Rabu, 19 Juni 2013

A Thousand Words

gambar diambil dari sini

Jack McCall, seorang literary agent, masuk ke sebuah kedai kopi, menatap antrian, lalu meminta kemurahan hati pengantri terdepan untuk mendahulukan dirinya. Permintaannya ditolak. Ia lalu berjalan menuju antrian paling belakang. Namun pria berkulit hitam itu takkehilangan akal. Sebab waktu sangat penting baginya. Mengantri berarti membuang-buang waktu. Ia berlagak seolah sedang menerima telepon dengan mengeraskan suara. Pura-pura kaget mengetahui istrinya tengah di ruang persalinan. Taktanggung-tanggung bualannya, sang istri melahirkan bayi kembar. Semua pengantri akhirnya merelakan Jack untuk memotong antrian. Sementara saat itu, sang istri tengah bersama putra mereka yang berusia beberapa bulan.

Sambil tetap memegang cangkir kopi, Jack berbicara terus menerus di hadapan psikiaternya, dengan tempo yang cepat seraya menggerak-gerakkan tangan ke atas ke bawah ke samping kanan dan kiri. Belum sempat sang psikiater merespon perkataannya, sebab takdapat memotong ucapannya, Jack sudah minta izin pamit.

Setibanya di depan kantor, Jack diberondong dengan pertanyaan dan permohonan oleh seorang petugas parkir, apakah Jack sudah membaca naskah yang ditulisnya, apakah ia bisa membaca setidaknya dua puluh lembar saja. Belum sempat menjawab, ponsel Jack berbunyi. Ia berjalan cepat menuju kantor sambil menerima telepon dan memerintahkan seseorang di sana untuk berbicara dalam dua kalimat, menjawab pertanyaan dan berkata pada petugas parkir itu, lalu melanjutkan pembicaraan lewat ponsel.

Di dalam ruang pribadi di kantornya, Jack memerintahkan asistennya yang sedang menghadap untuk berbicara dari pikiran tapi lakukan dengan cepat. Ketika asistennya itu menawarinya untuk membaca buku, Jack mengatakan, Semua buku terbaik memiliki semua yang ingin kauketahui di lima halaman depan dan lima halaman terakhir. Jadi, baca saja bagian-bagian itu dan kamu akan mengetahui keseluruhan isi buku tersebut.

***

Jack berkesempatan bekerja sama dengan Sinja, seorang tokoh spiritualis, penyembuh, dan memiliki puluhan juta pengikut.  Dengan rasa percaya dirinya yang tinggi, dan sedikit upaya membuat keributan kecil saat ritual meditasi berlangsung, keberadaan Jack berhasil menarik perhatian Sinja. Kepentingan Jack? Menjadi agen untuk memasarkan buku Sinja. Ia tahu buku itu akan menjadi best seller bersebab banyaknya jumlah pengikut tokoh tersebut. Jack sedikit membual untuk membuat Sinja tertarik bekerja sama. Di bawah sebatang pohon yang sempat melukai jari Jack ketika ia meraba pohon itu hingga sedikit darah dari jarinya menempel pada batang pohon, jabat tangan pun berlangsung, tanda kerja sama.

Sebagai ungkapan kegembiraan atas terjalinnya kerja sama itu, sekembalinya dari tempat Sinja, Jack mengunjungi ibunya yang sedang mengadakan pesta kecil perayaan ulang tahun. Setiap bertemu sang ibu, sebuah peristiwa selalu terjadi berulang. Sang ibu selalu menganggap Jack adalah Raymond, suaminya yang sempat pergi meninggalkannya dan telah wafat. Dan seperti biasa, Jack selalu menyangkal dan taksuka ia dianggap sebagai ayahnya.

Malam hari, sesampainya di rumah. Caroline, istri Jack, membuka percakapan. Menawarkan untuk pindah ke rumah yang lebih aman dan lingkungan yang lebih ramah bagi anak mereka. Jack menolak. Sebab baginya rumah mewah dan modern yang ditempati saat ini sudah sangat sempurna. Caroline sepakat bahwa rumah yang sekarang memang sempurna, namun tidak aman untuk anak kecil. Rumah yang dominan berdinding kaca itu berkolam renang tanpa pembatas dan berada di tepi tebing dengan ketinggian dua ribu kaki. Tiap hari, ia mengganti popok anaknya di bar. Menidurkan anaknya di ruang media. Jack tetap menolak dengan alasan pindah rumah adalah sebuah perubahan besar. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Jack mengatakan, baiklah, mari kita lakukankita akan mengecat ulang ruang media dan menambahkan beberapa tokoh kartun anak-anak…”

Setelah pembicaraan berakhir, rumah mereka bergetar. Sebatang pohon tiba-tiba muncul dari tanah dan menjulang di tepian kolam renang. Pohon berdaun rimbun yang melukai jarinya siang tadi, sewaktu di tempat Sinja. Saat Jack mengucap dua kata, luruhlah dua helai daun dari pohon itu.

***

Pagi hari, di kantor. Seperti biasa, Jack selalu meminta asistennya berbicara cepat saat menghadap. Sang asisten bilang, contoh buku Sinja sudah diterima. Jack yang tadinya bergembira dengan informasi tersebut, langsung terdiam dan kesal ketika melihat buku Sinja. Sebuah buku saku yang berisi lima halaman. Selesai. Seperti buku yang dikhususkan untukmu, celetuk asistennya.

Jack lantas menemui tokoh spiritual itu dan mengungkapkan kekesalannya. Pertama mengenai buku yang taksesuai harapan, kedua mengenai pohon yang tiba-tiba muncul di rumahnya. Mengenai buku, Sinja dengan tenang menanggapi kekesalan Jack. Mengenai pohon, Sinja heran sebab merasa tidak pernah “mengirimkan” apa pun. Jack lantas mengajak Sinja berkunjung ke rumahnya.

Ternyata pohon ini kemari, ucap Sinja tenang, saat melihatnya. Sebuah cabang takberdaun dari pohon itu menarik perhatiannya. Sinja memperhatikan, ketika Jack berbicara, beberapa helai daun luruh. Sinja lalu meminta Jack mengatakan sesuatu, untuk memastikan. Beberapa kali Jack berbicara, daun itu kembali luruh. Ia pun menyimpulkan, Jack dan pohon itu terhubung. Makin banyak kauberbicara, makin banyak daun yang gugur. Kausemakin sakit. Kira-kira apa yang terjadi bila semua daun itu gugur? Pohon itu akan mati. Itu berarti, Jack juga akan mati.

Satu kata untuk sehelai daun yang luruh. Jack panik. Berusaha menebang pohon itu dengan kapak. Yang terjadi justru, ia terpental dan pada pinggangnya yang sakit, tiba-tiba terdapat segaris bekas luka sayat. Jack bertambah panik. Sinja, yang akan berangkat ke sebuah tempat spiritual di Bolivia dan akan menghabiskan waktunya selama  tiga hari di sana, berjanji akan mencari informasi dari teman-teman spiritualnya untuk menyelesaikan masalah Jack. Dan dalam waktu tiga hari itu, Sinja memberi saran agar Jack tidak menghamburkan kata-kata, alias bungkam, jika ia tidak ingin mati cepat.

Takingin mempertaruhkan nyawanya, Jack pun menuruti saran Sinja. Akan tetapi, sungguh tidak mudah baginya −seseorang yang selalu berpikir, berbicara, dan bergerak cepat− untuk membungkam mulut. Meski mulutnya takbersuara, tetapi pikirannya selalu bergerak ke sana kemari sehingga dengan mulutnya yang bungkam namun pikiran yang tetap bergerak, emosinya jadi sering tersulut. Alhasil, semakin Jack berusaha bungkam justru semakin banyak sumpah serapah yang keluar dari mulutnya, mengakibatkan daun-daun itu tetap luruh. Menyisakan cabang dan rating kering tanpa daun.

Dalam waktu tiga hari masa diam Jack, karirnya hancur; ia dipecat. Keluarganya berantakan; istrinya pergi dari rumah. Daun-daun itu tetap berangsur luruh; ia makin sekarat. Dalam kemarahan dan kepanikannya, terbersitlah ide untuk berbuat kebaikan. Jack mulai membagi-bagikan roti untuk para tunawisma, bersedekah, dan menolong orang lain. Namun tidak ada pengaruhnya. Daun-daun itu tetap luruh tiap kali ia berbicara.

Jack makin nelangsa ketika mengetahui Sinja tidak berhasil mendapatkan solusi atas masalahnya. Spiritualist itu hanya memberikan beberapa wejangan. Kau harus mencari kebenaran tentang dirimu. Kau harus tenang, bukan hanya mulutmu, tapi juga pikiranmu. Dan dalam ketenangan itu, kau akan mendengar kebenarannya.

Sinja lalu menuntun Jack menemukan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam dirinya dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Perhatikan omonganmu Jack. Kau mengatakan padanya seperti jutaan daun yang jatuh dari pohon sekarat. Kata-kata. Coba perlihatkan padanya bahwa kau mencintainya. Buat kedamaian. Perlihatkan pada mereka bahwa kau mencintai mereka dan bisa dipercaya, lanjut Sinja.

Kau juga perlu terima kemungkinan bahwa saat semua daun jatuh dari pohon itu…, Jack menyetop ucapan Sinja dengan mengangkat kelima jari kirinya.

Jack pulang dalam keadaan mabuk. Ia menghampiri sang pohon dan mengeluarkan sumpah serapah. Lalu meracau. Asisten kantornya yang kebetulan juga berada di sana dan telah mengetahui masalah Jack, mati-matian menyuruhnya berhenti berbicara. Mulai dari memarahi lalu mendorong Jack hingga pingsan.

Pagi hari ketika Jack sadarkan diri, hanya belasan daun yang tersisa pada pohon itu. Seperti tubuhnya yang juga makin sekarat. Di tengah kesedihan yang melanda, akhirnya ia menyempatkan diri untuk membaca buku lima halaman yang ditulis Sinja.  

Jack memutuskan untuk tidak lagi bungkam. Ia memilih untuk mendengarkan dan berkata-kata yang memang perlu saja untuk diucapkan, pada beberapa orang yang membutuhkan perhatiannya. Pada beberapa orang yang kerap berinteraksi dengannya namun kerap pula diabaikannya bersebab ia terlalu fokus pada dirinya sendiri. Kata-kata yang memang ingin didengar oleh mereka dari mulut Jack.

Pertama kali yang ditemuinya adalah istri dan anaknya. Kepada mereka, Jack hanya mengatakan empat kata. Orang kedua yang didatanginya adalah pelayan di kedai kopi yang setiap pagi bertemu dengannya. Jack memberikan hadiah, sebuah benda yang diimpikannya, mendengarkannya berbicara, lalu mengucapkan tiga kata. Orang ketiga adalah petugas parkir yang juga setiap pagi bertemu dengannya, yang selalu bertanya apakah Jack sudah membaca naskahnya. Kepada petugas parkir itu, Jack mengucapkan dua kata yang selalu dinantikan. Orang keempat yang dikunjunginya adalah ibunya. Jack membiarkan sang ibu menyangka dirinya adalah ayahnya. Mendengarkan sepenuh hati ibunya berbicara. Kepada sang ibu, Jack mengucapkan enam kata.

Terakhir, ia mengunjungi makam ayahnya. Hubungannya dengan sang ayah adalah akar dari semua permasalahannya saat ini. Ayahnya telah lama meninggalkan rumah. Itu membuat Jack marah sekaligus merasa bersalah. Jack selalu mengira, ia lah penyebab ayahnya pergi. Tanpa sadar, Jack pun “pergi” meninggalkan orang-orang yang menyayangi dan disayanginya, meski bukan dalam arti fisik. Di depan makam ayahnya, Jack mengucapkan tiga kata, yang sekaligus meluruhkan tiga helai daun terakhir.

Apakah Jack akhirnya meninggal?


Judul Film : A Thousand Words • Kategori: drama, komedi • Pemeran: Eddie Murphy (Jack McCall, seorang literary agent), Cliff Curtis (Sinja, tokoh spiritual), Kerry Washington) (Caroline, istri Jack), Clark Duke (Aaron, asisten Jack) • Sutradara:  Brian Robbins • Penulis: Steve Koren • Produser: Alain Chabat, Stephanie Danan, Nicolas Cage, Norman Golightly, Brian Robbins, Sharla Sumpter Bridgett  • Musik: John Debney • Distribusi: Paramount Pictures • Rilis: 09 Maret 2012 • Durasi: 90 menit




Jumat, 14 Juni 2013

Jendela, Ia, Waktu



Jendela
Sepasang jendela di sebuah kamar. Satu dan yang lainnya tegak bersisian. Lebar kedua jendela itu, jika digabung, selebar rentangan kedua tangan. Panjangnya, bukan seperti jendela yang menghabiskan dinding hingga nyaris menyentuh lantai. Seperti layaknya kebanyakan jendela saja. Setengah dinding lebih sedikit. Kacanya yang nyaris hitam adalah persegi panjang vertikal berkolom dua dan berbaris tiga. Begitu pun dengan jendela yang satunya. Serupa anak kembar.    

Di luar, ada dinding bercat putih setinggi rumah, berjarak sekitar satu meter dari jendela. Pada ruang antara jendela dan dinding, empat pot besar berisi tanaman berdaun hijau pekat, panjang, dan lebar, dijajarkan. Dua pot besar yang posisinya ditengah diletakkan lebih tinggi, menggunakan semacam penyangga, hingga daunnya yang jadi setinggi setengah jendela terlihat dari kamar. Dua pot lainnya diletakkan di sisi sebelah kiri dan kanan, di atas lantai. Daunnya pun menyembul hampir setengah jendela, sebab lebih tinggi, panjang, dan besar. Selain empat pot besar itu, terdapat tiga pot kecil disekitarnya bila melongokkan kepala keluar jendela. Namun daun-daunnya tidak terlihat dari kamar.

Ruang di antara jendela dan dinding dibuat tanpa atap. Hanya besi-besi yang saling berkait membentuk bujur sangkar kecil-kecil. Membikin hujan dan angin leluasa menyelusup. Menyejukkan hawa kamar bila jendela dibuka. Bila angin datang, dedaunan akan bergoyang seperti mengangguk-angguk. Bila hujan yang datang, air yang jatuh pada permukaan dedaunan akan memantul ke kaca jendela, menyisakan serupa embun rintik, nyaris hampir menutupi setengah di bagian bawahnya. Ada sedikit atap fiber di atas jendela yang fungsinya melindungi agar tidak kuyup bila hujan bertamu.

Kusen dan teralis jendela berwarna putih tulang. Teralis berbesi pipih. Berkait-kait menyerupai macam-macam bangun dua dimensi. Pada tepi kiri dan kanan, besi teralis membentuk susunan segi empat dan persegi panjang vertikal. Pada bagian tengah, membentuk susunan segitiga, jajaran genjang, belah ketupat, dan trapesium yang berulang-ulang. Pun dengan jendela di sebelahnya.  


 gambar diambil dari sini

Ia
Sebuah tempat tidur menelentang dibalik jendela. Tempat tidur dengan lebar 120 cm. Di sinilah ia menghabiskan sebagian harinya. Ditemani sebuah laptop yang diletakkan di atas tumpukan bantal. Ia suka mengetik di atas kasur yang bersisian dengan kedua jendela. Tidak di kursi dan meja yang juga terdapat di dalam kamar itu. Kursinya membelakangi jendela dan menghadap dinding mati. Kerap membuatnya mengantuk dan kehabisan ide.

Sejak mulai subuh hingga lepas magrib, ia akan membiarkan jendela itu terbuka setengahnya. Tidak dibuka sepenuhnya sebab akan membengkokkan beberapa helai daun yang nyaris menyentuh kaca jendela. Namun angin tetap leluasa masuk ke dalam kamar. Angin yang membuatnya merasa sedang duduk dan menulis di sebuah taman hijau lepas. Sambil menyelonjorkan sebelah kaki bergantian atau bersila di atas rumput.

Pagi ini, cuaca redup. Angin berbondong-bondong masuk dari atas melalui celah-celah persegi. Menggoyangkan daun-daun. Mereka bergesekan satu sama lain. Menimbulkan gerisik. Gerimis takmau kalah mengikuti angin. Mengetuk-ngetuk atap fiber dan dedaunan. Permukaan daun basah. Juga dinding di dekatnya. Namun rintik air yang menyentuh permukaan dedaunan, tidak memercik ke kaca jendela. Mungkin bersebab hujan tidak deras.

Ia masih terus menulis. Sesekali menatap daun-daun yang tengah menari bersama angin. Sesekali sambil mendengarkan ketukan gerimis. Sesekali mengubah posisi kaki. Sesekali juga berbaring sebentar meluruskan punggung. Ia menulis sejak selepas subuh tadi. Hampir setiap hari pada waktu yang sama. Sebab di kala subuh, pikirannya serupa sumber mataair yang mengalir. Hingga pada waktu tertentu. Setelahnya ia akan jeda agak lama. Melakukan hal lain. Lalu selepas makan siang, kembali lagi. Meski pikirannya tidak sejernih di subuh hari.

Namun ia suka siang seperti saat ini. Cuaca masih redup. Bila siang, biasanya cahaya matahari juga ikut-ikutan memancar dari atas. Menggaris-garis dinding. Namun tidak sampai masuk kamar. Siang kali ini, tidak ada cahaya  yang memancar. Meski gerimis juga telah pergi. Hanya angin yang sesekali masih menggoyangkan daun-daun. Dan ada nyanyian burung. Barangkali berasal dari rumah tetangga. Beberapa tetangga terdekat gemar memelihara burung. Hawa siang ini masih menyerupai pagi. Itu membantunya untuk bertahan di depan laptop. Dari sudut mata, dedaunan masih menari. Kadang pelan, kadang cepat. Tergantung mood angin.         

Waktu
Sejak beberapa waktu ke belakang, ia memiliki waktu yang melimpah untuk menulis. Sesuatu yang didambanya semenjak dulu. Ketika menulis hanya dilakukan pada sisa waktu. Dengan energi sisa pula. Ketika kuliah dan pekerjaan ngotot untuk ditempatkan pada prioritas utama. Dulu, ia sempat berkhayal untuk jadi pengangguran saja. Agar bisa membaca dan menulis sepanjang hari. Benar-benar menulis hal yang diinginkan. Tanpa intervensi. Tanpa desakan dari luar. Tanpa dikejar-kejar deadline. Menulis untuk menghayati kehidupan. Ia muak melakukan hal yang disukai dengan diburu-buru.

Meski kadang, terlalu banyak waktu untuk melakukan sesuatu juga jadi membosankan. Begitulah manusia. Tidak diberi, memohon-mohon untuk diberi. Diberi dengan melimpah, malah jadi bosan dan tidak mensyukuri. Tapi, ia tetap bertahan. Sebab ia menyadari waktu yang diberikan kini adalah pengabulan atas gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati spontannya yang lalu-lalu, kapan aku punya waktu untuk menulis, ketika harus pergi bekerja pagi-pagi sekali dan pulang malam sekali. Ketika di kala weekend pun harus mengurusi pekerjaan lain. Dan ketika-ketika lainnya. Ia pun menyadari, semua ketika-ketika itu pun, kegiatan yang menyita waktunya itu, ia yang meminta melalui gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati.

Beberapa hal masih diingatnya. Dimulai saat ia ingin bersekolah di luar kota kelahirannya.  Beberapa saat kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya terwujud. Lalu, saat ia ingin kembali bersekolah di kota kelahirannya; ingin berdekatan kembali dengan orang tuanya. Beberapa waktu kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya juga terwujud.

Kemudian, saat ingin kos dan kuliah di sebuah kota. Saat ingin takhanya kuliah saja, tapi juga sambil bekerja. Saat ingin aktif dalam berbagai organisasi. Saat ia ingin memiliki banyak waktu untuk mendalami agamanya. Saat ingin merasakan bekerja dari pagi hingga malam hari. Saat ingin punya waktu banyak untuk berkegiatan di luar. Saat ingin menikah. Saat ingin memiliki anak. Saat ingin punya waktu untuk menulis sepuasnya. Semua waktu yang diinginkannya untuk dapat melakukan sesuatu hal pada akhirnya didapatnya. Meski pengabulannya tidak pada saat itu. Meski lebih banyak dimintanya melalui gumanan atau pikiran yang tiba-tiba terlintas atau jeritan dalam hati, bukan berdoa dengan sadar pada waktu-waktu tertentu.       

Bahwa akan selalu ada waktu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, meskipun tidak sekarang. Itu sebuah pembelajaran yang dipetiknya setelah melewati beberapa episode hidup. Jadi, fokus saja terhadap apa pun kesempatan yang diberikan saat ini. Sebab, waktu berlimpah yang diberikan ini berbatas dan akan tiba waktu untuk melakukan sesuatu yang lain yang (sebenarnya) juga atas keinginan sendiri. Sebab keinginan manusia untuk melakukan ini dan itu begitu banyak.

Dulu, ia memiliki pendekatan lain dalam memandang waktu yang diberikan untuk berkesempatan melakukan sesuatu. Ketika diberikan waktu untuk berkesempatan melakukan A, saat bosan, ia bergegas dan menjerit-jerit ingin diberikan waktu untuk dapat melakukan B, sehingga takdapat menikmati proses melakukan A secara penuh. Sebab sementara tubuhnya menjalani kegiatan A, pikirannya menjelajah pada B. Dan ketika mendapatkan kesempatan melakukan B, hal yang sama terulang lagi. Tubuhnya menjalani kegiatan B, pikirannya menjelajah pada kegiatan C. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya ia bingung sendiri dan bertanya pada diri, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?

Itu sebabnya, saat ini, jika ada teman yang curhat tentang waktu, tentang kesempatan ingin melakukan ini itu, ia akan selalu bilang, nikmati waktu dan kesempatan saat ini, sebab belum tentu nanti akan diberikan kesempatan untuk melakukannya lagi. Kepada teman yang belum menikah ia akan bilang, nikmati kesendirianmu dan maksimalkan penggunaan waktumu saat masih sendiri sebab belum tentu nanti kamu akan diberikan kesempatan seperti ini lagi. Kepada teman yang belum dikarunia anak, ia akan bilang, nikmati keaadaan sekarang dan maksimalkan waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu yang tidak akan bisa kamu lakukan lagi setelah memiliki anak nanti. Sebab hanya dengan begitu kita dapat benar-benar menikmati hidup dan kesempatan yang diberikan saat ini.  

gambar diambil dari sini

Salam,


Nanda

Rabu, 12 Juni 2013

Krisis Percaya Diri


Tujuanku adalah sebuah toko kelontong modern. Kita dapat menjumpai kembarannya pada tiap satu kilo meter sepanjang jalan. Usaha yang sering diteriaki sebagai kapitalis namun tetap saja, sang peneriak masih betah berbelanja di sana. Barangkali termasuk aku. Barangkali bersebab tempatnya yang lebih nyaman dan berhawa dingin. Barangkali bersebab bisa puas berputar-putar mencermati satu persatu barang hingga terpilih sebuah yang akan dibeli. Barangkali bersebab banyak diskon yang ditawarkan.

Meski, ketika membuka pintu toko, sang kasir selalu mengucapkan selamat pagi atau siang atau sore atau malam tanpa menunjukkan wajah. Akan tetapi, bukankah juga taksemua pemilik toko kelontong biasa menunjukkan muka ramah? Meski, kadang harga untuk item yang dibeli sedang tinggi dibanding hari-hari biasa. Akan tetapi, bukankah harga barang di toko kelontong biasa malah kebanyakan lebih mahal? 

Toko kelontong modern yang kutuju, agak lebih besar dibanding dengan yang kerap bertaburan. Hawa dingin langsung menerpa begitu aku masuk. Kontras dengan kondisi di luar. Para pegawai yang tampak, ada yang sedang menghitung belanjaan pembeli, menata barang, dan mengepel lantai. Sebuah TV flat cukup besar tergantung di dinding sebelah kanan. Mendengungkan jingle toko. Menayangkan iklan toko. Rak-rak yang berbaris rapi hanya setinggi bahu perempuan Indonesia dewasa. Barangkali sengaja di desain begitu agar pembeli di semua lorong dapat meihat iklan di TV. 

Aku memasuki salah satu lorong di antara rak. Asal saja. Meski ingat apa yang ingin kubeli. Ingin sedikit berkeliling dulu sambil mencermati barang-barang lain. Melihat harganya. Lalu membandingkan dengan harga barang serupa di tempat lain. Setelah puas, baru melongok mencari barang yang kubutuhkan. Baby oil dan lulur mandi. Hari ini aku beruntung. Baby oil merk tertentu, isi dua ratus ml, harganya sama dengan isi seratus ml. Lalu, berpindah ke rak lulur mandi. Mencermati, membaca, menimbang, memilih sebuah dengan fungsi yang diinginkan, harga yang pas, dan merk yang tidak abal-abal, lalu menuju kasir.

Sang kasir sedang menghitung belanjaan seorang pembeli. Aku berdiri di belakangnya. Sambil menunggu, aku memperhatikan iklan di TV yang sedari tadi suaranya berputar-putar di telinga.

Seorang laki-laki muda sedang duduk di belakang setir. Lalu, secara tiba-tiba, jok mobil dipenuhi teman-temannya. Takberapa lama, mereka kabur, setelah sebelumnya menutup hidung. Tinggal si empunya mobil yang tetap duduk di belakang setir. Wajahnya nelangsa. Jok yang tadinya bersih, kini terlihat kusam. Lalu, laki-laki itu membeli pewangi mobil dari toko kelontong modern. Setelah ruang dalam mobil dipasang pewangi dan body mobil diperbagus, teman-temannya pun kembali.

Itu tadi visualisasinya. Narasi dari iklan tadi kira-kira begini:

Andi (laki-laki muda) memiliki sebuah mobil. Dengan mobilnya, ia dan teman-temannya hangout. Tetapi lama-lama, teman-temannya takmau lagi pergi dengan mobil Andi. Sebab mobilnya bau. Andi pun sedih. Kemudian, ia membeli pewangi mobil dari sebuah toko kelontong modern. Setelah mobilnya di pasang pewangi dan body mobilnya di perkeren, akhirnya teman-temannya kembali mau kongkow bareng Andi. Dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri.

Giliranku membayar belanjaan. Ketika menunggu kasir selesai menghitung, ujung narasi iklan itu melantun-lantun dalam benakku. Dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri. Aku menyerahkan sejumlah uang, mengecek nota, lalu keluar toko dengan diiringi ucapan terima kasih tanpa wajah dari kasir dan ujung narasi iklan yang menempel di benak.

Aku berjalan lebih menepi dan lebih hati-hati. Sebab pikiranku mulai lepas, menjelajah ke sana kemari. Siapa yang membuat naskah iklan itu? Apa ia tengah sadar ketika membikin kalimat, dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri?  Disadari atau tidak, si pembuat naskah mengaitkan antara kebendaan dan rasa percaya diri. Ingatanku lantas menjalar pada beberapa tahun yang telah lepas. Menemukan sebuah tugas akhir yang berjudul,”Hubungan Antara brand Pakaian Dengan Rasa Percaya Diri”. Berkorelasi.

Mendapatkan rasa percaya diri dengan mengenakan sejumlah atribut, memang cara yang sungguh menggoda. Cara yang mudah dan instan. Takperlu bersusah-susah memupuknya dari dalam diri. Cukup dengan membeli benda-benda yang kamu anggap dapat meningkatkan rasa percaya dirimu. Selesai. Rasa percaya diri pun (seolah) meningkat. Dengan segala benda-benda itu, kamu dapat berjalan dengan menegakkan kepala dan tersenyum lebar pada dunia. Selain dengan cara memakai beragam atribut, cara mudah lainnya untuk mendapatkan rasa percaya diri adalah dengan merendahkan dan memandang buruk orang lain, sehingga merasa diri lebih baik. Mudah. Namun akibatnya, fatal.

Sebab, ketika atribut yang dikenakan hilang, rasa percaya diri pun ikut hilang. Aku jadi paham mengapa banyak orang yang ketika harta bendanya hilang, ia bisa sangat terpukul. Bahkan sakit-sakitan. Sebab sesungguhnya yang hilang itu lebih dari sekedar harta benda. Sesugguhnya yang hilang itu adalah rasa percaya dirinya sebagai manusia. Dengan tiadanya rasa percaya diri, ia jadi takberdaya menghadapi dunia.

Aku lalu berpikir, apa jadinya jika banyak orang yang rasa percaya dirinya terkait dengan atribut atau kebendaan atau materi? Berarti banyak orang yang akan terus-terusan membeli dan membeli sejumlah atribut yang menurutnya membuat rasa percaya dirinya bertambah. Itu artinya, mereka menjadi orang yang konsumtif. Jika mereka tinggal dalam sebuah negeri, maka banyak orang dalam negeri tersebut adalah orang yang konsumtif. Kondisi ini, di mana sebuah negeri dihuni oleh mayoritas orang yang konsumtif, akan membuat para pebisnis (baca: kapitalis) bergairah untuk terus-terusan menyediakan sejumlah benda yang dapat membuat rasa percaya diri orang-orang ini bertambah.

Lalu, dengan terus-terusan tersedianya banyak benda yang dianggap dapat membuat rasa percaya diri meningkat, terlebih lagi jika benda-benda itu memiliki masa trend-nya, maka orang-orang pun akan terus berusaha dan berusaha memiliki segala benda itu. Terus menggantinya dengan model terbaru. Sebab atribut-atribut jadul justru akan menjadikan rasa percaya diri tergadai. Lalu, apa yang akan dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut? Tentu saja, memikirkan bagaimana mencari dana sebanyak mungkin agar dapat membeli dan memiliki segala atribut itu. Di mulai dari bekerja keras nyaris serupa robot, sampai memikirkan segala peluang yang mungkin, hingga mencari jalan pintas.

Jika sebuah negeri dihuni oleh mayoritas orang yang rasa percaya dirinya bergantung dari atribut yang dikenakannya, wajar bila banyak orang di dalamnya memiliki sifat konsumtif dan akhirnya menghalalkan segala cara dalam memenuhinya, bukan?

Jalanan makin ramai oleh kendaraan. Terlebih, aku melewati sebuah jalan yang salah satu pinggirnya sedang dalam penggalian sehingga hanya sisi lainnya yang dapat digunakan oleh pejalan kaki, pengendara, dan kendaraan yang parkir. Aku menghentikan kegiatan berpikirku, demi berkonsentrasi melewati jalanan tersebut.

Salam,


Nanda

Senin, 10 Juni 2013

Mitos kah?


Anak saya yang masih dalam kandungan, hampir setiap saat terasa dan terlihat gerakannya. Makin bertambah usianya, gerakannya makin kentara. Kadang perut saya terlihat tidak bulat sempurna bersebab gerakannya. Sebelah kiri lebih menonjol dibanding sebelah  kanan, atau sebaliknya, dalam waktu yang cukup lama. Kadang gerakannya seperti gelombang. Menonjol sebentar di perut bagian kiri, lalu menghilang, kemudian menonjol lagi di perut bagian kanan, menghilang lagi. Lalu berulang kembali.

Suatu malam, saat mengikuti acara Isra Mikraj yang diselenggarakan dekat rumah, saya duduk di sebelah seorang ibu. Acara belum dimulai. Masih menanti orang-orang yang ingin datang dan menyaksikan. Mungkin masih tertahan di rumah oleh gerimis. Beberapa saat setelah duduk, bayi saya mulai bergerak. Awalnya berupa gerakan pelan. Saya mengelusnya beberapa kali. Gerakannya makin nyata. Bergelombang. Mata saya taklepas tertuju padanya. Memperhatikan gerakannya.  

“Waaah,” terdengar suara ibu di samping saya. Saya menoleh. Ternyata ibu itu pun sedang memperhatikan perut saya sambil tersenyum. Lalu ia mengelus perut saya sebentar.

“Wah, laki (laki-laki) nih,” katanya. Saya tersenyum.

“Oya? Kok bisa, Bu?” tanya saya.

 “Iya. Kalau laki-laki, perut kita rasanya (kalau dipegang) kencang. Gerakannya lebih aktif, di sini-di sini (sambil menunjuk bagian kanan dan kiri area perut saya). Kalau dielus gini (sambil mengelus), dia suka respon. Kalau perempuan, lebih kalem,” terangnya.

“Anak ibu ada berapa?” tanya saya.

“Empat. Laki tiga, perempuan satu. Pertama dan ke-dua laki, ketiga perempuan, terus yang terakhir laki lagi. Semuanya sudah besar. Paling besar sudah kuliah…” Obrolan pun berlanjut.

Ketika menebak jenis kelamin anak saya, sekilas pernyataan ibu itu seperti sebuah mitos. Bahwa kalau perut dan gerakan bayinya begini-begitu, maka itu pasti laki-laki, dan jika begitu-begini, maka itu pasti perempuan. Namun ketika saya mengetahui ia sudah memiliki empat orang anak, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan, saya memaklumi jika ia memiliki pengetahuan itu.

Masa kehamilan adalah masa yang cukup panjang, kurang lebih sembilan bulan. Pada satu atau dua bulan awal kehamilan, banyak ibu yang belum menyadari kehamilannya. Namun pada bulan setelahnya, bersebab cukup panjangnya waktu kehamilan tersebut, hampir semua kondisi yang terjadi dapat disadari. Dari pengalaman ketika hamil anak pertama dan ke-dua yang berjenis kelamin laki-laki, ibu itu memiliki sejumlah pengalaman. Ketika anak ke-tiga −perempuan− lahir, ibu itu merasakan beberapa perbedaan kondisi dibanding saat pertama dan kedua kehamilannya. Ia pun memiliki dugaan. Ketika anak ke-empat −laki-laki− lahir, di mana kondisi yang dirasakannya persis sama tatkala sedang mengandung anak pertama dan ke-dua, sang ibu pun menarik kesimpulan. Bahwa ternyata ada perbedaan dalam hal bentuk dan kondisi perut serta gerakan pada janin laki-laki dan perempuan. Pengetahuan atas dasar pengalaman itu lah kemudian yang dipakainya dalam “menebak” jenis kelamin anak saya.  

Mitos (dalam percakapan sehari-hari) adalah suatu hal salah kaprah dalam masyarakat atau suatu entitas khayalan (wikipedia.org/wiki/Mitos). Barangkali, bisa jadi, sejumlah informasi yang beredar di tengah masyarakat, yang kerap dilabeli sebagai mitos, sebenarnya tidaklah benar-benar mitos. Barangkali, bisa jadi, sejumlah informasi itu memiliki landasan, pengalaman dari sekelompok orang, meski tidak ilmiah. Meski juga, kesimpulan yang ditarik bisa saja salah. Namun, jika informasi itu berulang-ulang diterapkan dan ternyata hasilnya selalu sama pada setiap individu, setiap tempat, setiap waktu, pada beberapa generasi selanjutnya, apa masih disebut mitos?

Barangkali, untuk beberapa hal, kita mengecapnya sebagai mitos bersebab informasi yang kita terima sudah tidak utuh. Sebab sudah berpindah dari mulut ke mulut. Serupa kuis komunikata. Sebuah kalimat yang berisi sepuluh kata “dipindahkan” dari mulut ke mulut, ketika sampai pada orang ke lima, bisa jadi kalimat itu sudah tinggal empat kata, yang sudah tidak mewakili makna dari kalimat sebenarnya.

Barangkali. Bisa jadi.      

Salam,


Nanda



Minggu, 09 Juni 2013

Makanan Penghubung


Kira-kira dua tahun lalu, saya pernah menulis tentang mama dan kopi. Mama saya penyuka kopi. Meski bukan kopi pahit. Juga bukan pecandu. Hanya mengkonsumsi sewajarnya saja. Kopi adalah salah satu minuman yang saya dibolehkan mengkonsumsinya. Akhirnya, saya pun menyukai kopi. Tapi juga bukan kopi pahit. Dan juga bukan pecandu. Satu cangkir sehari. Kadang-kadang dua cangkir, tetapi sangat jarang.

Ketika masih tinggal dengan mama, meski suka, namun tidak terlalu sering saya minum kopi. Rutinitas minum kopi justru saya lakukan setelah jauh dari mama. Aroma kopi yang baru diseduh dan hangat yang menjalari kerongkongan membawa saya ke masa-masa bersama mama. Setiap hari saya minum kopi. Dan setiap hari pula, saya merasa terhubung dengan mama.  

Sebenarnya bukan hanya kopi yang membuat saya merasa mama jadi dekat. Ada beragam jenis makanan dan minuman lain yang mama kerap menyuruh saya mengkonsumsinya, kebanyakan untuk alasan kesehatan. Akan tetapi, di antara semua, kopi adalah minuman yang bisa saya konsumsi setiap hari dibanding yang lain. Alasannya, praktis saja. Mudah didapatkan dan mudah diracik.

Telah hampir dua bulan saya dan suami tinggal berbeda kota, untuk persiapan saya melahirkan. Dalam kurun waktu itu, juga, ada beberapa jenis makanan yang jika saya makan, saya merasa dekat dengannya. Yang paling sering adalah sambal. Ketika meracik sambal bersama mama mertua, percakapan yang menguar di antara kami, kerap tentang suami saya. Bermula dari cerita tentang sambal tempe penyet yang paling disukainya −meski pada dasarnya ia menyukai semua jenis sambal− percakapan pun takluput menjelajah ke kisah masa kecilnya. Mama selalu menceritakannya dengan seru.

Jika disuruh memilih potongan ayam yang disukai, biasanya saya memilih bagian paha. Suami saya menyukai potongan ayam bagian dada. Namun hampir dua bulan ini, ketika menyantap hidangan ayam, saya selalu memilih potongan bagian dada. Saat menyantap, saya merasa terhubung dengannya. Makanan dan minuman lain yang juga sangat disukainya adalah coklat, ice cream, roti bakar coklat (kadang-kadang ditambah keju), dan kopi. Dan juga saya sukai. Ketika menyantap jenis-jenis makanan tersebut, saya merasa seolah sedang bersamanya. Hal itu membuat perasaan saya nyaman.

Tetapi, sejak hamil, saya berhenti minum kopi. Saya menggantinya dengan sereal rasa coklat. Meminumnya di pagi hari. Rasa hangat kopi dan sereal ketika menjalar di kerongkongan, sama. Hampir setiap pagi saya mengirim pesan pada suami saya, menanyakan sarapan apa ia hari ini. Beberapa kali sarapan kami sama, sereal rasa coklat.

Makan dan minum memang adalah kebutuhan dasar. Namun kadang-kadang, ada kebutuhan lain yang nimbrung saat kita sedang memenuhinya. Biasanya kita makan ketika merasa lapar dan minum ketika merasa haus. Namun ketika merasa lapar maupun haus, lalu memilih memenuhinya di sebuah café atau restaurant, lalu update status atau tweet yang menunjukkan kita sedang makan di sebuah tempat, apalagi lengkap dengan gambar dan keterangan jenis makanan dan minumannya, yakinlah, kegiatan makan dan minum kita tidak semata untuk menghilangkan lapar dan haus saja. Disadari atau tidak, ada kebutuhan lain yang juga sedang dipenuhi, semisal, kebutuhan untuk mendapatkan respek dari orang lain.

Begitu juga, selain untuk memenuhi kebutuhan dasar, makan dan minum juga bisa memenuhi kebutuhan akan kedekatan atau keterhubungan dengan seseorang yang kita kasihi. Ketika menyantap makanan maupun minuman yang “dia banget” atau yang kerap kita santap ketika sedang bersamanya, untuk sementara rasa kangen akan terobati. Akan tetapi, hati-hati dengan nimbrung-nya kebutuhan yang satu ini saat sedang lapar. Bisa-bisa, makanan yang masuk ke dalam perut kita jadi tidak terkontrol.

Salam, 



Nanda