarapan saja aku memakan roti. Aku memakannya setiap kali aku ingin memakannya, baik pagi, siang, ataupun malam hari. Kadang, untukku sendiri, sebungkus roti bisa habis dalam satu atau dua hari. Itu artinya, menu sarapan, makan siang, dan makan malamku adalah roti.

Selain roti, ada juga jenis kopi yang dulunya sangat-sangat kusukai, namun sekarang, membayangkan bungkusnya saja sudah membuat perutku mual. Aku ingat, selama beberapa minggu, aku bisa meminumnya empat hingga lima gelas sehari. Setiap kali aku ingin meminumnya, aku selalu memenuhi keinginan itu. Bahkan, dalam sekali minum, jika aku tidak puas hanya membikinnya satu sachet, aku langsung membuat dua sachet sekaligus, hingga gelas tinggi itu kuisi penuh. Lalu kemudian, bosan.

Aku mencoba memikirkan kebosanan yang kurasakan dalam hal lain selain makanan. Aku pernah merasa kebosanan yang sangat pada beberapa pekerjaan. Kegiatan yang awalnya begitu terasa menyenangkan hingga takhenti kukerjakan dan kuhadapi, meski menggelutinya mengambil banyak waktu personalku, berkutat hingga tengah malam bahkan saat tanggal merah sekalipun. Tak mengapa. Sebab aku suka. Namun pada suatu titik, aku bosan. Jenuh. Muak.

Kembali ke sarapan roti bakar isi keju coklat. Aku memang menyantapnya tiap hari, namun hanya saat sarapan. Meski pada siang ataupun malam hari aku ingin mengudapnya lagi, aku menahan keinginan itu hingga waktu sarapan esok hari. Meski menyantapnya tiap hari, namun porsinya tidak banyak. Satu lembar roti kuolesi mentega dan keju serta kutaburi mesis secukupnya, lalu lembaran itu kulipat hingga membentuk persegi panjang. Porsi yang nanggung: di satu sisi keinginanku mengecap rasa khas padanan itu terpenuhi, perutku terisi, namun di sisi lain, keinginan itu belum sepenuhnya terpuaskan. Akan tetapi, aku menahannya hingga tiba waktu sarapan esok hari. Barangkali, pola memenuhi sambil sedikit menahan keinginan itu yang membuatku hingga kini takbosan-bosan menyantapnya.

Dalam kehidupan, kebosanan terhadap suatu hal adalah momok yang cukup menakutkan bagiku. Sebab itulah kondisi dimana kita berhenti melakukan, entah itu mempelajari, menyelesaikan, ataupun menekuni sesuatu. Saat bosan, memaksakan diri untuk tetap menggelutinya akan membuat perutku bergolak. Paling tidak, saat ini, aku punya cara baru untuk tidak sampai pada titik bosan sehingga tetap dapat merasakan nikmatnya Roti bakar isi keju coklat. []

Salam,



Nanda

Jumat, 06 Juli 2012

Pilih Mana, Ta-i atau Emas?



Salah seorang pengusaha di Indonesia, ketika diwawancara mengenai kiat-kiat agar produk/jasa yang dijual dapat laku di pasaran, pernah berkata, “Kalau pasar minta ta-i, ya kasih ta-i aja, ngga perlu dikasih emas. Karena kalau dikasih emas, ya ngga akan laku, sebab mereka ngga tau atau belum tau bahwa emas itu berharga. Kalau kita jual ta-i aja laku, ngapain repot-repot bikin emas.” Adapun yang dimaksud dengan pasar di sini adalah masyarakat Indonesia. Dalam pernyataan pengusaha tersebut di atas, kata ta-i mewakili produk/jasa yang tidak berkualitas namun digandrungi masyarakat, sementara kata emas mewakili produk/jasa yang berkualitas namun tidak diminati oleh masyarakat oleh sebab masyarakat tidak/belum memahami nilainya. Saya yang tengah mendengar rekaman wawancara antara teman saya dengan pengusaha yang memang cukup kontroversial itu—beberapa tahun silam, saat saya bekerja sebagai reporter di salah satu majalah wirausaha—cukup kaget dengan pernyataannya, sehingga masih terngiang sampai sekarang.  


Barangkali, itulah jawaban dari pertanyaan “mengapa kondisi musik Indonesia saat ini begitu memprihatinkan,” yang terlontar pada kegiatan KlabKlassik¹, Minggu, 24 Juni 2012 lalu, yang kebetulan saya hadiri. Saat itu, klabklasik sedang menggelar edisi playlist², mengangkat tema “Musik Indonesia abad 21”. Meski tidak terlalu memahami dunia musik, saya cukup familiar dengan pertanyaan tersebut—pertanyaan yang lalu mengingatkan saya akan pernyataan dari seorang pengusaha di Indonesia tentang ta-i dan emas—sebab, pertanyaan di atas tidak hanya bergaung dalam ranah musik saja, akan tetapi nyaris dalam segala ranah di Indonesia, ranah dimana para pelaku industri—yang sebagian dari mereka hanya berorientasi untuk mengenyangkan perut—dapat menghujamkan cengkeramannya. Sebab, untuk mempertahankan dan membesarkan kekuasaannya, mereka akan selalu memburu bahkan menciptakan peluang, dimana pun.


Membuat ta-i tentu jauh lebih mudah dan murah daripada membuat emas. Ta-i dapat dihasilkan oleh siapapun dan dengan bahan dasar apapun. Pembuatannya pun simpel: cepat, tidak membutuhkan ketekunan dan kerja keras. Sedangkan emas, selain bahan dasarnya mahal, untuk menghasilkannya (menyulapnya menjadi bentuk-bentuk yang lain) diperlukan sejumlah proses, sejumlah sdm yang ahli dalam bidangnya, dan sejumlah peralatan yang menunjang.  Pembuatannya pun kompleks:  membutuhkan waktu, ketekunan, dan kerja keras. Nah, apabila ta-i saja bisa laku di pasaran, bahkan lebih laku keras bila dibandingkan dengan emas, hal ini tentu menjadi godaan besar bagi sejumlah orang yang ingin meraup untung banyak dengan cepat serta takingin repot, untuk lebih memasarkan ta-i ketimbang emas.


Dalam dunia entertain misalnya, untuk membuat satu bahkan beberapa episode sinetron kejar tayang bisa dilakukan hanya dalam satu hari, dengan menggunakan bangunan yang sama untuk setiap pengambilan gambar dengan latar yang berbeda (latar di rumah sakit, rumah, sekolah, dan halaman bisa menggunakan bangunan yang sama dengan sedikit sulapan”). Sang artis tidak perlu sangat jago berakting, yang penting secara fisik enak untuk dilihat. Pasarnya pun jelas. Sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai anak sekolah (bahkan keponakan saya yang berusia empat tahun saja sangat khusyu bila menonton sinetron) hingga ibu-ibu, menyukai sinetron. Sementara, untuk membuat film berkualitas dengan durasi yang hanya dua jam bahkan kurang, dibutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan, tempat pengambilan gambar yang berpindah-pindah sesuai dengan kebutuhan untuk latar, para pemain dituntut untuk maksimal dalam berakting, biaya yang besar, namun belum tentu laku di pasaran. Oleh sebab itu, tentu saja, membikin sinetron lebih menerbitkan air liur sebagian produser ketimbang membikin film berkualitas.


Kata peluang adalah kata "suci" bagi para pelaku industri. Karena itu kita sering mendengar frase membaca peluang, memburu peluang, menangkap peluang, hingga menciptakan peluang. Dalam hal membaca, memburu, dan menangkap peluang, pelaku adalah pihak yang menunggu bola. Sementara dalam hal menciptakan peluang, pelaku adalah pihak yang menjemput bola. Menjemput sesuatu tentu akan lebih cepat mendatangkan hasil dibanding dengan menunggu sesuatu itu ada dulu, baru kemudian ditangkap atau diburu. Boleh dikatakan, pelaku industri yang mampu menjemput peluang dengan menciptakan peluang akan lebih unggul dibandingkan dengan pelaku industri yang hanya menunggu bola. Oleh sebab itu, saat ini, para pelaku industri tengah berlomba-lomba dalam menciptakan peluang. Untuk apa? Tentu saja, uud (ujung-ujungnya duit).


Salah satu wujud dari menciptakan peluang itu misalnya, untuk segmen remaja, pelaku industri  “mengedukasi” masyarakat berusia di bawah dua puluh tahunan itu, sedemikian rupa, melalui berbagai media, sehingga pada akhirnya mereka menyukai boys band dan girls band bersuara pas-pasan, namun punya tampang dan berkaki indah. Sedemikian rupa, anggota boys dan girls band itu diekspos di media cetak maupun elektronik, wajah dan style mereka disulap semenarik mungkin sehingga menjadi idola para remaja. Tentu saja, selera masyarakat yang telah dibentuk sedemikian rupa itu akan terus diupayakan untuk dipertahankan agar mereka tetap bisa meraup keuntungan dari kondisi tersebut.


Contoh lainnya adalah, masyarakat perempuan terus menerus “diedukasi” melalui tayangan iklan dan melalui penampilan sejumlah artis dalam media cetak maupun elektonik bahwa perempuan cantik dan menarik itu adalah perempuan berkulit putih, sehingga perempuan yang berkulit tidak putih merasa dirinya tidak cantik dan tidak menarik. Sementara, di negara beriklim tropis ini tentu saja lebih banyak perempuan berkulit tidak putih ketimbang sebaliknya. Nah, perempuan yang memiliki kulit tidak putih yang merasa minder dengan kulitnya karena pengaruh “edukasi” tersebut, yang jumlahnya banyak di Indonesia inilah yang akhirnya menjadi sasaran empuk industri kosmetika yang mengklaim produknya dapat memutihkan. Agar produk kosmetika itu tetap laku, maka pemikiran “perempuan cantik dan menarik itu adalah perempuan berkulit putih” takboleh hilang dari benak masyarakat. Seingat saya, sejak saya kecil hingga sekarang, kampanye itu masih tetap dilakukan di berbagai media.
 

Begitulah. Meski saya pun masih tetap percaya bahwa tidak semua para pelaku industri berperilaku demikian, namun di sisi lain, saya juga percaya bahwa para pelaku industri yang hanya memikirkan perutnya saja tanpa sedikitpun prihatin terhadap kondisi masyarakat yang semakin menyukai ta-i dan semakin takmemahami nilai emas—baik yang bisnisnya berskala kecil maupun besar—tetap lebih mendominasi.


Bagaimanapun juga, hanya prihatin terhadap segala kondisi yang ada tanpa berbuat apapun, atau hanya sekedar mencaci-caci para pelaku industri yang tidak bertanggung jawab itu dalam ruang diskusi tanpa ada aksi konkrit lebih lanjut, tetap saja tidak akan mengubah apapun. Idealnya, tentu saja, rasa prihatin itu pada akhirnya mendorong kita untuk bergerak melakukan sesuatu—apapun itu—yang mengarah pada tujuan agar masyarakat Indonesia menyadari bahwa emas lebih berharga daripada ta-i. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah mungkin untuk mengedukasi masyarakat yang jumlahnya ratusan juta yang sudah kadung beranggapan bahwa ta-i lebih berharga ketimbang emas


Saya pernah membaca seri autobiografi Dave Pelzer yaitu, A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave. Secara singkat, ketiga buku itu bercerita tentang Dave yang sejak kecil disiksa oleh ibunya, baik secara fisik maupun psikis (dengan perkataan yang menyakitkan) yang disebut oleh sang ibu sebagai, begitulah caranya mendidik. Disinyalir, perlakuan sang ibu tersebut—meski tidak terhadap semua anaknya seperti itu—juga merupakan pola asuh yang diterimanya dari orang tuanya. Hingga pada suatu titik, Dave menyadari, bila ia tidak secara sadar memutuskan “rantai pola asuh yang menyiksa” itu, kelak ketika ia telah berkeluarga dan memiliki anak, salah seorang atau beberapa orang anaknya juga akan menerima pola asuh yang sama darinya. Bila semasa kecil ia sering mendapatkan perkataan yang menyakitkan dari ibunya, secara naluriah perkataan-perkataan yang pernah diterimanya itu akan terucapkan pula kepada anaknya. Dave pun bertekad tidak ingin anaknya kelak mengalami apa yang pernah dialaminya, meski diakuinya itu sulit, sebab trauma masa lalu itu begitu membekas.


Lalu, Apa kaitan antara cerita Dave dalam trilogi tersebut dengan dongeng saya sebelumnya?  


Tidak terlalu berkorelasi memang, namun mungkin kita bisa dan patut menerapkan tindakan Dave dalam upaya memutus “rantai pola asuh yang menyiksa”nya. Barangkali, kita bisa memutuskan dengan tegas untuk tidak ikut-ikutan menjadikan materi maupun kekuasaan sebagai hal paling berharga dalam hidup sehingga menjadi motif utama atas setiap tindakan yang kita lakukan tanpa mempedulikan masyarakat banyak yang dirugikan secara moral maupun mental, lalu bertekad kelak akan mengajari anak-anak kita tujuan hidup yang berbeda. Untuk menyadarkan sebagian masyarakat yang sudah kadung menjadi pelaku dan boneka industri, boleh jadi adalah hal yang nyaris sia-sia. Namun, mengajari anak-anak kita tujuan hidup yang berbeda dari masyarakat kebanyakan, adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan. Harapannya, tentu, kelak, mereka akan terus dan terus mewarisi cita-cita itu hingga suatu saat akan terbentuk masyarakat yang benar-benar memahami nilai emas, meski saat itu (mungkin) kita taklagi dapat menyaksikan. []



Salam,



Nanda



¹Komunitas dan ruang apresiasi musik klasik di Bandung
²Salah satu kegiatan rutin KlabKlassik dimana peserta diskusi masing-masing membawa sebuah   playlist sesuai tema, yang akan didengarkan dan diapresiasi bersama.



Rabu, 02 Mei 2012

Ini Tentang Masa Depan



Ini tentang masa depan. Entah mengapa ingin membahasnya. Meski sering saya dibingungkan oleh maknanya. Apa itu masa depan? Dua tahun, Lima tahun, sepuluh tahun, tiga belas tahun lalu, entah kapan tepatnya, saya cukup sering berpikir tentang masa depan dalam hal apapun. Namun, tak terasa dari sejak saya mulai memikirkan masa depan, tiga belas atau mungkin bahkan delapan belas tahun kemudian, saya belum juga merasa sampai pada apa yang saya sebut sebagai masa depan. Sepuluh tahun lalu saya berbicara tentang masa depan. Kini pun saya masih berbicara tentang masa depan. Lalu dimana ia? Kapan kita, atau khususnya saya, akan sampai pada waktu yang benar-benar saya sebut sebagai masa depan? Siapa sih yang telah menciptakan frase “masa depan” ini? siapa pula yang telah menambah embel-embel “ada ditangan kita” pada frase itu sehingga tercipta kalimat “masa depan ada di tangan kita”? Dulu, saya merasa sangat paham dengan keyakinan tingkat tinggi pada kalimat ini. Namun, semakin ke sini, sejujurnya, saya makin takmengerti. Kalimat atau frase itu terasa makin abstrak, makin absurd. Jangankan seseorang yang berusia tujuh belas tahun, seseorang yang berusia lima puluh tahun pun masih berbicara tentang masa depan. Jadi, kapan itu masa depan terjadi? Seolah seperti bandul yang ada di depan mata yang ketika kita berjalan maju, iapun ikut maju. Bagaimana kita bisa sampai padanya?


Berbicara tentang masa depan, entah mengapa, mengingatkan saya akan mati. Kematian. Saya yakin semua manusia  di atas bumi ini percaya bahwa kita semua akan mati. Sebab sudah banyak peristiwa kematian terjadi di sekitar kita. Sebab sudah jutaan kuburan bertebaran di muka bumi ini. Sebab peristiwa kematian itu terlihat, terasa, teraba. Sebab peristiwa kematian itu terindrai. Itu sebabnya kita semua mempercayai bahwa kematian itu ada, dan karena telah terjadi pada jutaan manusia, maka kita percaya kematian pun akan terjadi pada kita kelak. Kelak. Kelak. Kelak. Kelak artinya tidak pada saat sekarang saat kita masih bernafas. Kelak juga tidak mungkin berada di masa lalu. Berarti kelak terdapat di masa depan. Artinya, masa depan yang sudah pasti adalah kematian. Apakah kematian ada di tangan kita? Jika masa depan adalah kematian, maka adalah wajar jika setiap orang, mulai dari usia dua puluh tahun hingga usia tujuh puluh tahun, membicarakannya. Namun, ketika seseorang membicarakan masa depan, adakah kata “kematian” muncul di sela-sela pembicaraan itu?


Nah, berbicara tentang kematian lantas mengingatkan saya akan kehidupan setelah mati. Apabila semua manusia dari berbagai keyakinan percaya akan peristiwa kematian, namun tidak halnya dengan kehidupan sesudah mati. Sebagian manusia di muka bumi percaya akan kehidupan setelah kematian-menurut versinya masing-masing. Sebagian lagi mungkin tidak. Sebab kehidupan setelah mati tidak dapat dilihat, dirasa, diraba. Sebab kehidupan setelah kematian takterindrai. Namun, meski takterindrai, banyak yang percaya. Pada akhirnya,mempercayai adanya kehidupan setelah kematian adalah sebuah pilihan. Bagi yang percaya dengan kehidupan setelah kematian, hal ini juga terletak pada masa depan, sebab ia ada setelah peristiwa kematian terjadi. Jika masa depan adalah hidup sesudah mati, maka adalah wajar jika setiap orang, mulai dari usia dua puluh satu tahun hingga usia tujuh puluh Sembilan tahun, membicarakannya. Namun, ketika seseorang membicarakan masa depan, adakah frase “kehidupan sesudah kematian” muncul di sela-sela pembicaraan itu? Lalu apakah kehidupan kita sesudah mati itu juga ada di tangan kita?


 Lalu, mari kembali ke saat ini. Saya adalah orang yang percaya dengan kehidupan setelah kematian. Jika saya berpikir tentang masa depan, seharusnya saya berberpikir tentang kehidupan saya setelah mati atau setidaknya tentang kematian itu sendiri.  Kalaupun tidak selalu, setidak-tidaknya sering. Pertanyaan itu pun berbalik kearah saya, seberapa seringkah saya yang katanya sering berpikir tentang masa depan berpikir juga tentang kematian atau hidup sesudah mati? Entahlah, saya pun masih kerap salah kaprah. Ketika memikirkan masa depan, yang terpikirkan adalah rentang waktu antara saya saat ini hingga sesaat sebelum kematian itu datang. Gambaran masa depan yang masih acap kali datang adalah gambaran tentang saya dan kehidupan saya beberapa tahun dari sekarang sebelum kematian datang. Padahal, sekali lagi, jika masa depan direkatkan pada rentang waktu tersebut, takubahnya seperti bandul yang saya gambarkan di atas tadi.


Untuk itu, agar tak terus-terusan salah kaprah, ketika berbicara tentang masa depan, marilah kita berbicara tentang kehidupan setelah mati dan/atau kematian, bukan berbicara tentang kapal pesiar, liburan keliling dunia, mobil seharga milyaran jika kita mampu mengumpulkan sejumlah point atau sejumlah orang downline  #eh-apa-ini. []



Salam,



 Nanda


Senin, 30 April 2012

Ada

ada yang meluruh ketika langkah kaki berhenti
pada ruang berbungkus kesunyian
yang tercipta dari jarak antara kau dan aku

ada yang mencoba khusyu dari waktu ke waktu
menghujani bumi dengan air mata
yang hulunya telah hilang entah dimana

ada yang terseok pada jalanmu yang makin lesap
dalam kabut berselendang luka
berteriak di antara dahaga dan kecewa

dan ada aku yang mati-matian
menjagai titik cahaya yang nyaris redup
mengaburkan dirimu



                                                                 Ananda Putri Bumi | Bandung, 22 Maret 2012

Jumat, 27 April 2012

Lagu Kita

Malam hampir menggelinding sebelum sempat kita lipat dalam mimpi
Sementara tetes-tetes embun yang masih pulas di atas lembaran daun
mengirimkan cuaca yang melahirkannya, pada kita
Dan kedai-kedai takpernah tidur adalah sisa-sisa kenyinyiran kota
menyaksikan betapa kita bersikeras menjahit dua pulau

O, adakah yang lebih syahdu dari gerak seirama gemulai tangan-tangan
dalam sulaman doa berselimut pagutan antara harap dan cemas  
diringi denting yang hanya dimengerti, oleh kita
Sejenak meninggalkan kejadian-kejadian pemicu hirukpikuk kota
Lesap ke dalam naskah kehidupan yang sedang kita racik:
             Kelak,
             Kita taklagi harus berkejaran dengan malam
             menyaksikan tetes-tetes embun menggeliat dan mulai terbangun,
             lalu menjatuhkan diri dengan khidmat di halaman rumah kita



Ananda Putri Bumi | Bandung, 21 Maret 2012
 

Senin, 19 Maret 2012

"Beristirahat" Sejenak



 Aku punya kebutuhan untuk tidak berinteraksi dengan manusia –manapun-- baik secara langsung maupun lewat media apapun-- pada waktu-waktu tertentu. Biasanya itu terjadi saat aku sudah sampai pada titik merasa terlalu banyak mengakomodasi tuntutan, harapan, keinginan orang lain; pada saat sesuatu di luar diri masih memaksaku untuk berinteraksi dan bergerak ke segala arah sementara sesuatu di dalam diri sudah ingin keluar dari kerumunan (aku menyebutnya dengan diri yang terpecah); pada saat aku merasa sudah terlalu banyak menuruti pikiranku yang mengatakan aku harus menyelesaikan A dan sudah terlalu sering mengabaikan hatiku yang kerap berbisik ingin melakukan B; pada saat aku nyaris tidak mampu mengenali diriku dan apa inginku lagi bersebab antara keinginan dan kebutuhan serta tuntutan dan harapan orang sudah tumpang tindih, ruwet seperti benang kusut. Pada titik ini, aku merasa… lelah.


Kebutuhan ini cukup besar sekaligus juga tidak tentu kapan datangnya. Aku hanya bisa merasa-rasai dan mengira-ngira. Misalnya, barangkali ketika aku sudah mudah merasa bosan berada di kerumunan orang, barangkali ketika aku sudah mulai merasa malas memulai percakapan meskipun hanya hal-hal ringan, barangkali saat aku begitu mudah marah untuk hal-hal sepele dan mudah tertekan pada pekerjaan yang sesungguhnya mudah, barangkali saat aku sudah merasa terlalu sulit untuk berkonsentrasi pada tugas-tugasku, dan seterusnya barangkali-barangkali lainnya. Lalu, ketika aku sendiri, aku merasakan kedamaian yang sangat. Merasakan kembali kakiku berpijak pada bumi setelah sekian lama berjarak. Merasakan kembali diriku seperti puzzle yang utuh setelah sekian lama potongannya berserak. Inilah saat-saat yang kunamakan… istirahat.


Meski sedang istirahat, bukan berarti aku berdiam. Aku tetap bergerak. Tapi aku yang mengatur semuanya: apa yang inginku lakukan, bagaimana melakukannya, seperti apa ritmenya, berapa waktu  lamanya, dan seterusnya, tanpa campur tangan siapapun, tanpa digurui siapapun, tanpa harus ada umpan balik dari siapapun. Dari mulai kegiatan remeh temeh hingga kegiatan yang kuanggap serius. Pada saat-saat itu, aku benar-benar memilih apa yang akan kulakukan sesuai dengan inginku, menghayati setiap gerakku, menyelesaikan kegiatan demi kegiatan satu persatu, tanpa harus berkejaran dengan waktu, tanpa harus diburu dengan pekerjaan lain atau kegiatan lain, tanpa harus berkompromi dengan orang lain atas apa yang sedang kulakukan, tanpa perasaan cemas, gelisah, ataupun takut yang menggelayut.


Ini hanya contoh kecil. Aku paling tidak suka ketika sedang mandi, pintu kamar mandi digedor-gedor bersebab menurut mereka aku terlalu lama di dalamnya atau aku harus buru-buru mandi agar tidak terlambat ke kantor.  Sebab bagiku mandi adalah kegiatan untuk menyegarkan diri, tidak hanya sekedar untuk membersihkan diri atau syarat untuk hidup. Sayangnya, setiap pagi aku harus mandi dalam keadaan menyesuaikan dengan jadwal aku bersiap-siap dan berangkat ke kantor.


Pada saat istirahatlah aku akan melakukan ritual apa saja yang kuinginkan ketika mandi, misalnya: luluran, membersihkan wajah, merendam kakiku di dalam air suam suam kuku yang telah diberi cairan dengan aroma terapi kemudian memijatnya dengan batu apung, apapun. Menyelesaikan semuanya tidak dengan gerakan tergesa, namun menghayatinya dan takpeduli berapa lama kegiatan itu berlangsung serta takmengkhawatirkan akan membuang-buang waktu. Atau bahkan mungkin tidak melakukan ritual mandi seharian tanpa harus terganggu dengan omelan ataupun nasehat dari segala penjuru.


Pun ketika aku memilih kegiatan menulis untuk mengisi waktu istirahatku. Aku tidak akan memberikan deadline harus selesai menulis dalam waktu tertentu. Sebab batasan itu hanya akan menghadirkan perasaan tergesa-gesa yang pada akhirnya membuatku menulis tanpa penghayatan. Sering, ketergesaan membuntukan kemampuan menulis. Tidak melakukan dengan tergesa-gesa bukan berarti bermain-main. Lalu, aku akan memberanikan diri untuk mengabaikan hal-hal lain untuk benar-benar menghadirkan ruh dan jasadku dalam kegiatan menulis itu, termasuk sms ataupun telepon yang aku prediksi akan membuatku harus membatalkan kegiatan menulis yang sudah kurencanakan pada hari tersebut. Bahkan kadang aku memutuskan untuk izin dari kegiatan rutin yang bertepatan dengan hari  istirahatku itu. Sebab ini adalah hari dimana hanya ada aku: pikiranku dan hatiku.


Bagiku, hal ini penting sebab inilah saat dimana aku berusaha memperoleh kembali kesadaranku atas diri: tujuan hidupku, keinginanku, kebutuhanku, dan alasan aku memilih dan melakukannya. Pada suatu titik, hal itu kerap menjadi samar bersebab banyaknya suara-suara dari luar yang membungkus atau mencampurinya, yang akhirnya mendaratkanku pada kehampaan, kebingungan, dan kebisingan. Berjalan di atas kehampaan, kebingungan, dan kebisingan sangatlah tidak nyaman.


“Beristirahat” sejenak membuat pijakanku kuat kembali. []



Salam,



Nanda

Kamis, 01 Maret 2012

Asupan Jiwa



Tubuhku perlu asupan. Untuk apa? Agar aku memiliki energi. Dengan adanya energi itu aku dapat berpikir; berbuat, dengan maksimal. Ketika tubuhku tidak menerima asupan sebagaimana yang dibutuhkannya, ia akan terasa tidak fit, yang menyebabkan kemampuan berpikir dan berbuatku pun tidak maksimal.


Tubuhku terdiri dari jasad dan jiwa. Aku memakan makanan dan minum untuk asupan jasadku. Di dalam makanan yang kumakan, ada gizi yang diperlukan jasadku untuknya menjadi kuat. Sebagaimana jasadku, aku yakin jiwaku pun membutuhkan asupan yang jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, ia akan melemah. Meskipun jasadku kuat bersebab asupan yang kuberikan padanya, namun jika jiwaku lemah bersebab aku takpernah memberikannya asupan, tetap saja kemampuan tubuhku untuk berpikir dan berbuat tidak akan maksimal. Sebaliknya, jika jasad dan jiwaku kuat, maka kemampuan berpikir dan berbuatku pun akan maksimal.


Sebagaimana banyak makanan yang dapat kupilih untuk memberikan kekuatan pada jasadku, ada banyak makanan pula yang dapat kupilih untuk memberikan kekuatan bagi jiwaku. Untuk asupan bagi jiwa, dengan kesadaran penuh aku memilih untuk ber-Tuhan dan dengan kesadaran penuh pula memilih cara atau jalan untuk menghamba pada-Nya. Dan akupun sadar sesadar-sadarnya, ada seperangkat aturan yang menyertai setiap jalan atau cara untuk menghamba (yang kerap disebut dengan ritual ibadah), pun cara yang kupilih (kecuali jika jalan atau cara itu aku ciptakan sendiri tanpa mengkaitkannya dengan jalan atau cara yang telah ada sebelumnya, dan menamainya dengan nama yang berbeda).


Aku memberikan asupan bagi jasadku agar aku dapat berpikir dan berbuat. Bagiku, hidup adalah soal berpikir dan berbuat. Jadi, aku makan dan minum untuk hidup. Bukan sebaliknya, yaitu hidup untuk makan. Begitupun, aku memberikan asupan bagi jiwaku agar aku dapat berpikir dan berbuat. Aku menghamba melalui seperangkat ritual ibadah agar aku bisa hidup. Bukan sebaliknya, yaitu aku hidup untuk melakukan seperangkat ritual ibadah. Aku hidup bukan untuk melakukan shalat, tilawah, puasa, dan ritual lainnya. Akan tetapi, aku shalat, tilawah, puasa, dan melakukan ritual lainnya agar aku memiliki energi untuk berpikir dan berbuat, agar aku memiliki energi untuk hidup.


Jumlah asupan yang aku dibutuhkan jasadku, bergantung sepenuhnya dari seberapa banyak aku ingin berpikir dan berbuat. Semakin banyak keinginanku untuk berpikir dan berbuat, semakin banyak pula jasadku membutuhkan asupan. Pun jiwaku. Semakin banyak keinginanku untuk berpikir dan berbuat, semakin banyak pula jiwaku membutuhkan asupan.


Dan sebaliknya. Ketika jasad tidak meminta terlalu banyak asupan, barangkali itu karena aku hanya sedikit berpikir dan berbuat. Pun jiwa. Ketika ia hanya meminta sedikit asupan, barangkali karena aku hanya sedikit berpikir dan berbuat. Ketika aku hanya membutuhkan shalat, tilawah, dan puasa hanya sekadarnya, barangkali itu bersebab aku baru sedikit berpikir dan berbuat. Ketika aku merasa nyaris tidak butuh shalat, puasa, tilawah, dan lainnya, barangkali itu bersebab aku sebenarnya masih sangat sedikit berpikir dan berbuat. Barangkali itu bersebab aku belum benar-benar hidup.


Ketika jasad telah cukup diberi asupan, memaksakan untuk tetap memberinya barangkali malah akan membuatku muntah karena kekenyangan. Barangkali malah akan membuatku kelebihan berat badan. Pun jiwa. Bila ia kelebihan diberikan asupan, barangkali seperangkat  ritual itu malah akan menjadi aktivitas yang memuakkan.


Namun ternyata, ada standar minimal ritual ibadah yang harus dilakukan untuk asupan jiwa. Ada shalat lima waktu, ada puasa di bulan ramadhan, ada kewajiban berzakat. Jika kebutuhanku untuk asupan jiwa ternyata tidak harus sebanyak itu, lalu mengapa ada standar minimal itu? Apakah itu berarti ada standar minimal pula yang harus kupenuhi dalam berpikir dan berbuat, agar asupan dan keluaran itu sama besarnya?


Muhammad. Ia banyak sekali memberikan asupan bagi jiwanya. Bahkan lebih banyak dari asupan untuk jasadnya. Barangkali itu karena ia membutuhkan banyak energi untuk berpikir dan berbuat. Apa yang ia pikirkan dan ia perbuat sehingga banyak sekali asupan jiwa yang dibutuhkannya? “Mewujudkan peradaban baru”. Sepemahamanku, itu tugas yang diletakkan di pundaknya. Sebuah tugas yang mungkin, kukira, menempatkannya pada kesadaran bahwa ia manusia lemah yang membutuhkan kekuatan besar di luar dirinya untuk mengemban tugas itu. Itulah mungkin yang membuatnya betah berlama-lama bermunajat di tengah malam, hingga kedua kakinya bengkak. Mengisi tangki jiwanya dengan energi penuh.


Ya, barangkali, ada standar minimal pula yang harus kupenuhi dalam berpikir dan berbuat, dimana hal itu akan menempatkanku pada kesadaran bahwa aku manusia lemah yang membutuhkan kekuatan besar di luar diriku untuk mengemban tugas itu,  agar standar minimal asupan jiwa itu kurasakan sebagai kebutuhan.


Barangkali, itu adalah jawaban dari pertanyaan, “apa tujuanNya menciptakanku?”



Salam,


Nanda

Memilih

Bandung, 09 Mei 2011



Aku suka sekali dengan kata “memilih”. Memilih; pilih; pilihan. Entah kapan dan di mana kutemukan pada awalnya. Mungkin di antara tindihan kata dalam buku-buku. Dan mungkin beberapa buku yang pernah kubaca sangat suka menggunakan kata itu berulang-ulang. Sehingga ia lengket di benakku. Pada akhirnya takmaukuhilangkan.


Memilih adalah hak yang diberikanNya kepada manusia. Itu sebabnya manusia diberi akal dan hati sebagai panduan dalam menggunakan haknya. Hak memilih. Sebelum memilih, manusia menimbang-nimbang dulu menggunakan akal dan hatinya.


Memilih adalah pintu sebelum melangkah melakukan sesuatu. Kesadaran bahwa semua yang kita lakukan adalah pilihan sendiri, akan mendudukkan kita sebagai subjek dalam kehidupan. Bukan objek yang selalu merasa didikte harus melakukan sesuatu. Buatku, itu mengasyikkan.


Memilih, membuatku merasa bahwa akulah penentu proses kehidupanku. Memilih, membuatku paham bahwa ada konsekuensi atas setiap pilihan. Konsekuensi yang harus kita terima dan jalankan akibat dari sesuatu yang kita pilih. Memilih, lalu menjalani pilihan, membuatku mengerti bahwa selalu ada konsekuensi yang di luar prediksi. Memilih, membuatku sadar bahwa akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pilihanku,serta konsekuensi yang mengikutinya.


Memilih, membuatku mampu melihat bahwa ada ruang-ruang yang kita takdiberiNya kebebasan untuk memilih. Aku keluar dari rahim A, berasal dari daerah B, dengan orang tua beragama C, itu bukan pilihanku. Itu ketetapanNya. Namun aku akan tinggal di daerah D, menjadi orang tua yang seperti E, menjalankan keyakinan atau agama F, sepenuhnya adalah pilihanku. Aku bercita-cita sebagai G dan menjalani prosesnya, itu pilihanku. Namun, apakah hasil dari proses tersebut adalah juga G atau justru H,I, atau J, itu adalah ketetapanNya.


Pada akhirnya, ketetapanNya juga bermuara pada kebebasan kita untuk memilih. Memilih untuk menerima atau tidak menerima ketetapanNya. Memilih untuk melepaskan atau tidak melepaskan segala ingin kita yang tidak sejalan dengan ketetapanNya.


Memilih, pada akhirnya mempertemukanku pada kata “menerima” (segala yang telah ditetapkanNya) dan “melepaskan” (segala ingin kita yang berbeda dengan ketetapanNya). Memilih, pada akhirnya membuatku belajar tentang cara menerima dan cara melepaskan. Memilih, pada akhirnya membuatku juga menyukai kata “menerima” dan “melepaskan”.


Memilih. Menerima. Melepaskan. Itulah caraku menjalani hidup. []



Salam,



Nanda

Jumat, 20 Januari 2012

Embun Dalam Secangkir Kopi

Dalam secangkir kopi yang kuteguk pada suatu pagi, ada sebutir embun. Sisa hujan kemarin sore.




Nanda | Jakarta, 20 Januari 2012

Denting



Aku tak memesannya. Ia berdenting karena kemauannya. Ia mengenalimu.



Ananda Putri Bumi | Jakarta, 19 Januari 2012

Daun



Sehelai daun dihembus angin, lalu perlahan hinggap dalam relungku.



Ananda Putri Bumi| Jakarta, 12 Januari 2012