Kamis, 20 Maret 2014

Masih Sederhanakah Bahagia itu? #4

Tadinya, saya pikir, menikah itu membahagiakan. Ternyata, saya menemukan bahwa memiliki anak jauh lebih membahagiakan. Bayangkan, setiap saat kamu bisa menatap binar mata, mendengar tawa renyah, menyaksikan tingkah polos yang mengundang tawa, dan melihat wajah lembutnya ketika anakmu sedang tidur. Apalagi jika ia tengah merajuk manja bersebab kepingin dipeluk dan dibelai. Sungguh menggemaskan. Rasanya, jika saya diminta untuk menuliskan daftar kebahagiaan, jari dan tangan saya bisa sampai kaku saking pegalnya. Tiap detik bersamanya, apa pun yang terjadi dan bagaimana pun akhirnya, adalah detik yang membahagiakan.

Akan tetapi, taksaya pungkiri, memiliki anak itu luar biasa sibuk. Apalagi jika kamu memutuskan mengasuh dan mendidiknya sendiri (di mana itu berarti kamu harus memprioritaskan waktumu untuknya dan kamu juga harus bisa menyempatkan diri untuk belajar ilmu parenting), di samping juga harus banyak menyelesaikan pekerjaan rumah, juga kepingin tetap dapat melakukan aktualisasi diri. Ada kalanya saya seperti merasa sedang mendaki gunung paling terjal di dunia selama berhari-hari, namun takjua mampu melihat puncaknya. Padahal tubuh saya nyaris luruh. Namun lagi-lagi, menyadari kehadirannya selalu mampu menyuntikkan energi baru.

Itu sebabnya, saya pun lalu bertanya, "masih sederhanakah bahagia itu?" Ketika untuk dapat selalu merasakan kebahagiaan itu, justru ada banyak hal yang harus kamu kompromikan, bahkan (barangkali) harus kamu lepaskan, atau paling tidak, harus ditunda untuk sementara waktu.

Saya rasa, bahagia adalah ketika kamu benar-benar memahami hal apa yang membuat hidupmu terasa penuh, puas, dan berarti, lalu memperjuangkannya, meski untuk itu kamu justru harus bisa berteman dengan kepayahan, ketidakmapanan dalam banyak hal, bahkan rasa sakit.

  gambar diambil dari sini

Salam,


Nanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar