Senin, 27 Januari 2014

Masih Sederhanakah Bahagia itu? #2

Malam ini Azka, putra saya yang berusia hampir tujuh bulan, tidur agak awal dari biasanya, pukul setengah sebelas. Sepertinya karena tidur siangnya hari ini lebih singkat. Sebetulnya ia sudah mulai tertidur dari jam delapan. Setelah hampir sejam saya susui, lalu saya biarkan tidur sebentar dalam dekapan saya, ia lalu terbangun saat saya letakkan di kasur. Menangis dan minta disusui lagi. Saya turuti kemauannya. Setelah ia tertidur kembali, saya letakkan lagi di kasur. Azka kembali terbangun, menangis, dan minta disusui. Saat saya susui, matanya yang awalnya redup perlahan membuka dan membulat. Seketika ia duduk. Oke, percuma mengusahakannya untuk tidur kembali.

Saya temani ia bermain dan berceloteh. Malah, ketika bermain di kasur, saya justru yang sempat tertidur. Azka berteriak-teriak kecil sambil beguling-guling dan mendorong saya dengan badannya. Protes. Jelang jam setengah sebelas, ia minta disusui lagi, lalu barulah pulas dan bisa saya letakkan di kasur. Saatnya saya menulis.

Suatu malam, ketika kami sedang berkumpul dan bercengkrama bertiga; saya, suami, dan Azka, saya spontan berucap pada suami, "Bahagia itu mahal ya." "Iya," jawab suami, sespontan ucapan saya. Namun percakapan itu tidak kami teruskan sebab fokus utama kami saat itu adalah Azka dan aktivitasnya.

Bahagia itu (ternyata) mahal. Itu yang saya rasakan sejujurnya. Di sisi lain, saya tidak menyangka, memiliki anak ternyata begitu membahagiakan. Maksud saya, lebih bahagia dari perkiraan awal saya. Tapi juga sekaligus begitu sibuk, lebih sibuk dari apa yang saya perkirakan sebelumnya. Oya tentu saja, saya sedang bersama seorang manusia yang selalu ingin diperhatikan dan begitu heboh menyuarakan keinginannya melalui celotehan, teriakan, dan tangisan, namun belum bisa berkompromi.

Dan kamu tahu, bayi yang baru tujuh bulan hidup di dunia itu sudah mahir bersandiwara. Jika saya letakkan di kasur namun ia tidak berkenan (kepingin digendong), ia akan mengeluarkan tangisan pilu disertai batuk-batuk kecil. Kadang sambil memukul-mukul perutnya. Saat saya tarik kedua tangannya untuk membantunya bangkit dan duduk, ia diam lalu tersenyum lepas seketika. Saya sering mencandainya dengan seolah-olah akan menggendongnya namun saya lepas lagi, saya ulangi beberapa kali, membuatnya berganti-ganti merajuk dan tertawa.

gambar diambil dari sini

Sejak sepuluh tahun lalu, saat saya mulai tertarik dengan pendidikan anak, dan secara bertahap mulai mengumpulkan segala info yang berkaitan tentang itu, sejak itu pula saya menyadari bahwa kelak jika saya memiliki anak, saya takkan bisa mempercayai siapa pun untuk mengasuh dan mendidiknya. Sejak itulah saya sedikit demi sedikit menyiapkan mental untuk menjadi ibu yang akan mengasuh anak saya sendiri. Itu artinya, saya takbisa banyak beraktivitas di luar rumah lagi kecuali jika bisa sembari mengasuhnya. Itu artinya, saya harus menahan diri sementara keinginan untuk menunjukkan keberadaan diri kecuali jika hal itu berkaitan dengan pendidikan dan pengasuhan anak. Dan itu juga artinya, bersebab waktu saya lebih banyak di rumah, mau takmau sayalah aktor utama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Bersambung...



Sabtu, 25 Januari 2014

Masih Sederhanakah Bahagia Itu? #1

Entah mengapa, tiba-tiba saya merasa sudah saatnya (kembali) meluangkan waktu beberapa saat, setiap hari, untuk menulis. Tentu saja untuk tujuan menajamkan rasa. Dan entah mengapa pula, saya memutuskan untuk menulis di ujung hari setelah anak saya lelap. Padahal, anak saya nyaris takpernah tidur sebelum jam sebelas malam dan ketika ia pulas, rasanya nyaris seluruh energi saya sudah menguap.

Barangkali justru bersebab kombinasi itulah, yaitu di waktu malam dan ketika energi tinggal secuil, ditambah dengan, saya mengetik di dalam ruangan kamar yang gelap (sambil berjaga-jaga kalau-kalau bayi saya terbangun dan ingin menyusu), maka rasa semakin jelas untuk ditumpahkan. Sebab otak sudah terlalu lelah berputar seharian sehingga kerjanya di malam hari sudah takmaksimal. Saat otak (barangkali) sudah tertidur sebagian, kita menjadi lebih jujur tentang apa-apa yang dirasakan.

Dulu, sebelum menikah, saya pernah beberapa kali nge-twit maupun menulis status tentang "bahagia itu sederhana", seperti misalnya, "bahagia adalah ketika bertemu kasur setelah lelah bekerja seharian", "bahagia itu, secangkir teh hangat, sepiring pisang goreng, dan sore yang gerimis", "bahagia adalah saat berhasil menyelesaikan sebuah tulisan", dan lainnya. Saya pun saat itu meyakini bahwa bahagia itu memang sederhana.



Namun kini, setelah menikah dan memiliki anak, pernyataan itu sedikit saya ralat. Ya memang, ada saat-saat di mana bahagia itu terasa begitu sederhana; ia (pasti) singgah beberapa kali dalam perjalanan hidup kita. Mungkin beberapa kali dalam seminggu atau beberapa kali dalam sehari. Bahagia yang sederhana itu mampu sedikit menyegarkan otak dan hati yang telah bekerja cukup berat dalam menghadapi berbagai peristiwa sehari-hari.  Saat ini pun saya masih dapat merasakannya. Beberapa di antaranya, senyum manis, binar mata, dan tingkah polos bayi saya adalah obat bagi saya dalam menjalani hari.

Suatu malam, ketika kami sedang berkumpul dan bercengkrama bertiga; saya, suami, dan bayi kami, saya dengan spontan berucap pada suami, "Bahagia itu mahal ya." "Iya," jawab suami, sespontan ucapan saya.

Bersambung...