Jumat, 25 Oktober 2013

Perjalanan dalam Berhijab





Saya mulai memutuskan berhijab sejak tahun 2004. Dalam kurun waktu tersebut, setelah melihat beberapa foto diri, ternyata gaya berhijab saya cukup dinamis; terdapat beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Meski demikian, poin syar’i-nya tetap saya pertahankan. Setelah saya renungkan, ternyata, gaya berhijab saya sangat dipengaruhi oleh tafsir yang saya yakini terhadap hijab itu sendiri. Dan tafsir tersebut selalu berkembang secara bertahap. 

Definisi hijab yang saya yakini saat ini yaitu, hijab merupakan pakaian longgar yang menutupi tubuh dari kepala hingga kaki. Longgar di sini artinya tidak membentuk tubuh, tidak transparan, dan semua anggota tubuh tertutup kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara, untuk warna dan mode hijab saya sangat fleksibel sebab saya meyakini tidak ada aturan untuk warna dan mode. 



Pertama kali memakai hijab di tahun 2004 itu, untuk sehari-hari, saya memakai kerudung polos dengan panjang menutupi dada, blus yang panjangnya hingga di bawah pinggul, serta celana jeans. Sesekali saya juga memakai gamis. Saat itu saya belum terlalu mahir memakai kerudung sehingga gaya kerudung saya sangat simpel dan cenderung itu-itu saja. Untuk dalaman kerudung, saya memakai ciput topi. Untuk jilbabnya, setelah saya satukan kedua sisi dengan jarum di bawah dagu, sisa jilbab disebelah kiri saya tarik dan rekatkan di bahu kanan, dan sisa jilbab di sebelah kanan saya tarik dan rekatkan di bahu kiri, lalu saya beri bros.

Beberapa bulan kemudian, masih di tahun 2004, saya mula coba-coba memakai rok panjang. Sebab bagi saya, meski saya lebih suka memakai celana panjang, namun jika harus longgar, saya lebih memilih memakai rok panjang ketimbang celana panjang longgar. Selanjutnya, setelah koleksi jilbab saya lumayan banyak, saya mulai memadu-madankan antara warna dan corak dari baju dan kerudung. Gaya berkerudung saya masih tetap sama namun sudah lebih variatif pada bagian tertentu. Ujung jilbab yang biasanya saya rekatkan di bahu kanan dan saya beri bros, kadang saya tarik hingga di bawah telinga, baru saya beri bros. Kadang juga saya lilit-lilitkan di leher.      



Ternyata, gaya berkerudung makin lama makin berkembang. Saya ingat, di tahun 2006, gaya kerudung instan (kerudung langsung pakai dengan bermacam mode) dari merk tertentu sedang trend. Saya pun sempat mengikuti trend itu, tetapi hanya sesaat, sebab ternyata saya lebih menyukai gaya kerudung hasil kreasi sendiri ketimbang kerudung instan. Kemudian, terinspirasi dari gaya kerudung seorang teman, saya pun mengubah gaya berkerudung saya dengan gambaran kira-kira seperti ini, setelah kedua sisi kerudung saya satukan dengan jarum di bawah dagu, ujung jilbabsegitiga di bagian punggung saya tarik ke depan, lalu, ujung yang jilbab yang tadinya berada di depan saya tarik hingga ke atas, melewati kepala, dan berakhir  di bawah telinga, lalu saya beri bros. 

Pada tahun-tahun berikutnya, semakin saya terbiasa memakai kerudung, semakin banyak pula kreasi kerudung yang saya lakukan, seiring juga dengan semakin banyaknya gaya berkerudung bermunculan. Saya pun tidak menabukan diri untuk mengikuti gaya-gaya baru dalam kerudung yang sedang berlangsung. Hanya saja, saya sesuaikan lagi dengan wajah, karakter, dan prinsip syar’i yang saya yakini. Seperti saat ini misalnya, di mana gaya berkerudung dengan pasmina dan ciput ninja sedang marak, saya juga menambah koleksi jilbab saya dengan ciput ninja dan beberapa pasmina. 



Namun, meski saya mengikuti gaya kerudung yang sedang marak, saya tetap menghindari gaya yang menghendaki saya harus memakai berhelai-helai kerudung dan ciput. Prinsip saya, sehelai ciput ninja dan sehelai kerudung, cukup. Sebab bagaimana pun, jika saya  sedang berada di luar rumah dalam waktu yang lama, saya harus membongkar pasang beberapa kali ketika akan shalat.

Untuk pakaian, biasanya saya suka memakai yang berjenis dua lapis, semisal, blus lengan panjang dengan overall selutut, atau blus dengan jaket/ blazer semi formal. Bawahannya, rok dengan aneka mode, corak, dan warna. 

Dalam berhijab, saya berprinsip tidak perlu mahal. Yang penting adalah hijab gaya tanpa banyak biayahijab gaya tanpa banyak biaya.  




Rabu, 19 Juni 2013

A Thousand Words

gambar diambil dari sini

Jack McCall, seorang literary agent, masuk ke sebuah kedai kopi, menatap antrian, lalu meminta kemurahan hati pengantri terdepan untuk mendahulukan dirinya. Permintaannya ditolak. Ia lalu berjalan menuju antrian paling belakang. Namun pria berkulit hitam itu takkehilangan akal. Sebab waktu sangat penting baginya. Mengantri berarti membuang-buang waktu. Ia berlagak seolah sedang menerima telepon dengan mengeraskan suara. Pura-pura kaget mengetahui istrinya tengah di ruang persalinan. Taktanggung-tanggung bualannya, sang istri melahirkan bayi kembar. Semua pengantri akhirnya merelakan Jack untuk memotong antrian. Sementara saat itu, sang istri tengah bersama putra mereka yang berusia beberapa bulan.

Sambil tetap memegang cangkir kopi, Jack berbicara terus menerus di hadapan psikiaternya, dengan tempo yang cepat seraya menggerak-gerakkan tangan ke atas ke bawah ke samping kanan dan kiri. Belum sempat sang psikiater merespon perkataannya, sebab takdapat memotong ucapannya, Jack sudah minta izin pamit.

Setibanya di depan kantor, Jack diberondong dengan pertanyaan dan permohonan oleh seorang petugas parkir, apakah Jack sudah membaca naskah yang ditulisnya, apakah ia bisa membaca setidaknya dua puluh lembar saja. Belum sempat menjawab, ponsel Jack berbunyi. Ia berjalan cepat menuju kantor sambil menerima telepon dan memerintahkan seseorang di sana untuk berbicara dalam dua kalimat, menjawab pertanyaan dan berkata pada petugas parkir itu, lalu melanjutkan pembicaraan lewat ponsel.

Di dalam ruang pribadi di kantornya, Jack memerintahkan asistennya yang sedang menghadap untuk berbicara dari pikiran tapi lakukan dengan cepat. Ketika asistennya itu menawarinya untuk membaca buku, Jack mengatakan, Semua buku terbaik memiliki semua yang ingin kauketahui di lima halaman depan dan lima halaman terakhir. Jadi, baca saja bagian-bagian itu dan kamu akan mengetahui keseluruhan isi buku tersebut.

***

Jack berkesempatan bekerja sama dengan Sinja, seorang tokoh spiritualis, penyembuh, dan memiliki puluhan juta pengikut.  Dengan rasa percaya dirinya yang tinggi, dan sedikit upaya membuat keributan kecil saat ritual meditasi berlangsung, keberadaan Jack berhasil menarik perhatian Sinja. Kepentingan Jack? Menjadi agen untuk memasarkan buku Sinja. Ia tahu buku itu akan menjadi best seller bersebab banyaknya jumlah pengikut tokoh tersebut. Jack sedikit membual untuk membuat Sinja tertarik bekerja sama. Di bawah sebatang pohon yang sempat melukai jari Jack ketika ia meraba pohon itu hingga sedikit darah dari jarinya menempel pada batang pohon, jabat tangan pun berlangsung, tanda kerja sama.

Sebagai ungkapan kegembiraan atas terjalinnya kerja sama itu, sekembalinya dari tempat Sinja, Jack mengunjungi ibunya yang sedang mengadakan pesta kecil perayaan ulang tahun. Setiap bertemu sang ibu, sebuah peristiwa selalu terjadi berulang. Sang ibu selalu menganggap Jack adalah Raymond, suaminya yang sempat pergi meninggalkannya dan telah wafat. Dan seperti biasa, Jack selalu menyangkal dan taksuka ia dianggap sebagai ayahnya.

Malam hari, sesampainya di rumah. Caroline, istri Jack, membuka percakapan. Menawarkan untuk pindah ke rumah yang lebih aman dan lingkungan yang lebih ramah bagi anak mereka. Jack menolak. Sebab baginya rumah mewah dan modern yang ditempati saat ini sudah sangat sempurna. Caroline sepakat bahwa rumah yang sekarang memang sempurna, namun tidak aman untuk anak kecil. Rumah yang dominan berdinding kaca itu berkolam renang tanpa pembatas dan berada di tepi tebing dengan ketinggian dua ribu kaki. Tiap hari, ia mengganti popok anaknya di bar. Menidurkan anaknya di ruang media. Jack tetap menolak dengan alasan pindah rumah adalah sebuah perubahan besar. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Jack mengatakan, baiklah, mari kita lakukankita akan mengecat ulang ruang media dan menambahkan beberapa tokoh kartun anak-anak…”

Setelah pembicaraan berakhir, rumah mereka bergetar. Sebatang pohon tiba-tiba muncul dari tanah dan menjulang di tepian kolam renang. Pohon berdaun rimbun yang melukai jarinya siang tadi, sewaktu di tempat Sinja. Saat Jack mengucap dua kata, luruhlah dua helai daun dari pohon itu.

***

Pagi hari, di kantor. Seperti biasa, Jack selalu meminta asistennya berbicara cepat saat menghadap. Sang asisten bilang, contoh buku Sinja sudah diterima. Jack yang tadinya bergembira dengan informasi tersebut, langsung terdiam dan kesal ketika melihat buku Sinja. Sebuah buku saku yang berisi lima halaman. Selesai. Seperti buku yang dikhususkan untukmu, celetuk asistennya.

Jack lantas menemui tokoh spiritual itu dan mengungkapkan kekesalannya. Pertama mengenai buku yang taksesuai harapan, kedua mengenai pohon yang tiba-tiba muncul di rumahnya. Mengenai buku, Sinja dengan tenang menanggapi kekesalan Jack. Mengenai pohon, Sinja heran sebab merasa tidak pernah “mengirimkan” apa pun. Jack lantas mengajak Sinja berkunjung ke rumahnya.

Ternyata pohon ini kemari, ucap Sinja tenang, saat melihatnya. Sebuah cabang takberdaun dari pohon itu menarik perhatiannya. Sinja memperhatikan, ketika Jack berbicara, beberapa helai daun luruh. Sinja lalu meminta Jack mengatakan sesuatu, untuk memastikan. Beberapa kali Jack berbicara, daun itu kembali luruh. Ia pun menyimpulkan, Jack dan pohon itu terhubung. Makin banyak kauberbicara, makin banyak daun yang gugur. Kausemakin sakit. Kira-kira apa yang terjadi bila semua daun itu gugur? Pohon itu akan mati. Itu berarti, Jack juga akan mati.

Satu kata untuk sehelai daun yang luruh. Jack panik. Berusaha menebang pohon itu dengan kapak. Yang terjadi justru, ia terpental dan pada pinggangnya yang sakit, tiba-tiba terdapat segaris bekas luka sayat. Jack bertambah panik. Sinja, yang akan berangkat ke sebuah tempat spiritual di Bolivia dan akan menghabiskan waktunya selama  tiga hari di sana, berjanji akan mencari informasi dari teman-teman spiritualnya untuk menyelesaikan masalah Jack. Dan dalam waktu tiga hari itu, Sinja memberi saran agar Jack tidak menghamburkan kata-kata, alias bungkam, jika ia tidak ingin mati cepat.

Takingin mempertaruhkan nyawanya, Jack pun menuruti saran Sinja. Akan tetapi, sungguh tidak mudah baginya −seseorang yang selalu berpikir, berbicara, dan bergerak cepat− untuk membungkam mulut. Meski mulutnya takbersuara, tetapi pikirannya selalu bergerak ke sana kemari sehingga dengan mulutnya yang bungkam namun pikiran yang tetap bergerak, emosinya jadi sering tersulut. Alhasil, semakin Jack berusaha bungkam justru semakin banyak sumpah serapah yang keluar dari mulutnya, mengakibatkan daun-daun itu tetap luruh. Menyisakan cabang dan rating kering tanpa daun.

Dalam waktu tiga hari masa diam Jack, karirnya hancur; ia dipecat. Keluarganya berantakan; istrinya pergi dari rumah. Daun-daun itu tetap berangsur luruh; ia makin sekarat. Dalam kemarahan dan kepanikannya, terbersitlah ide untuk berbuat kebaikan. Jack mulai membagi-bagikan roti untuk para tunawisma, bersedekah, dan menolong orang lain. Namun tidak ada pengaruhnya. Daun-daun itu tetap luruh tiap kali ia berbicara.

Jack makin nelangsa ketika mengetahui Sinja tidak berhasil mendapatkan solusi atas masalahnya. Spiritualist itu hanya memberikan beberapa wejangan. Kau harus mencari kebenaran tentang dirimu. Kau harus tenang, bukan hanya mulutmu, tapi juga pikiranmu. Dan dalam ketenangan itu, kau akan mendengar kebenarannya.

Sinja lalu menuntun Jack menemukan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam dirinya dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Perhatikan omonganmu Jack. Kau mengatakan padanya seperti jutaan daun yang jatuh dari pohon sekarat. Kata-kata. Coba perlihatkan padanya bahwa kau mencintainya. Buat kedamaian. Perlihatkan pada mereka bahwa kau mencintai mereka dan bisa dipercaya, lanjut Sinja.

Kau juga perlu terima kemungkinan bahwa saat semua daun jatuh dari pohon itu…, Jack menyetop ucapan Sinja dengan mengangkat kelima jari kirinya.

Jack pulang dalam keadaan mabuk. Ia menghampiri sang pohon dan mengeluarkan sumpah serapah. Lalu meracau. Asisten kantornya yang kebetulan juga berada di sana dan telah mengetahui masalah Jack, mati-matian menyuruhnya berhenti berbicara. Mulai dari memarahi lalu mendorong Jack hingga pingsan.

Pagi hari ketika Jack sadarkan diri, hanya belasan daun yang tersisa pada pohon itu. Seperti tubuhnya yang juga makin sekarat. Di tengah kesedihan yang melanda, akhirnya ia menyempatkan diri untuk membaca buku lima halaman yang ditulis Sinja.  

Jack memutuskan untuk tidak lagi bungkam. Ia memilih untuk mendengarkan dan berkata-kata yang memang perlu saja untuk diucapkan, pada beberapa orang yang membutuhkan perhatiannya. Pada beberapa orang yang kerap berinteraksi dengannya namun kerap pula diabaikannya bersebab ia terlalu fokus pada dirinya sendiri. Kata-kata yang memang ingin didengar oleh mereka dari mulut Jack.

Pertama kali yang ditemuinya adalah istri dan anaknya. Kepada mereka, Jack hanya mengatakan empat kata. Orang kedua yang didatanginya adalah pelayan di kedai kopi yang setiap pagi bertemu dengannya. Jack memberikan hadiah, sebuah benda yang diimpikannya, mendengarkannya berbicara, lalu mengucapkan tiga kata. Orang ketiga adalah petugas parkir yang juga setiap pagi bertemu dengannya, yang selalu bertanya apakah Jack sudah membaca naskahnya. Kepada petugas parkir itu, Jack mengucapkan dua kata yang selalu dinantikan. Orang keempat yang dikunjunginya adalah ibunya. Jack membiarkan sang ibu menyangka dirinya adalah ayahnya. Mendengarkan sepenuh hati ibunya berbicara. Kepada sang ibu, Jack mengucapkan enam kata.

Terakhir, ia mengunjungi makam ayahnya. Hubungannya dengan sang ayah adalah akar dari semua permasalahannya saat ini. Ayahnya telah lama meninggalkan rumah. Itu membuat Jack marah sekaligus merasa bersalah. Jack selalu mengira, ia lah penyebab ayahnya pergi. Tanpa sadar, Jack pun “pergi” meninggalkan orang-orang yang menyayangi dan disayanginya, meski bukan dalam arti fisik. Di depan makam ayahnya, Jack mengucapkan tiga kata, yang sekaligus meluruhkan tiga helai daun terakhir.

Apakah Jack akhirnya meninggal?


Judul Film : A Thousand Words • Kategori: drama, komedi • Pemeran: Eddie Murphy (Jack McCall, seorang literary agent), Cliff Curtis (Sinja, tokoh spiritual), Kerry Washington) (Caroline, istri Jack), Clark Duke (Aaron, asisten Jack) • Sutradara:  Brian Robbins • Penulis: Steve Koren • Produser: Alain Chabat, Stephanie Danan, Nicolas Cage, Norman Golightly, Brian Robbins, Sharla Sumpter Bridgett  • Musik: John Debney • Distribusi: Paramount Pictures • Rilis: 09 Maret 2012 • Durasi: 90 menit




Jumat, 14 Juni 2013

Jendela, Ia, Waktu



Jendela
Sepasang jendela di sebuah kamar. Satu dan yang lainnya tegak bersisian. Lebar kedua jendela itu, jika digabung, selebar rentangan kedua tangan. Panjangnya, bukan seperti jendela yang menghabiskan dinding hingga nyaris menyentuh lantai. Seperti layaknya kebanyakan jendela saja. Setengah dinding lebih sedikit. Kacanya yang nyaris hitam adalah persegi panjang vertikal berkolom dua dan berbaris tiga. Begitu pun dengan jendela yang satunya. Serupa anak kembar.    

Di luar, ada dinding bercat putih setinggi rumah, berjarak sekitar satu meter dari jendela. Pada ruang antara jendela dan dinding, empat pot besar berisi tanaman berdaun hijau pekat, panjang, dan lebar, dijajarkan. Dua pot besar yang posisinya ditengah diletakkan lebih tinggi, menggunakan semacam penyangga, hingga daunnya yang jadi setinggi setengah jendela terlihat dari kamar. Dua pot lainnya diletakkan di sisi sebelah kiri dan kanan, di atas lantai. Daunnya pun menyembul hampir setengah jendela, sebab lebih tinggi, panjang, dan besar. Selain empat pot besar itu, terdapat tiga pot kecil disekitarnya bila melongokkan kepala keluar jendela. Namun daun-daunnya tidak terlihat dari kamar.

Ruang di antara jendela dan dinding dibuat tanpa atap. Hanya besi-besi yang saling berkait membentuk bujur sangkar kecil-kecil. Membikin hujan dan angin leluasa menyelusup. Menyejukkan hawa kamar bila jendela dibuka. Bila angin datang, dedaunan akan bergoyang seperti mengangguk-angguk. Bila hujan yang datang, air yang jatuh pada permukaan dedaunan akan memantul ke kaca jendela, menyisakan serupa embun rintik, nyaris hampir menutupi setengah di bagian bawahnya. Ada sedikit atap fiber di atas jendela yang fungsinya melindungi agar tidak kuyup bila hujan bertamu.

Kusen dan teralis jendela berwarna putih tulang. Teralis berbesi pipih. Berkait-kait menyerupai macam-macam bangun dua dimensi. Pada tepi kiri dan kanan, besi teralis membentuk susunan segi empat dan persegi panjang vertikal. Pada bagian tengah, membentuk susunan segitiga, jajaran genjang, belah ketupat, dan trapesium yang berulang-ulang. Pun dengan jendela di sebelahnya.  


 gambar diambil dari sini

Ia
Sebuah tempat tidur menelentang dibalik jendela. Tempat tidur dengan lebar 120 cm. Di sinilah ia menghabiskan sebagian harinya. Ditemani sebuah laptop yang diletakkan di atas tumpukan bantal. Ia suka mengetik di atas kasur yang bersisian dengan kedua jendela. Tidak di kursi dan meja yang juga terdapat di dalam kamar itu. Kursinya membelakangi jendela dan menghadap dinding mati. Kerap membuatnya mengantuk dan kehabisan ide.

Sejak mulai subuh hingga lepas magrib, ia akan membiarkan jendela itu terbuka setengahnya. Tidak dibuka sepenuhnya sebab akan membengkokkan beberapa helai daun yang nyaris menyentuh kaca jendela. Namun angin tetap leluasa masuk ke dalam kamar. Angin yang membuatnya merasa sedang duduk dan menulis di sebuah taman hijau lepas. Sambil menyelonjorkan sebelah kaki bergantian atau bersila di atas rumput.

Pagi ini, cuaca redup. Angin berbondong-bondong masuk dari atas melalui celah-celah persegi. Menggoyangkan daun-daun. Mereka bergesekan satu sama lain. Menimbulkan gerisik. Gerimis takmau kalah mengikuti angin. Mengetuk-ngetuk atap fiber dan dedaunan. Permukaan daun basah. Juga dinding di dekatnya. Namun rintik air yang menyentuh permukaan dedaunan, tidak memercik ke kaca jendela. Mungkin bersebab hujan tidak deras.

Ia masih terus menulis. Sesekali menatap daun-daun yang tengah menari bersama angin. Sesekali sambil mendengarkan ketukan gerimis. Sesekali mengubah posisi kaki. Sesekali juga berbaring sebentar meluruskan punggung. Ia menulis sejak selepas subuh tadi. Hampir setiap hari pada waktu yang sama. Sebab di kala subuh, pikirannya serupa sumber mataair yang mengalir. Hingga pada waktu tertentu. Setelahnya ia akan jeda agak lama. Melakukan hal lain. Lalu selepas makan siang, kembali lagi. Meski pikirannya tidak sejernih di subuh hari.

Namun ia suka siang seperti saat ini. Cuaca masih redup. Bila siang, biasanya cahaya matahari juga ikut-ikutan memancar dari atas. Menggaris-garis dinding. Namun tidak sampai masuk kamar. Siang kali ini, tidak ada cahaya  yang memancar. Meski gerimis juga telah pergi. Hanya angin yang sesekali masih menggoyangkan daun-daun. Dan ada nyanyian burung. Barangkali berasal dari rumah tetangga. Beberapa tetangga terdekat gemar memelihara burung. Hawa siang ini masih menyerupai pagi. Itu membantunya untuk bertahan di depan laptop. Dari sudut mata, dedaunan masih menari. Kadang pelan, kadang cepat. Tergantung mood angin.         

Waktu
Sejak beberapa waktu ke belakang, ia memiliki waktu yang melimpah untuk menulis. Sesuatu yang didambanya semenjak dulu. Ketika menulis hanya dilakukan pada sisa waktu. Dengan energi sisa pula. Ketika kuliah dan pekerjaan ngotot untuk ditempatkan pada prioritas utama. Dulu, ia sempat berkhayal untuk jadi pengangguran saja. Agar bisa membaca dan menulis sepanjang hari. Benar-benar menulis hal yang diinginkan. Tanpa intervensi. Tanpa desakan dari luar. Tanpa dikejar-kejar deadline. Menulis untuk menghayati kehidupan. Ia muak melakukan hal yang disukai dengan diburu-buru.

Meski kadang, terlalu banyak waktu untuk melakukan sesuatu juga jadi membosankan. Begitulah manusia. Tidak diberi, memohon-mohon untuk diberi. Diberi dengan melimpah, malah jadi bosan dan tidak mensyukuri. Tapi, ia tetap bertahan. Sebab ia menyadari waktu yang diberikan kini adalah pengabulan atas gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati spontannya yang lalu-lalu, kapan aku punya waktu untuk menulis, ketika harus pergi bekerja pagi-pagi sekali dan pulang malam sekali. Ketika di kala weekend pun harus mengurusi pekerjaan lain. Dan ketika-ketika lainnya. Ia pun menyadari, semua ketika-ketika itu pun, kegiatan yang menyita waktunya itu, ia yang meminta melalui gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati.

Beberapa hal masih diingatnya. Dimulai saat ia ingin bersekolah di luar kota kelahirannya.  Beberapa saat kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya terwujud. Lalu, saat ia ingin kembali bersekolah di kota kelahirannya; ingin berdekatan kembali dengan orang tuanya. Beberapa waktu kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya juga terwujud.

Kemudian, saat ingin kos dan kuliah di sebuah kota. Saat ingin takhanya kuliah saja, tapi juga sambil bekerja. Saat ingin aktif dalam berbagai organisasi. Saat ia ingin memiliki banyak waktu untuk mendalami agamanya. Saat ingin merasakan bekerja dari pagi hingga malam hari. Saat ingin punya waktu banyak untuk berkegiatan di luar. Saat ingin menikah. Saat ingin memiliki anak. Saat ingin punya waktu untuk menulis sepuasnya. Semua waktu yang diinginkannya untuk dapat melakukan sesuatu hal pada akhirnya didapatnya. Meski pengabulannya tidak pada saat itu. Meski lebih banyak dimintanya melalui gumanan atau pikiran yang tiba-tiba terlintas atau jeritan dalam hati, bukan berdoa dengan sadar pada waktu-waktu tertentu.       

Bahwa akan selalu ada waktu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, meskipun tidak sekarang. Itu sebuah pembelajaran yang dipetiknya setelah melewati beberapa episode hidup. Jadi, fokus saja terhadap apa pun kesempatan yang diberikan saat ini. Sebab, waktu berlimpah yang diberikan ini berbatas dan akan tiba waktu untuk melakukan sesuatu yang lain yang (sebenarnya) juga atas keinginan sendiri. Sebab keinginan manusia untuk melakukan ini dan itu begitu banyak.

Dulu, ia memiliki pendekatan lain dalam memandang waktu yang diberikan untuk berkesempatan melakukan sesuatu. Ketika diberikan waktu untuk berkesempatan melakukan A, saat bosan, ia bergegas dan menjerit-jerit ingin diberikan waktu untuk dapat melakukan B, sehingga takdapat menikmati proses melakukan A secara penuh. Sebab sementara tubuhnya menjalani kegiatan A, pikirannya menjelajah pada B. Dan ketika mendapatkan kesempatan melakukan B, hal yang sama terulang lagi. Tubuhnya menjalani kegiatan B, pikirannya menjelajah pada kegiatan C. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya ia bingung sendiri dan bertanya pada diri, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?

Itu sebabnya, saat ini, jika ada teman yang curhat tentang waktu, tentang kesempatan ingin melakukan ini itu, ia akan selalu bilang, nikmati waktu dan kesempatan saat ini, sebab belum tentu nanti akan diberikan kesempatan untuk melakukannya lagi. Kepada teman yang belum menikah ia akan bilang, nikmati kesendirianmu dan maksimalkan penggunaan waktumu saat masih sendiri sebab belum tentu nanti kamu akan diberikan kesempatan seperti ini lagi. Kepada teman yang belum dikarunia anak, ia akan bilang, nikmati keaadaan sekarang dan maksimalkan waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu yang tidak akan bisa kamu lakukan lagi setelah memiliki anak nanti. Sebab hanya dengan begitu kita dapat benar-benar menikmati hidup dan kesempatan yang diberikan saat ini.  

gambar diambil dari sini

Salam,


Nanda