Jumat, 23 Desember 2011

2012: Banyak Target = Tidak Memiliki Target



Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Seperti anak pertama pada umumnya, saya memiliki kebiasaan menuntut diri sendiri. Tuntutan ini pada awalnya berasal dari lingkungan, seperti, anak pertama harus selalu memberikan contoh yang baik bagi adik-adik, mengalah dan menjadi teladan bagi adik, membantu dan mengarahkan adik, membantu menyelesaikan tugas-tugas rumah, dan banyak lagi.

Pada akhirnya tuntutan itu menginternalisasi hingga menjadi tuntutan diri terhadap diri sendiri. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Lantas, tuntutan terhadap diri itu menjelma menjadi segunung target-target. Lalu berlanjut dengan penyusunan dan penjabaran langkah-langkah pencapaian target.

Gunung target itu sering membuat saya depresi. Ya, saya sering merasa tertekan, bukan karena ujian atau cobaan yang saya alami, akan tetapi lebih disebabkan target-target yang saya buat. Saat membuat target-target tersebut, saya lupa bahwa saya adalah manusia yang pada suatu waktu bisa merasa malas, mengalami emosi yang dapat mengganggu pencapaian target, memiliki fisik yang tidak selalu fit, dan sebagainya. Saya cenderung melihat diri saya sebagai robot yang saat saya tekan sebuah tombol, akan bergerak teratur dan mekanis mengikuti langkah-langkah yang sudah dibuat.

Sebagai contoh (ini hanya contoh lho) saya menargetkan membaca buku empat jam sehari, menulis tiga jam sehari, tilawah sebanyak tiga juz sehari, hafalan quran setengah halaman sehari, bekerja minimal sepuluh jam sehari, menyelesaikan pekerjaan serapi dan sedetil mungkin, dan lain-lain.

Lalu,  ketika dalam sehari saya hanya mampu membaca selama dua jam, hanya sempat menulis selama dua jam, bekerja teng go, hanya tilawah satu juz sehari, saya merasa gagal. Saya frustrasi. Setelah beberapa waktu tak jua dapat mencapai target itu dengan sempurna, akhirnya semua target itu saya lepas sementara untuk menenangkan diri, sebelum mulai membuat gunung target yang lain lagi. Alhasil, lebih banyak perasaan gagal dalam pencapaian target daripada sebaliknya yang saya rasakan, meski sebenarnya apa yang berhasil saya selesaikan pun ngga jelek-jelek amat.

Setelah beberapa kali mengalami perasaan gagal  dalam mencapai target yang seabrek, saya pun mulai belajar menyederhanakan target hidup saya. Ini bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang yang cenderung menuntut diri. Perasaan frustrasi tergantikan oleh perasaan khawatir kalau-kalau saya terlalu memaklumi dan memanjakan diri. Kalau-kalau saya terlalu menuruti kesenangan diri dan akhirnya malah kebablasan.

Setiap kali saya mendapati diri mulai kembali pada kebiasaan lama, saya berusaha menyadarkan diri bahwa memiliki segudang target sangatlah tidak sehat dan sama saja dengan tidak punya target sebab saya menjadi depresi, berujung pada perasaan gagal, dan pada akhirnya semua target itu pun lepas satu persatu. Selain itu, saya juga berusaha menyadarkan diri bahwa reaksi alamiah saya adalah menuntut diri, sehingga takperlu khawatir akan kebablasan.

Namun, saya tetap butuh penguatan bahwa pilihan saya (menyederhanakan target) sudah benar. Jujur, meski saya sudah cukup lama berusaha menyederhanakannya, masih sering timbul pertanyaan, "apakah ini pilihan yang benar? Apakah pilihannya hanya ada dua jenis, yaitu membuat target segunung atau hanya memiliki beberapa saja?" Saya memilih menyederhanakan target bukan karena saya yakin bahwa itu benar, akan tetapi karena pilihan yang satunya sudah pernah saya jalani dan saya rasakan dampaknya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel tentang visi (baca: target jangka panjang) yang ditulis oleh Rhenald Kasali (Visi Misi - Jawapos 10 Oktober 2011). Dalam artikel tersebut Rhenald mengatakan, semakin “besar” seseorang, semakin sederhana targetnya. Sederhana di sini bukan berarti tidak berkualitas. Akan tetapi semakin jelas, jernih, spesifik, dan kalimatnya pendek. Contohnya adalah visi Steve Jobs (Apple) "an apple at every desk", dan visi John F. Kennedy (AS) "mendaratkan manusia ke bulan dan membawa mereka kembali ke bumi dengan selamat pada akhir dekade ini".

Rhenald juga membandingkan visi sederhana tersebut dengan visi para pemimpin kita yang panjang, banyak, abstrak, tidak/sulit terukur, seperti "Terwujudnya Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur,  bla-bla-bla...". Setelah membaca tulisan Rhenald, saya jadi bertanya-tanya, adakah seorang saja penduduk Indonesia yang hapal visi presiden kita sekarang?

Saya merasa, isi artikel tersebut adalah hal yang saya cari selama ini untuk penguatan pilihan saya. Saat saya membaca artikel tersebut, mendekati akhir tahun 2011 dan jelang awal tahun 2012. Saat yang tepat untuk melakukan pembaharuan target tahunan.  Lalu, dari beberapa  (rencana) target 2012 yang sudah saya sederhanakan, saya beranikan diri untuk lebih menyederhanakannya kembali, memilih satu saja di antara mereka. Tapi yang mana ya? 

Beberapa target tersebut adalah meningkatkan/mengembangkan kecerdasan finansial (berkaitan dengan manajemen diri dalam me-manage keuangan), mulai teratur mengirimkan tulisan fiksi ke media (ada penjabaran lebih lanjut mengenai keteraturan di sini) (berkaitan dengan realisasi salah satu impian), mendalami kembali konsep effective team building beserta penerapannya (berkaitan dengan pekerjaan), tilawah satu juz sehari , dhuha dan membaca al matsurat setiap hari (berkaitan dengan spiritualitas).  Itulah target yang sudah saya sederhanakan.

Ada proses “berpikir” dan “merasa”  yang saya lakukan selama beberapa waktu dalam memilih salah satu di antara semuanya. Sampai akhirnya saya memilih hanya tilawah satu juz sehari saja target saya di 2012 ini, dengan pertimbangan bahwa saya merasa pencapaian target ini akan memenuhi kebutuhan spiritual, emosional, mental, fisik, dan intelektual saya,

1.         Tilawah adalah ibadah yang paling saya sukai dibanding yang lainnya.
2.         Ketika saya mencapai puncak ketegangan yang menyebabkan saya tidak dapat berpikir, meluangkan waktu beberapa saat untuk tilawah dapat melonggarkan ketegangan leher dan menyegarkan pikiran sehingga saya dapat berpikir kembali.
3.         Jika ada emosi yang saya tekan, ketika  tilawah, emosi itu dapat keluar sempurna.
4.         Jika membacanya dengan terbata-bata, ada dua pahala untuk kita dalam setiap hurufnya. Ini kalau terbata-bata lho. Dalam artian, dibanding ibadah yang lainnya, lebih mudah untuk mendapatkan pahala dengan ibadah ini.
5.         Al-Qur’an berisikan perkataan yang baik. Setiap perkataan yang baik akan berpengaruh baik pula bagi jiwa. Jiwa yang sehat akan menghasilkan tubuh yang sehat. Bukan berarti sudah tidak perlu olahraga ya. Maksudnya, paling tidak, kita dapat terhindar dari penyakit fisik yang asal muasalnya dari tidak sehatnya psikis.
6.         Tilawah setiap hari akan terus mengingatkan kita pada-Nya. Hal ini dapat menjadi pagar diri dari lingkungan yang tidak kondusif. Saya termasuk orang yang sangat mudah terwarnai oleh lingkungan.  Penjagaan diri melalui tilawah membuat saya tetap dapat berbaur dalam berbagai lingkungan namun tidak lebur.
7.         Secara kuantitas,  cukup realistis oleh karena beberapa waktu yang lalu saya pernah sanggup melakukan hal ini secara rutin walau akhirnya saya hancurkan sendiri dengan terus menambah kuantitasnya hingga melebihi kesanggupan saya. Bukannya semangat, saya malah merasa tertekan hingga kerutinan itu pun lepas. Takmembaca sama sekali dalam sehari hingga berhari-hari bahkan selama beberapa bulan. Kebiasaan yang seharusnya dapat menenangkan hati malah membuat saya tertekan oleh karena target yang tidak realistis.
8.         Meski ini target di tahun 2012, saya sudah mulai melatih diri sejak dua bulan sebelum awal tahun baru masehi itu, dengan demikian, saya sudah memiliki bayangan akan tingkat ketercapaiannya.
9.         Yang saya tuju adalah konsistensinya (setiap hari) agar terbentuk sebuah kebiasaan, bukan kuantitasnya.

Dengan telah memilih hanya sebuah target saja, itu artinya saya membiarkan yang lainnya mengalir. Bukan berarti saya tidak akan menulis, akan tetapi saya menulis apa yang ingin saya tulis, bukan apa yang harus saya tulis. Bukan berarti saya tidak membaca buku, akan tetapi saya membaca buku yang ingin saya baca, bukan buku yang harus saya baca. Bukan berarti ibadah lain (selain wajib) tidak saya kerjakan, akan tetapi tidak ada keharusan untuk melakukannya setiap hari. Begitu pula dengan yang lainnya.

Saya mencoba melepaskan diri dari kata “harus” yang terlalu banyak.

2012: Membiasakan diri (kembali) untuk tilawah satu juz perhari.

Cukup.


Salam,


Nanda






3 komentar:

  1. Hehehe.. Aku kira hanya aku yg keblinger menuntut diri sampai dysthymia...

    Semoga kita lebih mampu merelakan diri untuk menikmati hidup. :-)

    BalasHapus
  2. :D
    hehe... penyakit anak pertama dan anak tunggal biasanya, jenis orang-orang yang rentan thd ini -> tetap tidak merasa bahagia dan terus merasa kurang meski beberapa hal sudah dicapainya :p

    amiinnn :)) dan semoga kita bisa mengelolanya agar tetap menjadi kekuatan, bukan justru merusak diri :))

    BalasHapus
  3. wah... sngat syg apabila kebiasaan baik yg sudah terbiasa terbentuk lantas diabaikan (knp?)
    ada baiknya begini..
    >> yg sudah jd kebiasaan bukan lg menjadi target, melainkan kebutuhan/kegiatan otomatis (tapi bisa fleksibel jika... asal bkn karena kemalasan...)
    >> Target kedepan yg telah dipilih baiknya bukan cuma penyelesaian misi (dalam kaitannya hanya dengan waktu) melainkan lebih difokuskan pada peningkatan kualitas dari target itu sendiri..
    (mungkin selama ini target2 jadi terasa malas dikerjakan, jenuh dirasakan, letih utk dikejar karena dirasa belum begitu py arti dan makna ato dgn kata lain belum dirasa kualitasnya...)

    BalasHapus