Rabu, 02 April 2014

Belajar Ikhlas #1

gambar diambil dari sini

Ya, sekarang saya sedang belajar ilmu ikhlas. Mengapa baru sekarang? Sebenarnya sudah cukup lama saya mendalaminya, sejak sekitar tahun 2007. Tetapi, dulu saya lebih suka menyebutnya dengan "belajar menerima" atau "belajar melepaskan" atau "berdamai". Kata "ikhlas" itu sendiri, dulu saya rasakan terlalu abstrak. Susah sekali menerapkan hal-hal  yang abstrak dalam keseharian. Saya merasa harus memotongnya terlebih dulu menjadi potongan-potongan kecil dan mendalaminya sebagian-sebagian sebelum akhirnya bisa cukup mengenalinya secara utuh.

Namun bukan berarti sekarang saya sudah sempurna dalam memahami dan mengamalkannya. Bagi saya, pembelajaran tentang ikhlas adalah pembelajaran seumur hidup. Sebab, selama kamu masih memiliki jatah napas, selama itu pula berbagai hal yang harus kamu terima dan lepaskan akan datang dan pergi. Beberapa hal itu juga kerap menuntut tingkatan ikhlas yang tinggi, lebih tinggi dari tuntutan ikhlas atas hal sebelumnya. Setiap peristiwa yang menuntut kadar keikhlasan lebih tinggi dari sebelumnya adalah sebuah tantangan baru.

Apalagi saat ini saya sudah menikah dan memiliki anak. Rasanya seperti ketika kita naik kelas saat sekolah. Ada kegembiraan bersebab kita sudah naik kelas, menemui suasana baru, serta orang-orang baru, namun juga akan ada tantangan selanjutnya, seperti memahami materi baru, ujian dengan tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi, juga tantangan berelasi dengan orang-orang baru.

Seuntai nasehat dari Gede Prama yang pernah saya dengar dari radio, saya dekap erat hingga kini. Bahwa pernikahan tidak melulu soal cinta dan romantisme. Pernikahan adalah juga tentang rasa sakit. "Dalam pernikahan, perasaan cinta dan rasa sakit itu seimbang," ungkapnya. Ia melanjutkan, menghadapinya, ketimbang menghindar maupun lari, adalah sikap paling baik, sikap yang akan mendewasakanmu. Dalam hal ini, saya meyakini, ikhlas adalah semacam senjata ampuh yang dapat digunakan untuk menghadapi banyak hal, terutama dalam menjalani pernikahan.

Saya lupa persisnya, motif yang mendorong saya untuk belajar ikhlas. Lagipula, motif tersebut tidak tunggal. Ia berupa akumulasi. Beberapa di antaranya yang masih saya ingat yaitu, saya adalah jenis orang yang banyak sekali menuntut diri sendiri. "Nanda, kamu harus...", "Nanda, kamu tuh seharusnya...", begitu suara-suara dalam benak saya bernyanyi setiap saat. Jika saya tidak melakukan hal-hal yang menurut saya harus saya lakukan, atau jika saya justru melakukan hal sebaliknya, saya akan kesal dan marah dengan diri sendiri. Selanjutnya ya uring-uringan. Lalu, bersebab saya kerap menuntut diri, saya pun menjadi orang yang cenderung menuntut orang lain untuk melakukan hal yang menurut saya, seharusnya mereka lakukan. Sifat ini membawa saya pada kondisi sulit untuk bersantai, sulit menikmati waktu libur, sulit untuk bersenang-senang, sulit untuk menerima kekurangan diri, kesalahan diri, dan kesalahan orang lain.

Lalu, suatu saat di tahun 2008, saya menemukan diri sedang ngobrol asyik tentang "penerimaan diri", di telepon, dengan salah satu kawan yang telah lama takjumpa. Pola asuh, katanya, yang menyebabkan seseorang akhirnya memiliki kecenderungan menuntut diri teralu banyak dan sulit menerima kekurangan/kesalahan diri.

Saya, perempuan, anak pertama. Sebagai anak, saya dituntut untuk selalu berprestasi, harus bisa menjadi yang terbaik di antara kawan-kawan dan juga di antara anak kawan orang tua saya. Sebagai seorang anak perempuan, saya dituntut untuk selalu harus bangun pagi, harus pandai merapikan dan membersihkan rumah, harus pandai memasak, harus selalu berpenampilan enak dilihat, harus bisa beramah-tamah dengan orang lain, dan sebagainya. Sebagai anak pertama, saya dituntut harus bisa menjaga dan mengasuh adik-adik atau keluarga yang usianya lebih kecil dari saya, harus menjadi teladan, harus selalu memberi contoh yang baik, harus banyak mengalah, dan lainnya. Jika tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan, saya akan dimarahi atau dinasehati.

Segala tuntutan dari lingkungan inilah yang akhirnya menginternalisasi ke dalam diri saya dan akhirnya menjadi tuntutan saya terhadap diri sendiri. Membikin saya sering merasa pegal-pegal di punggung dan leher. Terlebih, untuk mendorong saya dalam berprestasi, biasanya ibu akan meminta saya memperhatikan si ini atau si itu, lalu menantang saya untuk berprestasi lebih dari si anu dan si itu, itu. Hal ini membuat satu sifat lagi tumbuh dalam diri saya, tidak mau kalah dari orang lain.

Pernah, beberapa tahun lalu, saya menderita ketidakmampuan "penerimaan diri" yang cukup parah. Saya membuat target tidur malam, hanya boleh tidur selama tiga jam. Jika berlebih, saya akan memarahi diri sendiri. Saya membuat banyak target belajar dan berkegiatan dalam sehari. Saya benar-benar tidak bisa menikmati waktu libur/santai. Liburan malah justru membikin saya kian tertekan bersebab banyak kegiatan dan target kerja saya yang harus mundur. Saya merasa apa yang sudah saya lakukan selalu kurang sehingga saya terus mem-push diri. Benar-benar ngoyo. Saya seperti kendaraan yang merasa harus selalu memasang kecepatan maksimal agar tidak tersalib oleh kendaraan lain, dalam semua hal. Dalam semua hal! Saat itu, saya sedang menyelesaikan tugas akhir, juga bekerja, memiliki tanggung jawab di beberapa organisasi, juga sedang mengasah kemampuan menulis di sebuah komunitas. Namun, yang ada justru, saya semakin merasa lelah, tidak maksimal, banyak target yang kedodoran, dan semakin sering memarahi diri sendiri.

Setiap orang memulai dari start yang berbeda, sehingga, orang yang satu tidak bisa dibandingkan dengan orang yang lain...

Seperti cahaya matahari, jika cahaya itu menyebar, ia hanya menghangatkan. Namun jika cahaya itu hanya  menyinari satu benda, ia akan membakar. Begitulah cara kerja fokus...

Ya. Suksesnya Abu Rizal Bakri sebagai pengusaha yang mendapat warisan usaha dengan sepuluh ribu pekerja dari ayahnya, tidak bisa dibandingkan dengan suksesnya Andri Wongso yang dalam memulai perjuangannya, pernah menjadi anak jalanan.

 Nasehat itu saya simpan baik-baik dalam ingatan, hingga kini.

Lalu, penerimaan diri itu seperti apa?  tanya saya padanya.

Kamu hanya akan bisa memahaminya jika kamu sudah bisa melakukannya, katanya.


Saya merasa tertohok dengan kalimatnya barusan.


Bersambung...