Jumat, 31 Mei 2013

Pikiran Ideal


Pada usia tujuh belas tahun, saya sudah keluar dari rumah. Merantau, kata orang, ke sebuah kota yang lebih besar dari kota tempat saya tinggal sebelumnya, di mana taksatu pun ada kerabat dekat di sana, untuk melanjutkan kuliah.

Keluar dari kota kelahiran, lalu tinggal di kota lain yang hanya bisa di tempuh dengan satu jam tiga puluh menit dengan memakai pesawat atau dua hari semalam dengan memakai kapal laut, berarti hanya akan sesekali pulang. Berarti hanya akan sesekali bertemu dengan orang tua.

Saya masih ingat, ketika dinyatakan lulus, lalu mulai berkemas menata separuh isi lemari ke dalam sejumlah tas (separuhnya lagi punya adik saya), mama memperhatikan kegiatan saya dari pintu kamar. Saat saya menoleh beberapa saat, mama menyunggingkan senyum. Saya lalu lanjut berkemas. Takberapa lama, mama berlalu. Adik saya yang saat itu juga sedang ada di kamar berkata, “Kak, mama tadi nangis.” 

Saya tercenung dan jadi merasa serba salah. Seingat saya, pilihan jurusan kuliah dan kotanya adalah hasil kesepakatan kami. Bahkan, mama lah yang mengusulkan kotanya. Tadinya saya memilih jurusan itu di kota propinsi tetangga, agar bisa sering pulang. Namun mama punya pertimbangan lain yang akhirnya saya sepakati.

Saya memang tergolong orang yang cukup jarang berkumpul dengan orang tua. Sewaktu smu, selain sekolah, waktu saya banyak terpakai oleh kegiatan ini itu dan berkumpul dengan teman-teman, di hari libur sekali pun. Sewaktu smp, adalah masa di mana saya mulai lebih menyukai kumpul-kumpul bersama teman ketimbang hadir dalam acara keluarga. Terlebih, dua tahun di akhir sd dan dua tahun di awal smp, saya tinggal dengan tante dan om.  Waktu itu saya ingin sekolah di Jakarta, sebab sebelumnya saya sempat liburan ke sana dan merasa betah. Saat itu pun saya sudah jarang bertemu dengan orang tua.

Masa-masa anak membutuhkan kehadiran orang tua secara fisik, barangkali hanya sepuluh hingga dua belas tahun diawal kehidupannya. Setelah itu, mereka akan lebih senang berkumpul dengan teman sebaya, mulai mengembangkan diri dengan banyak mengikuti kegiatan ini itu yang takjarang menyita waktu. Ketika hendak melanjutkan studi saat kuliah, besar kemungkinan mereka ingin menjelajahi kota atau tempat lain, ingin melihat keluasan dunia.

Terhadap anak nanti, saya hanya tidak ingin ketika mereka masih membutuhkan kehadiran saya, saya malah tidak ada di sampingnya. Lalu, ketika mereka mulai memiliki kebutuhan untuk eksplorasi diri, ingin menjelajah daerah lain, saya malah melarang-larangnya. Hal ini hanya akan memicu konflik antara saya sebagai orang tua dan mereka. 

Namun di sisi lain, sebagai manusia, saya juga memiliki kebutuhan untuk aktualisasi diri. Saya rasa pilihan terbaik saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah beraktualisasi diri dari rumah, melakukan kegiatan atau pekerjaan yang tidak mengharuskan saya berlama-lama berada di luar rumah. Agar saya tetap dapat mendampingi tumbuh-kembang anak-anak saya. Saat ini, sarana untuk memungkinkan beraktualisasi diri dari rumah juga telah banyak.  

Bekerja yang menyita waktu seperti kemarin-kemarin tentu tidak akan jadi pilihan untuk saat ini. Saya juga merasa beruntung, menikah dan memiliki anak di saat saya sudah cukup puas berkegiatan terus-terusan di luar rumah. 

Oya, ini memang pikiran ideal saya. Memprioritaskan untuk membimbing dan mendampingi tumbuh kembang anak saya sambil tetap dapat beraktualisasi diri.

Salam,


Nanda

Kamis, 30 Mei 2013

Tengah Malam


Tengah malam, saya terbangun, melirik jam dinding yang tengah menunjuk angka dua. Saya memulihkan kesadaran sejenak, lalu duduk bersandarkan bantal. Masih agak mengantuk, namun jika saya teruskan tidur, tidak akan bisa. Hanya akan menghabiskan waktu untuk bolak-balik ke kiri dan ke kanan. Sambil duduk, saya mengatupkan mata. Cahaya lampu merembes melalui kelopak mata. Suara detik dan rintik hujan yang menumbuk atap, lalu jatuh ke daun bunga yang lebar di balik jendela kamar, terdengar bergantian. Kadang berkejaran. Saya beranjak menuju meja tulis , meneguk setengah isi gelas. Membuka pintu kamar menuju toilet, membasuh muka. 

Bangun di tengah malam, kadang hingga dua atau tiga kali, adalah rutinitas sejak kehamilan saya memasuki usia tujuh bulan. Tidak di sengaja. Terjadi begitu saja. Kadang saya terbangun begitu saja. Kadang terbangun oleh gerakan bayi saya yang tiba-tiba, seperti tendangan. Kadang oleh perut yang terasa memberat atau rasa pegal di pinggang dan pinggir punggung sebab terus-terusan miring ke satu arah. Kadang dada dan kerongkongan saya seperti di tekan sesuatu hingga sesak. Saya hanya bisa bertahan tidur satu setengah hingga tiga jam. Setelahnya pasti terbangun. Jika memutuskan untuk tidur lagi, satu setengah hingga tiga jam kemudian, saya pasti terbangun lagi. Sering menyisakan kantuk dan lemas di pagi hari. Tapi lama-lama, jadi terbiasa.

Jika terbangun, saya tidak berusaha untuk memaksakan tidur sebab tidak akan bisa. Jika saya tidur dalam keadaan tidak terlalu ngantuk, banyak sekali perasaan tidak nyaman yang saya sadari, terutama di sekitar perut dan pinggang. Jadi, saya memutuskan untuk melakukan aktivitas yang saya ingin saja, apa pun yang dapat dilakukan tengah malam, sambil menunggu kantuk menghampiri kembali. 

Suatu sore di hari minggu, adik saya menelepon. Tidak dalam rangka apa-apa. Jika sedang luang, ia biasanya menelepon saya atau keluarga yang lain. Saat itu ia sedang di rumah hanya berdua saja dengan anak bungsunya. Beberapa jenak bertukar cerita tentang polah anaknya, tentang kehamilan saya, ia lalu bertanya, apa saya sekarang sering terbangun di tengah malam. Saya mengiyakan dan menceritakan hal itu. Adik saya juga mengalami hal yang sama. Dari pengalamannya, bangun di tengah malam selama hampir tiga bulan menjelang kelahiran membuatnya tidak sulit lagi untuk harus sengaja bangun tengah malam saat bayinya lahir. Bayi baru lahir memang sering bangun tengah malam hingga beberapa waktu lamanya. 

Ia benar. Semua seperti sudah disiapkan sebelumnya, untuk menghadapi sesuatu yang akan terjadi kemudian. Seorang bayi lahir dalam keadaan takberdaya. Hanya diberi kemampuan menangis, mendengar, merasakan, dan mengisap. Untuk itu, ketika Tuhan menghendaki seorang bayi lahir ke dunia, Ia sudah melatih sang ibu sejak beberapa bulan sebelumnya, dengan berbagai macam latihan, untuk menjadi pendamping sang bayi kelak. Latihan bangun di tengah malam hanyalah salah satunya. 

Ya. Menjadi pendampingnya, pembimbingnya, hingga ia berdaya. 

Salam,


Nanda

Rabu, 29 Mei 2013

Sekolah Pertama


Selasa malam beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti talkshow terakhir Ayah Edi, seorang praktisi pendidikan, di radio Smart fm. Tema talkshow adalah tentang “cinta” (saya lupa tema lengkapnya). Ayah Edi juga mengundang dua narasumber lain, salah satunya, Gede Prama, seorang spiritualist

Gede Prama mengatakan, “Cinta tidak selalu merupakan hubungan romantik. Dalam banyak hal (justru) adalah rasa sakit. Sebab kita sering harus merelakan sesuatu yang kita sukai agar dapat memberikan ruang pada yang kita cintai untuk bertumbuh sesuai dengan panggilannya.”

Saya lalu teringat dengan pernyataan seorang teman, beberapa tahun lalu,”Pernikahan sejatinya adalah sebuah tim. Tim yang sehat adalah ketika masing-masing orang di dalamnya punya kesadaran untuk meluruhkan setengah egonya.”  Teman saya menekankan, tidak lebih, tidak kurang. Jika lebih atau kurang, salah satu akan mendominasi dan yang lainnya selalu merasa menjadi korban. Kondisi tim tidak akan sehat. Pernikahan itu tidak akan berjalan sehat. Apalagi jika keduanya bertahan dengan seratus persen egonya. 

Ya. Saya sepakat. Pernikahan sejatinya adalah sebuah tim. Seperti ketika kita bergabung dalam sebuah organisasi. Seperti halnya ketika kita bekerja dalam perusahaan. Namun, dalam tim kerjasama biasa, jika taksepaham, kita bisa meninggalkan tim itu begitu saja. Atau, jika punya kekuasaan yang lebih, bisa dengan ringan mendepak salah satu anggota tim. 

Dalam pernikahan, kita takbisa meninggalkan tim atau mendepak salah satu anggota di dalamnya dengan seenaknya. Ikatan suami istri suatu saat mungkin bisa terputus. Akan tetapi, orang tua dan anak adalah tim seumur hidup, sebab ikatannya takkan dapat terputus. Jadi bagaimana pun, kita dipaksa untuk terus menghadapinya. 

Terlebih, tim kecil ini kita niatkan untuk langgeng seumur hidup. Sehingga, apa pun yang terjadi, ada usaha keras dan terus-menerus untuk mempertahankannya. Dengan cara apa? Ya dengan meluruhkan setengah ego itu tadi. Meluruhkan setengah ego. Bukan hal yang gampang, bukan. Tidak semua kehendak kita dapat terpenuhi bulat-bulat. Ada tanggung jawab yang harus dijalankan. Ada komitmen yang harus terus dijaga. Ada waktu yang harus dialokasikan untuk mendengarkan dan memahami.  

Seperti yang diucapkan Gede Prama, ada kerelaan, ada pengorbanan, dengan tujuan memberikan ruang bertumbuh pada orang-orang yang kita cintai, yang (mungkin) akan menimbulkan rasa sakit. Beruntungnya, landasan dari pembentukan tim keluarga adalah cinta kasih. Barangkali, cinta yang akan sedikit meredakan rasa sakit itu. 

Akan tetapi, manusia memang takkan pernah menjadi bijak melalui kesenangan semata, bukan? Kualitas diri akan terus membaik justru ketika kita bertahan menghadapi dan menerima rasa sakit, menghadapi dan memberi ruang untuk berbagai kesulitan, bukan malah lari darinya atau memberontak. Memilih lari ataupun memberontak hanya akan menyebabkan kita berhenti bertumbuh. Lari akan membuat kita jadi manusia lemah, sementara memberontak, akan membuat kita jadi manusia keras. 

Anak adalah juga anggota tim. Ia memiliki hak untuk mendapatkan setengah egonya, juga memiliki kewajiban untuk meluruhkan setengah egonya. Di dalam keluarga lah, anak pertama kali belajar mengenai kerja sama tim; bekerja sama dengan orang lain. Orang tua yang mampu membentuk keluarga sebagai sebuah tim yang sehat akan memberikan banyak pembelajaran tentang kerja tim pada anak. Anak akan belajar mengemukakan pendapat dan belajar mendengarkan pendapat. Belajar menghargai kebutuhan orang lain, juga belajar bahwa kebutuhannya juga layak untuk dihargai. Belajar membuat dan menjalani kesepakatan. Belajar menjaga komitmen tim. Belajar untuk bertanggung jawab terhadap tugasnya. Belajar berbagi. Belajar bahwa tidak semua kehendaknya dapat terpenuhi utuh. Dan belajar banyak yang lainnya. 

Ya. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak.

Salam,


Nanda

Selasa, 28 Mei 2013

Mantra Sakti



Belajarlah yang rajin untuk memperoleh nilai baik, raihlah gelar setinggi mungkin, agar mendapatkan pekerjaan bagus, di perusahaan besar, dengan gaji besar pula.

Pada beberapa generasi sebelumnya, hingga pada generasi di atas saya, sepertinya, kalimat di atas ini lah yang menjadi mantra sakti para orang tua dalam membentuk mindset anak-anaknya. Dan mantra itu sungguh mujarab. Jutaan anak lahir dan bersekolah dengan  dengan tujuan kelak bisa bekerja di perusahaan besar dan mendapat gaji besar. Sekolah bukan untuk mengejar ilmu. Tapi untuk mengejar pendapatan besar kelak. Pendapatan besar dapat membeli segalanya. Untuk menunjukkan bahwa kamu memiliki pendapatan besar, kamu membeli sejumlah atribut yang dapat “menceritakan” hal itu. Dengan atribut yang dapat bercerita itu, kamu mendapatkan respek yang tinggi di mata masyarakat yang juga penganut mantra itu.

Lalu, bagaimana bila kemalasan melanda? Gampang. Bukan belajar rajinnya yang penting, tapi bagaimana mendapatkan nilai baiknya, agar dapat diterima di perusahaan besar, agar bisa mendapatkan pendapatan yang besar. Ide-ide kreatif pun berkeliaran, bagaimana mendapat nilai baik tanpa perlu rajin belajar. Akhirnya terbiasa.

Ternyata ide-ide kreatif itu tidak hanya bisa digunakan untuk mendapatkan nilai bagus, tapi juga posisi bagus di perusahaan atau lembaga lain tempat kamu bekerja, dan hei, ternyata ide-ide kreatif itu juga bisa digunakan untuk mendapatkan pendapatan besar tanpa perlu  harus menguras keringat. Itu yang jadi tujuan, bukan? Yang penting adalah, bagaimana tujuan itu dapat tercapai, tidak penting jalannya. Dan semua berawal dari mantra yang sudah terlanjur larut dalam darah jutaan orang di Indonesia.

Saya pernah beberapa kali mendengar para kerabat mengatakan, “memang uang itu adalah segalanya ya.” Atau,”kita itu hidup memang untuk cari uang.” Lalu yang lain menimpali,”ya memang buat apa lagi kalau bukan cari uang.”

Bukan berarti saya mengerdilkan fungsi dan kebutuhan akan uang. Akan tetapi, jika landasan dari pergerakan hanya sebatas untuk mendapatkan uang, hal itu tentu akan mematikan gairah untuk benar-benar memperjuangkan idealisme dan mendalami ilmu. Idealisme diperjuangkan dan ilmu didalami hanya jika sudah pasti ada uangnya saja. Dan jika menemukan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa perlu memperjuangkan idealisme dan mendalami ilmu itu, ya sudah, ngapain susah-susah.

Bukan berarti saya juga menyalahkan pendidikan anak dari para orang tua zaman dulu. Saya yakin mereka juga berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya. Namun, pengetahuan pada masa lalu belum seberkembang sekarang dan fasilitas untuk mengakses berbagai pengetahuan pun belum semudah saat ini. Bisa jadi, dulu, mantra tersebut adalah mantra yang dipandang terbaik untuk memotivasi anak dalam belajar dan bekerja. Namun yang namanya hasil, baru akan kita ketahui belakangan. Yang tidak wajar adalah, setelah pendidikan masa lalu itu diketahui hasilnya tidak cukup baik, masih saja ada orang tua yang meneruskannya.  

Saya menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan pola asuh maupun pendidikan anak. Sejak tahu saya hamil, saya mengulang baca beberapa buku psikologi pendidikan anak dan bergabung dalam beberapa komunitas maya yang berkaitan dengan itu.

Setidaknya, saat ini seuntai rasa syukur perlu dipanjatkan. Ternyata, saya mendapati, banyak orang tua yang telah menyadari bahwa ada warisan yang salah dari pendidikan anak zaman dulu. Mereka berusaha belajar untuk tidak lagi meneruskan cara-cara lama.

Telah banyak orang tua yang menyadari kekeliruan mantra warisan masa lalu itu. Kemudian, mencari mantra baru yang dirasa lebih baik untuk diturunkan. Demi kelangungan hidup anak yang dilahirkan. Demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Meski tertatih. Sebab tidak mudah untuk mengubah segala sesuatu yang sudah mendarah daging.

Ketika anak lahir, ia sudah membawa serta potensi dan gaya belajarnya. Orang tua tinggal membantu menemukan, lalu membimbing anak untuk terus mengasah potensinya, hingga ia dapat melakukan sendiri. Dengan begitu, kelak ia akan menjalani profesi yang merupakan panggilan jiwanya. Yang benar-benar dicintainya. Apa yang perlu ditanamkan pada anak sedari kecil adalah akhlak; budi pekerti, itu yang belum dibawa serta anak ketika ia lahir.

Seperti itu kira-kira bunyi mantra terbaru yang dipercaya saat ini. Banyak orang tua saat ini berusaha untuk tidak lagi menuntut anaknya meraih nilai tinggi di sekolahnya, namun justru mencarikan wadah penyaluran bagi potensi sang anak. Jika anak mendapatkan wadah yang tepat, dengan sendirinya ia akan termotivasi berprestasi dalam bidangnya. Menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Dan tentu saja, setiap orang yang mampu menjadi yang terbaik dalam bidangnya akan bernilai tinggi. 

Lalu, banyak orang tua saat ini juga sudah mulai menyadari bahwa budi pekerti adalah perihal yang harus ditanamkan, sejak dini, tidak tiba-tiba ada dalam diri seorang anak. Dan juga menyadari bahwa orang tua lah yang berperan penting dalam proses penanaman itu, bukan melalui hafalan-hafalan tentang budi pekerti tentunya, akan tetapi mencontohkan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, setiap saat. Jika  merasa tidak mampu, orang tua akan berusaha mencarikan sekolah maupun wadah lain yang dapat membantu mereka dalam hal itu. 

Tidak hanya itu. Saat ini, para ibu pun sudah mulai memperhatikan asupan sehat untuk anak-anaknya. Dimulai dari kesadaran memberikan ASI eksklusif−alih-alih susu formula−pada enam bulan pertama, terus memberikan ASI hingga dua tahun, juga memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang sehat. Harapannya, tentu, agar anak menjadi kuat dan sehat secara jasmani.  

Dengan  penanaman mantra baru itu, bayangan saya, kelak Indonesia akan memiliki sejumlah pendidik yang betul-betul berdedikasi untuk membimbing anak didiknya, bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban mengajar untuk mengejar pendapatan. Memiliki wakil rakyat yang mencintai dan sepenuh hati bekerja untuk masyarakat dan negerinya, bukan sekedar memenuhi pundi-pundi uangnya. Memiliki penjaga hutan yang benar-benar menjaga hutan, bukan malah menggerogoti hasil hutan. Sebab mereka akan bekerja sesuai kecintaan mereka terhadap profesi dan memiliki akar budi pekerti yang kuat. 

Melihat mulai adanya kesadaran para orang tua saat ini, saya masih optimis, kondisi Indonesia di tangan satu atau dua generasi mendatang, akan berangsur lebih baik. 

Semoga. 

Salam,


Nanda

Minggu, 26 Mei 2013

Perjalanan


Perjalanan hidup memang tidak selalu baik-baik saja. Tidak selalu sesuai dengan harapan. Ketika antara harapan dan realita begitu berbeda, ada rasa sedih, kecewa, maupun marah yang bersemayam di hati, menggumpal, dan siap meledak atau diledakkan sewaktu-waktu, dengan berbagai cara, konstruktif ataupun destruktif. Semua bergantung sepenuhnya dari kemampuan kesadaran dan penerimaan kita terhadap hadirnya emosi-emosi itu, lalu memilih tindakan dalam penyalurannya. Semua bergantung dari kedalaman kita mengenal diri. 

Namun, rentetan kejadian dalam hidup, rasanya jarang sekali hanya menghadirkan hanya sebuah emosi. Kebanyakan bercampur baur, semisal, percampuran antara kesakitan dan kebahagiaan, cinta dan kebencian, kesedihan dan ketenangan. Jika pun seseorang pernah mengalami hanya sebuah emosi berkepanjangan, barangkali bersebab ia terlalu fokus pada yang satu dan (tidak sadar atau memilih)mengabaikan yang lainnya.

 Begitu pula halnya perjalanan saya dalam masa kehamilan ini. Saat mengetahui saya hamil, saya bahagia. Akan tetapi, memasuki bulan ketiga dan keempat masa kehamilan, saya nyaris lupa dengan kebahagiaan itu bersebab rasa mual terus-terusan dan selalu ingin muntah (saya pernah muntah beberapa kali), lelah berkepanjangan, dan lidah terasa pahit. Banyak hal yang ingin dilakukan namun terbatasi oleh kondisi fisik menyebabkan frustrasi yang takputus-putus. Beruntungnya, saya masih dapat mengenali jenis makanan yang diinginkan tubuh saya−buah yang manis dan mengandung air serta minuman dingin yang manis pula−sehingga berat badan saya masih bisa bertambah. 

Lepas bulan keempat dan memasuki bulan kelima adalah masa peralihan kondisi. Setahap demi setahap, saya mulai bisa beraktivitas seperti biasa. Mulai bisa menyelesaikan banyak hal. Mulai bisa menikmati kembali kehamilan saya. Terlebih, sudah bisa merasakan gerak si kecil, meski lamat-lamat. Sesekali masih mual, hanya untuk sesuatu yang ekstrim, semisal, mencium bau sampah atau daging-dagingan mentah. 

Sekarang, usia kehamilan saya sudah delapan bulan. Hamil tua, begitu kata orang-orang. Hal paling membahagiakan pada bulan-bulan terakhir ini adalah merasakan gerakannya yang makin jelas dan kuat, serta mempersiapkan segala perlengkapannya. 

Terkadang gerakannya seperti sedang menggeliat. Menimbulkan semacam gelombang yang sambung menyambung pada permukaan perut. Sesekali terasa geli di perut bagian pinggir. Kadang rasanya seperti tendangan atau sikutan. Keras dan mengagetkan. Menimbulkan tonjolan, lalu hilang. Ketika ia sedang bergerak, saya kerap menghentikan aktivitas dan memperhatikan gerakan-gerakannya. Mengelusnya. Ada rasa sayang yang menguar dan rindu untuk segera bertemu. 

Mempersiapkan perlengkapannya kerap mengundang imaji menyenangkan. Membayangkan ia memakai baju dan celana yang sudah disiapkan. Gerakan-gerakannya yang belum terkendali. Menggendongnya dan bersenandung hingga ia tertidur. Tawanya yang lebar dan tanpa gigi. Ia (mungkin) tidur tengkurap dan tiba-tiba saja sudah berada di pinggir tempat tidur. Jalan-jalan sore sambil menyuapi dan ngobrol dengannya.

Namun, juga ada perasaan cemas yang menggelayut. Cemas menanti hari persalinan. Bagaimana rasa sakitnya. Apakah bisa melahirkan normal. Apakah ASI saya akan keluar. Bagaimana kondisi saya dan bayi setelah persalinan nanti. 

Adik saya (yang lebih dulu punya anak) bilang, Ketika melahirkan, kita akan dibantu oleh kekuatan untuk segera dapat melihat makhluk kecil yang selama sembilan bulan telah bersama kita.  

Mama mertua bilang, Setelah bayimu lahir dan kamu melihatnya, semua sakit yang dirasakan sebelumnya tiba-tiba hilang. Yang tersisa hanya perasaan bahagia.

Semoga. 


Salam,


Nanda

Sabtu, 25 Mei 2013

Jatuh Cinta (lagi)


Saya mulai membongkar-bongkar perlengkapan bayi yang telah dibeli. Memilah jenis yang akan dicuci terlebih dulu. Sebab terlalu banyak jika harus dicuci sekaligus. Lagipula, jemurannya tidak akan cukup. Pilihan saya jatuh pada setengah lusin kain bedong, sejumlah baju, celana pendek, dan celana kacamata. Kamu tahu celana kacamata? Celana bayi yang dua bolongan kakinya ada di bagian depan, nyaris bulat seperti kacamata. 

Untuk mencuci dan membilasnya, saya menggunakan deterjen dan pelembut pakaian khusus bayi. Saya juga mencuci beberapa box yang akan digunakan untuk tempat meletakkan sejumlah kain itu, tempat menyimpan kosmetik bayi, serta pernak pernik lainnya. Menggemaskan sekali melihat deretan tali jemuran itu penuh dengan celana dan pakaian ukuran sangat mini.

Saya mendapati pesan yang dikirim suami saya sekitar setengah jam lalu. Menanyakan saya sudah makan atau belum. Saat itu sudah hampir jam setengah tiga sore. Biasanya, saya yang menanyakan duluan, ia sudah makan atau belum. Saya membalas pesannya. Ini pesan pertama kami pada hari ini. Menjelang sore kami baru berkirim pesan. 

Sejak menjelang siang tadi, saya terlalu asyik mengurusi pernak-pernik si kecil. Sebelum merendamnya, saya mencermati satu persatu. Mencopot stiker-stiker yang sengaja ditempelkan untuk menandai ini itu, mencermati modelnya, gambar-gambarnya, warnanya, me-matching-kan antara warna plus corak baju dan celana. Saya menghabiskan banyak waktu untuk memandangi ketimbang mencucinya. Hingga kegiatan mencuci itu molor dan selesai menjelang sore. 

Saya baru tahu kalau kebanyakan baju bayi itu berwarna bahan dasar putih dengan pinggiran berwarna pink, biru, kuning, atau hijau. Atau jika berwarna, ya warnanya tidak bergeser dari ke empat warna tadi. Jikapun ada warna lain, itu terdapat pada gambar-gambarnya. Saya juga baru ngeh kalau kebanyakan perlengkapan bayi itu bergambar hewan. Kemarin, mama mertua saya menanyakan pada penjualnya, kenapa gambarnya hewan semua. Mama mencari yang bergambar gitar, sesuai pesanan suami saya, dan tidak ada.

Mama mertua pernah cerita, waktu suami saya lahir, pikiran mama selalu tertuju pada anak pertamanya itu. Hal yang lain kerap terabaikan. Mengerjakan apa pun di kantor jadi tidak fokus. Karena mama dan papa bekerja, mama kerap menitipkan anak pertamanya di rumah ibunya yang berbeda kota. Mama rela harus bolak-balik dua kali seminggu untuk menjenguk anaknya. 

Mama kerap mengatakan, hubungan ibu dan anak itu, bagaimana pun, begitu dekat dan takkan terputus, sebab sebelum lahir, selalu bersama setiap saat selama sembilan bulan. Bagaimana pun sikap dan perilaku sang anak terhadapnya, seorang ibu takkan pernah sanggup menghentikan rasa sayangnya. Apa pun akan dilakukan tanpa hitung-hitungan. Berbeda dengan sebaliknya, seorang anak masih mungkin untuk hitung-hitungan dengan orang tuanya. 

Saya lalu teringat dengan mama saya. Sedari kami kecil, mama sendiri yang mengurusi kami bertiga, selain harus bekerja, memasak, dan mengurus rumah. Meski kadang, kami juga kerap dititipkan ke kerabat lain jika mama punya keperluan yang memakan waktu cukup lama. Sampai saat ini saya tidak habis pikir dari mana datangnya kekuatan itu. Mengurus tiga anak kecil yang mesih sering rewel ketimbang membantunya, sementara juga harus bekerja dan mengurusi hal lain, tentu tidak mudah. 

Dua bulan menjelang menikah dulu, saya berkesempatan membantu mengurus keponakan saya yang berusia sembilan belas bulan. Setiap hari saya menemaninya bermain. Hingga akhirnya ia sangat dekat dengan saya. Sesekali juga ngemong adiknya yang berusia enam bulan. Sampai sekarang, rasa kangen saya pada mereka tidak habis-habis. Saya jadi berpikir, terhadap keponakan saja, rasa kangen saya tidak pernah luntur, apalagi anak sendiri.

Saat ini, saya mulai merasakannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mengurusi pernak-perniknya, memandangi lama-lama perut saya yang bergerak-gerak, dan benar-benar mengatur asupan makanan saya agar ia selalu sehat. Begitulah. Meski belum melihat rupanya, saya sudah jatuh cinta dan selalu merindukan kehadirannya. 

Salam,


Nanda

Jumat, 24 Mei 2013

Perlengkapan Bayi dan Selimut Warisan


Hari ini, saya ditemani mama dan papa mertua membeli peralatan dan perlengkapan bayi. Ada sekitar 24 item yang rencananya akan dibeli, diluar perlengkapan kosmetik dan kesehatannya. Ini anak pertama saya. Jadi, saya belum terlalu bisa membedakan perlengkapan yang fungsional dan tidak. Hanya mengira-ngira dan merasakan saja. Pengalaman mama mertua dan sebuah daftar perlengkapan bayi baru lahir yang saya googling sangat membantu saya. Daftar itu membantu saya dalam menentukan item-item yang akan dibeli. Pengalaman mama mertua membantu saya untuk memilah item-item dalam daftar itu. 

Paginya, sebelum berangkat, mama mertua mengeluarkan sebuah selimut luar bayi dan memperlihatkannya pada saya. Kata mama, ini selimut luar yang sering dipakai suami saya dulu, ketika bayi, satu-satunya perlengkapan yang masih disimpan. Mama sengaja menyimpannya karena modelnya yang simpel serta bahan kainnya yang ringan dan nyaman untuk bayi. Lucu rasanya membayangkan saat suami saya bayi, digendong-gendong dengan memakai selimut luar itu.

Besar selimut itu sekitar satu kali satu meter, membulat di setiap ujungnya, berwarna biru muda, dan berbahan seperti selimut handuk yang halus dan ringan. Pada salah satu sudutnya ada ruang berbentuk segitiga untuk melindungi kepala bayi. Pada sudut yang lain, ada gambar kelinci putih dengan telinga tegak sebagai pemanis. Benar-benar mengedepankan fungsi dan kenyamanan. Modelnya memang berbeda dengan selimut luar saat ini yang banyak hiasan dan agak ribet; berornamen timbul di bagian segitiga pelindung kepala, bertali-tali, berenda-renda hampir di seluruh pinggir kain, atau berbahan macam-macam yang alih-alih membuat nyaman, malah membuat bayi merasa gerah atau mengganggu pernapasannya.  

Apa pun yang saya lakukan saat ini yang berhubungan dengan kehadiran bayi saya, selalu berhasil membuat saya tersenyum. Termasuk dalam mempersiapkan segala perlengkapan ini. Ketika memilah-milah pada waktu membeli, saya selalu membayangkan betapa lucunya ia memakai segala atribut itu. Ketika melihat celana pendek bayi, misalnya, saya jadi membayangkan ia yang sedang tengkurap dan pantatnya yang bulat bergoyang-goyang ketika memakai celana itu. 

Selesai berbelanja, saat satu plastik sangat besar perlengkapannya terbawa pulang, saya memilih untuk tidak membongkarnya, meski ingin, sebab saya yakin banyak waktu yang akan saya habiskan untuk membongkar, membayangkan, dan merapikannya kembali. Sebab saya tidak pernah puas memandangi segala atribut yang akan dikenakannya itu. Sebab saya masih punya waktu untuk mencermatinya, saat mencuci, menjemur, menyetrika, melipat, dan menatanya, sebelum dikenakan bayi saya nanti. Belum pernah ada pekerjaan rumah yang membuat saya bersemangat ingin segera melakukannya selain ini. 

Dan oya, terkait dengan selimut luar milik suami saya sewaktu bayi, saya kerap mendengar sesuatu (entah itu benda atau sesuatu yang lainnya) di masa dulu yang memiliki kualitas jauh lebih baik dibanding masa sekarang. Mulai dari kualitas peralatan rumah tangga, kualitas kain, kualitas kesehatan makanan, kualitas manusia, hingga kualitas tulisan dan karya seni yang dihasilkan. Entah apa yang terjadi di masa lalu dan masa kini. 

Salam,


Nanda

Kamis, 23 Mei 2013

Air Kacang Hijau


Saat ini, setiap pagi aku rutin minum air kacang hijau. Bukan air kacang hijau instan dalam kemasan, tentunya, tetapi dimasak sendiri. Para ibu bilang, air kacang hijau sangat bagus untuk pertumbuhan janin. Khasiat utamanya, ketika lahir, tubuh bayi akan berat dan padat namun tidak besar. Tubuh bayi yang tidak besar akan mempermudah kelahiran; memudahkan bayi untuk keluar dari jalur lahirnya. Tambahan pula, tubuh yang padat biasanya adalah tubuh yang kuat. Khasiat lainnya, air kacang hijau dapat memperlebat rambut bayi.

Sepertinya, resep ini dipercaya oleh para ibu di Indonesia, mulai dari mamaku, para tante, dan teman sejawat beliau  yang notabene orang Minang, hingga mama mertua, kerabat, dan tetangga beliau  yang notabene orang Jawa Timur. Semuanya satu suara dalam hal ini. Agaknya, resep ini sudah diterapkan turun temurun di berbagai daerah dan saat diterapkan, khasiatnya selalu teruji. 

Ketika diminta rutin meminumnya, aku menurut saja tanpa merasa perlu googling untuk mencari kebenaran khasiatnya. Selain karena aku cukup suka dengan rasa dan aroma kacang hijau, toh juga tidak ada efek sampingnya. Maka, jadilah aku setiap hari merendam kira-kira dua genggam kacang hijau selama satu jam, lalu memasaknya hingga mendidih dengan api yang tidak terlalu besar. Air kacang hijau yang berkhasiat tinggi adalah air pada didihan pertama, sebelum kacang hijaunya mengempuk. 

Suatu pagi, mama mertuaku bilang kalau tetangga depan rumah memberi air kacang hijau. Ia memang setiap hari memasak kacang hijau untuk dijual (entah berupa bubur atau olahan makanan kacang hijau lainnya). Aku senang sekali sebab berarti hari ini aku terbebas dari kegiatan mengolah kacang hijau. Mengolahnya memang tidak sulit, akan tetapi tentu akan lebih menyenangkan jika tinggal meminumnya saja. Hari berikutnya, tetangga tersebut mengirimkan air kacang hijau kembali. Begitu seterusnya hingga saat ini. Akhirnya, setiap pagi aku minum air kacang hijau (sering) tanpa perlu mengolahnya terlebih dulu.

Apalah arti segelas air kacang hijau jika ditimbang dari taksiran harganya?  Dilihat sepintas, seperti sebuah pemberian remeh-temeh. Bila kebetulan sedang tidak ada yang membutuhkan air kacang hijau, tetangga itu biasanya membuangnya. Sesuatu yang mudah dibuang tentu bukanlah sesuatu yang tinggi nilainya. Biji kacang hijau pun bukanlah jenis bahan penganan yang mahal. 

Lalu, bagaimana dengan aku, orang yang menerima pemberian tersebut? Meski terlihat seperti pemberian yang remeh-temeh, namun tidak demikian perasaanku, sebagai si penerima. Justru sebaliknya, setiap hari aku menunggu kiriman itu datang, takberapa lama, air kacang hijau hangat itu menjalari kerongkonganku. Hangatnya menyamankan perut. Kadang aku meminumnya dalam keadaan dingin setelah didiamkan dikulkas. Dinginnya menyegarkan kerongkongan.

Ini tentang sebuah pemberian. Barangkali kadang kita sungkan memberikan sesuatu kepada orang lain ketika menurut kita hal itu tidak bernilai. Terlebih lagi jika orang tersebut kita duga sangat mampu untuk membelinya sendiri. Padahal bisa jadi tidak demikian. Dengan berbagai sebab, pemberian yang terlihat remeh-temeh, bisa sangat diterima orang lain dengan penuh kesyukuran. 

Salam,


Nanda