Saya takpernah bosan menuliskan impian saya. Bagi saya, ia adalah sumber energi untuk bergerak. Telah sejak dari enam tahun lalu, saya selalu mengingatnya tiap hari, tiap waktu. Enam tahun. Cukup lama ya. Sebab perwujudan dari impian itu benar-benar membutuhkan tujuan yang jelas, mental yang kuat, dan seabrek kemampuan, baik soft skills maupun hard skills. Semua harus dilatih, ditumbuhkan, dan dikembangkan. Takada yang instan.
***
Baru-baru ini, saya membaca "Your Job Is Not Your Career"-nya Rene Soehardono. Saya suka dan setuju dengan sudut pandangnya sehingga, ketika pada suatu malam saya dapati sebuah acara dialog dengan Rene di salah satu tv swasta, saya mengikutinya dengan khusyu. Saat itu, Rene membahas tentang the next big thing.
The next big thing adalah titik temu antara passion dan purpose of life. Passions merupakan segala hal yang ketika mengerjakannya, kita benar-benar larut di dalamnya hingga takkenal waktu. Sementara, purpose of life adalah sesuatu yang sangat kita pedulikan (idealisme) dan sedang atau ingin diperjuangkan. Untuk dapat mencapai perasaan bahagia dan puas, keduanya harus dipertemukan dan diselaraskan. Menjalankan passion tanpa mengetahui sesuatu yang ingin kita perjuangkan, ataupun memperjuangkan suatu hal tanpa kita terlibat sepenuh hati dan merasa bahagia menjalankannya, akan membuat hidup terasa taklengkap.
***
Saya merasa beruntung, sebab jauh sebelum membaca buku maupun mengikuti dialog dengan Rene di tv, saya sudah menemukan passion dan purpose of life saya, serta menyelaraskan keduanya. Lebih dari itu, saya juga menyelaraskannya dengan kodrat saya sebagai perempuan.
Purpose of life saya yaitu, saya begitu ingin generasi masa depan indonesia berkembang dengan optimal pada usia keemasannya, yaitu pada usia di bawah lima atau enam tahun, dimana pada tahun-tahun tersebut otak berkembang dengan pesatnya sehingga sangat mudah bagi seorang anak menyerap dan belajar berbagai hal.
Selain itu, saya juga ingin setiap anak sejak dini diarahkan untuk mendalami passion-nya. Tentu, peran orang tua sangat signifikan dalam hal mencermati hingga menemukan passion sang anak ini. Semakin jauh orang tua terlibat, lalu membantu anak untuk mengasahnya, itu tentu semakin baik. Sebab, mengetahui passion kita bukanlah perkara gampang. Sering dibutuhkan waktu cukup lama untuk menemukan harta karun dalam diri ini.
Semakin optimal seorang anak berkembang pada masa keemasannya, tentu akan semakin baik perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotornya, sehingga semakin baik pula kemampuannya dalam menangani berbagai masalah. Dan juga, semakin dini anak menemukan dan terus mengasah kemampuan yang sesuai dengan passion-nya, tentu, semakin besar dan semakin cepat ia mencapai kesuksesan sesuai dengan parameternya.
***
Mengapa saya begitu peduli akan hal di atas?
Saat saya berusia di bawah enam tahun, adalah saat dimana kedua orang tua saya begitu sibuk dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Penyelesaian dari persoalan itu takjarang membuat mereka harus bolak balik ke luar kota dalam rentang waku yang cukup lama. Takmungkin untuk selalu membawa saya dan adik-adik, apalagi ketika kami telah mulai bersekolah. Banyak persoalan yang harus diselesaikan berarti berkurangnya fokus untuk memperhatikan tumbuh kembang saya dan adik-adik.
Dampaknya? Yang saya rasakan, ketika menginjak usia remaja, banyak kemampuan-kemampuan (khususnya life skills) yang kurang berkembang, dan banyak nilai-nilai hidup yang kurang saya pahami sehingga saya sering merasakan kebingungan-kebingungan, terutama ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan (dan hidup setiap jengkalnya adalah tentang pilihan, bukan?) Saya takpunya parameter yang jelas dan pasti dalam memilih ini atau itu. Untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan itu, sungguh, sangat menguras waktu dan energi, yang sampai sekarang pun, saya masih melakukannya. Begitu, cerita singkatnya.
Kemudian, tentang passion. Awal mula perkenalan dalam saya dengan konsep ini terjadi sewaktu mengikuti salah mata kuliah. Waktu itu kami belajar, yang kesimpulannya adalah, penyebab seseorang dapat bertahan dan terus berjuang menjadi terbaik dalam suatu bidang adalah passion, bukan bakatnya. Namun, tentu akan lebih baik lagi jika passions dan bakat kita berada dalam satu ranah. Seperti mengasah pisau yang sudah tajam. Akan semakin tajam dan jauh lebih tajam di atas yang lain.
Selain itu, saya banyak memiliki teman-teman yang dari segi kecerdasan, mereka di atas rata-rata. Mereka unggul dan menonjol dalam bidang yang digeluti saat ini. Takada yang meragukan kemampuan mereka. Akan tetapi, jauh di lubuk hati, mereka tetap merasa hampa meski telah mengukir (banyak) prestasi. Sebab, meski memiliki kemampuan, mereka bergelut bukan di area yang menjadi passion-nya.
***
Saya mencermati passion saya melalui kegiatan yang mampu menyita waktu saya berjam-jam, yaitu membaca. Lalu mencermati jenis buku bacaan yang sebelum selesai, saya takkan meninggalkannya, dan takbosan-bosan membacanya. Saya menemukan, buku-buku bergenre spiritual-religius, manajemen, self development, leadership, serta karya sastra, beranak pinak di lemari buku saya. Membaca mereka mampu membuat saya takmandi, takmakan, takkemana-mana, dan tidur larut.
Kesukaan dalam membaca biasanya berkaitan dengan kesukaan dalam menulis. Sebab, setelah banyak buku yang kaubaca, pada suatu ketika kauakan merasakan kepalamu penuh karena terus-terusan mengingat isi buku yang kausuka, dan terus terusan mengingat sanggahan terhadap isi buku yang berbeda dengan pemikiranmu. Jadilah menulis menjadi sebuah kebutuhan bagi saya.
Meski sebenarnya dalam menemukan kesukaan dalam menulis ini, sangatlah kebetulan, yaitu saat saya bergabung menjadi reporter suatu majalah, beberapa tahun lalu . Setelah menjalankannya, saya merasa "nge-klik" dengan dunia ini. Takmau meninggalkannya, meski dalam perkembangannya, saya lebih menyukai dunia fiksi. Mencipta puisi, cerpen, maupun novel buat saya terasa lebih menantang dibanding menulis artikel yang ketika kita telah terbiasa dan mendapatkan polanya, terasa seperti rutinitas yang pada akhirnya menjemukan.
Sehingga saya pun menyimpulkan, area yang ketika saya masuk ke dalamnya, saya betul-betul larut dan tenggelam, adalah manajemen dan menulis (khususnya fiksi).
***
Sebenarnya, purpose of life saya takhanya satu seperti yang saya jabarkan di atas. Akan tetapi purpose of life yang cocok dengan saya, disamping adalah seorang yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri yang cukup tinggi, juga seorang perempuan (seperti perempuan lainnya) yang memiliki tanggung jawab dalam mencetak wakil-wakilNya selanjutnya di muka bumi ini, saya memilih purpose of life yang selaras dengan tanggung jawab tersebut.
***
Dan keselarasan antara passion, purpose of life, dan kesadaran akan tanggung jawab sebagai seorang perempuan, bertemu pada satu titik, yaitu memiliki sebuah sekolah balita. Itulah hal besar yang akan saya wujudkan. Pernah baca toto-chan? oke, mungkin gambaran sekolahnya akan seperti itu. Konsep ini sudah bukan hal yang asing, memang. Sudah cukup banyak preschool ataupun tk yang menerapkannya. Dan saya ingin menjadi salah satu di antara mereka.
Lalu, untuk mempertajam dan memperjelas konsep sekolah itu, saya akan menggunakan passion saya dalam menulis fiksi. Menyelesaikan sebuah novel yang temanya sesuai dengan purpose of life saya. Sebenarnya takharus dengan novel. Hanya saja, saya ingin menikmati perjalanan ini, merealisasikannya dengan cara yang saya sukai. Itu saja. Membayangkannya, membuat energi saya meluap-luap.
***
Memiliki impian itu penting agar langkah kita terarah. Dan tetap berpijak pada realita, agar impian kita takhanya menjadi khayalan semata, itu lebih penting. Itu yang selalu saya tekankan pada diri. Saat memutuskan untuk membuat sebuah sekolah sekitar enam tahun lalu, saya melihat jurang yang begitu besar terhampar di hadapan saya ketika membandingkan antara kemampuan saya saat itu dengan kemampuan yang harus saya miliki jika ingin berhasil merealisasikan hal besar itu. Jika saya nekad melangkah tanpa persiapan, sudah sangat jelas, saya akan mendarat manis di dasar jurang.
Ada tiga hal yang harus saya tingkatkan dan terus kembangkan, yaitu mental, soft skills, dan hard skills yang berkaitan dengan impian saya. Dan di sinilah saya sekarang, dalam upaya terus memupuk ketiga hal tersebut.
***
Kosongkanlah waktumu minggu depan. Mari bertemu untuk minum kopi atau coklat hangat bersama, lalu saling bercerita. Dan saya akan melanjutkan cerita saya ini.
Salam,
Nanda
uniii...bagian pendidikan usia emas itu juga salah satu mimpiku, dengan sedikit banyak alasan yang mendekati ceritamu. sayangnya sekarang saya semakin jauh dari mimpi itu, huhuhuu. salut buat uni, thumbs up!
BalasHapushayu kita bikin barang ^_^
BalasHapusseeing is decieving dreaming is believing, it's okay not to be okay....
BalasHapus*mem-plagiat lirik nya Jessie J :)