Selasa, 08 November 2011

Hati Nurani

Jelang jam tujuh malam. Saya (yang masih berada di kantor) berwudhu, lalu menuju masjid yang terletak di lantai M. Ruangan lapang yang dijadikan masjid sementara itu (masjid asli di lantai enam belas sedang direnovasi) redup. Beberapa lampu yang menyala hanya di sisi kanan ruangan yang merupakan tempat shalat laki-laki. Sedangkan tempat shalat perempuan yang berada di sisi kiri hanya mendapat sisa cahayanya. Meski dinding sebelah kiri masjid merupakan susunan kaca transparan, namun lampu-lampu gedung di luar yang tampak seperti pijaran bintang warna-warni lesap ke dalam malam sebelum mampu menembus dinding kaca masjid.

Di tengah ruangan itu terdapat sekat pemisah setinggi pundak, sebagai pembatas tempat shalat laki-laki dan perempuan. Dari dalam masjid terlihat titik-titik air sisa hujan masih berluncuran di dinding kaca. Jakarta hujan. Namun hawa di dalam ruangan tetap panas. Tidak ada AC (maklum, ruangan darurat). Hanya beberapa kipas angin di tempat shalat laki-laki dan sebuah di tempat shalat perempuan. Beberapa orang laki-laki sedang shalat, berdoa, ataupun merebahkan diri , sementara di tempat shalat perempuan, hanya ada seorang yang sedang merebahkan diri di sudut kiri, tepat di depan satu-satunya kipas angin. 

Saya memakai mukena. Karena adzan isya belum berkumandang, saya memutuskan untuk duduk menunggu sambil mengutak-atik ponsel. Masjid terasa makin gelap oleh cahaya yang terhalang sekat pemisah. Lalu, saya meraba-raba karpet di sisi kiri dan kanan saya, mencari ponsel saya. Namun tangan saya tidak berhasil menyentuh  benda apapun. Saya diam dan berusaha mengingat-ingat, dan oh, saya lupa membawa ponsel, benda yang selalu saya bawa, ke toilet sekalipun. 

Biasanya, ketika sedang menunggu –apapun dan dimana pun- mengutak-atik ponsel adalah kesenangan saya. Mulai dari bbm-an, facebook, twitter, browsing, download lagu, ataupun menulis (baca: mencatat ide tulisan yang tiba-tiba terlintas). Kegiatan yang semakin banyak mencuri waktu membaca ini saya lakukan secara bergantian. Namun saat ini saya tidak bisa melakukannya. Ada semacam perasaan kehilangan dan kosong. Seperti kehilangan dengan tiba-tiba seseorang yang selalu menemani dan menghiburmu kemanapun kau pergi. 

Ah, tidak mengapa, pikir saya. Toh masih bisa mengerjakan hal lain seperti merenung atau berdoa. Saya memutuskan berdiam diri sebelum memulai. Senyap. Hanya terdengar bunyi hembusan kipas angin sayup-sayup. Belum lagi saya mulai merenung atau berdoa, hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba saya merasa seperti terjebak dalam ruang sempit dan gelap, merasa diserang (entah oleh apa) dari segala penjuru, merasa akan berhadapan dengan sesuatu yang besar dan itu mencemaskan. Dan saya, hanya bisa diam dan merasakan. Saya merasakan dengan jelas detak jantung saya makin cepat. Nafas saya pendek-pendek dan sering. Samar-samar, rasa ngilu yang bermula dari tengkuk dan punggung atas menjalar setahap demi setahap.

Pengadilan. Saya merasa seperti terdakwa yang akan diadili. Namun oleh siapa? Atau oleh apa? Sesaat, saya merasa ingin lari. Kembali ke ruangan kantor, mungkin, untuk mengambil ponsel, agar saya takperlu berhadapan dengan senyap dalam ruangan yang redup ini. Namun sebuah suara menentang keinginan saya, untuk apa? Kenapa harus lari? Kenapa takdihadapi saja? Bersebab saya pun penasaran dengan perasaan dan reaksi fisik yang sedang saya rasakan ini, akhirnya saya memutuskan untuk tetap berdiam diri.

Saya berusaha menyelaraskan hati dan pikiran untuk mencari jawabannya. Dengan dipandu oleh emosi yang saya rasakan, pikiran saya menggali-gali ruang memori untuk mencari informasi, pengetahuan, ataupun pengalaman yang selaras dengan emosi tersebut. Lalu, perlahan, saya pun mendapatkannya.

Ketika diam dalam senyap, tidak hanya bunyi jarum jatuh yang terdengar jelas, namun suara hati nurani pun akan terdengar jelas. Suara hati nurani adalah suaraNya, yang akan selalu membimbing kita untuk kembali ke jalanNya, jika kita benar-benar mendengarkan. Hati nurani ini memiliki suara yang begitu halus dan lembut, nyaris takterdengar, namun takkan pernah berhenti bersuara, kecuali jika dibunuh dengan paksa. Akan tetapi, suara yang halus dan lembut ini akan menjadi momok yang menakutkan untuk dihadapi bila apa yang kita lakukan selama ini tidak atau kurang selaras dengan seruannya. Sebab di dasar hati yang paling dalam, kita tahu, hati nurani selalu menyuarakan kebenaran. Dan bila tindakan kita bertolak belakang dengan seruannya, itu berarti tindakan tersebut bertolak belakang dengan kebenaran. Karenanya, kita merasa diadili, dihakimi. 

Dalam kesibukan, suara ini takbegitu terdengar. Atau takbegitu didengarkan. Atau sengaja takdidengar. Dalam keseharian kita yang begitu banyak kegiatan seperti rantai yang takpernah putus, suara ini sering kalah dengan pembenaran-pembenaran yang kerap kita lakukan atas sebuah tindakan. Dengan pembenaran, akhirnya kita merasa tenang dan merasa benar saat melakukan sesuatu. Semakin hari kita semakin larut dengan pembenaran-pembenaran itu. Kita takmemberikan ruang sedikit pun bagi diri untuk mendengarkan suara hati nurani. Jika ada sedikit jeda dalam kesibukan, kita pun  berusaha mencari-cari kesibukan, apapun itu, meski takpenting, untuk menghindarkan diri agar takberhadapan dengan kegelisahan, keresahan, ataupun kecemasan menghadapi hati nurani.

Teringat pada sebuah percakapan antara saya dan salah seorang adik kos beberapa tahun lalu,

Adik kos  : Lagi baca apa Teh?
Saya         : (memperlihatkan sampul depan buku tersebut. Sebuah buku agama.)
Adik kos  : Saya kalau baca buku kaya gitu suka jadi ngerasa ada beban teh. Bawaannya malah nggak tenang dan pusing. Mending sekalian nggak usah baca. 

Lalu percakapan kedua,

Saya        : Ngga cape, udah kuliah sambil kerja, trus weekend juga keluar seharian? Hebat…
Adik kos : Cape sih teh, cuma gimana. Kalau seharian di kamar malah pusing. Semua masalah teh asa keingetan. Mending keluar we, trus pulang-pulang udah capek, tinggal tidur.

Saya meyakini, sejatinya shalat (atau meditasi) serta ibadah-ibadah lainnya adalah alat untuk mempertajam kembali kemampuan kita dalam mendengarkan hati nurani, serta alat untuk melembutkan hati agar lebih mampu mengikuti suara itu. Ketika melakukan shalat lima waktu dalam sehari dan setiap hari itu artinya, setiap hari sebanyak lima kali dalam sehari kita terhubung dengan hati nurani. Logikanya, semakin kita sering terhubung dengan hati nurani, semakin kita mampu mendengarnya, semakin lembut hati kita untuk mengikutinya. Saat tindakan selaras dengan hati nurani, saat itulah ketenangan didapatkan. Ironisnya, meski kita melakukan shalat setiap hari, lima kali sehari, ataupun bermeditasi, ketenangan takjua kita dapatkan. Jikapun ada, sifatnya hanya sementara. Setelahnya, kita kembali lagi pada kegalauan. Tentu, hal itu berujung pada sebuah pertanyaan, ada apa dengan shalat kita sehingga takmampu menghubungkan kita dengan hati nurani?

Ya. Bagaimana shalat kita bisa membuat kita terhubung dengan hati nurani jika pelaksanaannya terburu-buru karena dikejar deadline pekerjaan, diakhir waktu karena begitu sibuknya kita, pengerjaannya sudah setara dengan kegiatan rutin yang kita lakukan setiap hari (gerakan otomatis yang ketika sadar, tiba-tiba kita sudah sampai pada rakaat terakhir), atau melulu hanya digunakan untuk meminta (baca: memaksa) keinginan kita yang segunung (baca: meminta Dia yang bekerja untuk kita)? Ya, bagaimana mungkin, jika shalat kita tidak kita gunakan untuk lebih mengenalNya, memahami dan mengingat kembali apa yang diinginkanNya dari kita (bukan apa yang kita ingin Dia mengabulkannya), memahami dan mengingat kembali tujuan Dia menciptakan kita. 

Itulah secuil pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang berhasil saya bongkar-bongkar dari memori dalam menerjemahkan perasaan dan reaksi fisik saya. Mau tidak mau, saya diharuskan berhadapan dengan situasi yang membuat saya harus mengevaluasi kembali apa-apa yang telah saya lakukan, mengakui apa-apa yang telah saya benar-benarkan, mempertanyakan kembali dasar dari pilihan-pilihan hidup yang telah saya buat (masih sejalankah dengan hati nurani saya?), mengumpulkan apa-apa yang telah salah arah dan salah kaprah, lalu membuat rencana untuk memperbaikinya. 

Perlahan, perasaan saya mulai membaik. Adzan isya berkumandang. Malam itu, saya bersyukur lupa membawa ponsel. 



Salam


Nanda