Ini tentang masa depan. Entah mengapa ingin membahasnya. Meski sering saya dibingungkan oleh maknanya. Apa itu masa depan? Dua tahun, Lima tahun, sepuluh tahun, tiga belas tahun lalu, entah kapan tepatnya, saya cukup sering berpikir tentang masa depan dalam hal apapun. Namun, tak terasa dari sejak saya mulai memikirkan masa depan, tiga belas atau mungkin bahkan delapan belas tahun kemudian, saya belum juga merasa sampai pada apa yang saya sebut sebagai masa depan. Sepuluh tahun lalu saya berbicara tentang masa depan. Kini pun saya masih berbicara tentang masa depan. Lalu dimana ia? Kapan kita, atau khususnya saya, akan sampai pada waktu yang benar-benar saya sebut sebagai masa depan? Siapa sih yang telah menciptakan frase “masa depan” ini? siapa pula yang telah menambah embel-embel “ada ditangan kita” pada frase itu sehingga tercipta kalimat “masa depan ada di tangan kita”? Dulu, saya merasa sangat paham dengan keyakinan tingkat tinggi pada kalimat ini. Namun, semakin ke sini, sejujurnya, saya makin takmengerti. Kalimat atau frase itu terasa makin abstrak, makin absurd. Jangankan seseorang yang berusia tujuh belas tahun, seseorang yang berusia lima puluh tahun pun masih berbicara tentang masa depan. Jadi, kapan itu masa depan terjadi? Seolah seperti bandul yang ada di depan mata yang ketika kita berjalan maju, iapun ikut maju. Bagaimana kita bisa sampai padanya?
Berbicara tentang masa depan, entah mengapa, mengingatkan saya akan mati. Kematian. Saya yakin semua manusia di atas bumi ini percaya bahwa kita semua akan mati. Sebab sudah banyak peristiwa kematian terjadi di sekitar kita. Sebab sudah jutaan kuburan bertebaran di muka bumi ini. Sebab peristiwa kematian itu terlihat, terasa, teraba. Sebab peristiwa kematian itu terindrai. Itu sebabnya kita semua mempercayai bahwa kematian itu ada, dan karena telah terjadi pada jutaan manusia, maka kita percaya kematian pun akan terjadi pada kita kelak. Kelak. Kelak. Kelak. Kelak artinya tidak pada saat sekarang saat kita masih bernafas. Kelak juga tidak mungkin berada di masa lalu. Berarti kelak terdapat di masa depan. Artinya, masa depan yang sudah pasti adalah kematian. Apakah kematian ada di tangan kita? Jika masa depan adalah kematian, maka adalah wajar jika setiap orang, mulai dari usia dua puluh tahun hingga usia tujuh puluh tahun, membicarakannya. Namun, ketika seseorang membicarakan masa depan, adakah kata “kematian” muncul di sela-sela pembicaraan itu?
Nah, berbicara tentang kematian lantas mengingatkan saya
akan kehidupan setelah mati. Apabila semua manusia dari berbagai keyakinan
percaya akan peristiwa kematian, namun tidak halnya dengan kehidupan sesudah
mati. Sebagian manusia di muka bumi percaya akan kehidupan setelah
kematian-menurut versinya masing-masing. Sebagian lagi mungkin tidak. Sebab
kehidupan setelah mati tidak dapat dilihat, dirasa, diraba. Sebab kehidupan
setelah kematian takterindrai. Namun, meski takterindrai, banyak yang percaya. Pada
akhirnya,mempercayai adanya kehidupan setelah kematian adalah sebuah pilihan. Bagi
yang percaya dengan kehidupan setelah kematian, hal ini juga terletak pada masa
depan, sebab ia ada setelah peristiwa kematian terjadi. Jika masa depan adalah
hidup sesudah mati, maka adalah wajar jika setiap orang, mulai dari usia dua
puluh satu tahun hingga usia tujuh puluh Sembilan tahun, membicarakannya.
Namun, ketika seseorang membicarakan masa depan, adakah frase “kehidupan
sesudah kematian” muncul di sela-sela pembicaraan itu? Lalu apakah kehidupan
kita sesudah mati itu juga ada di tangan kita?
Lalu, mari kembali ke saat ini. Saya adalah orang yang
percaya dengan kehidupan setelah kematian. Jika saya berpikir tentang masa
depan, seharusnya saya berberpikir tentang kehidupan saya setelah mati atau setidaknya
tentang kematian itu sendiri. Kalaupun
tidak selalu, setidak-tidaknya sering. Pertanyaan itu pun berbalik kearah saya,
seberapa seringkah saya yang katanya sering berpikir tentang masa depan berpikir
juga tentang kematian atau hidup sesudah mati? Entahlah, saya pun masih kerap
salah kaprah. Ketika memikirkan masa depan, yang terpikirkan adalah rentang waktu
antara saya saat ini hingga sesaat sebelum kematian itu datang. Gambaran masa
depan yang masih acap kali datang adalah gambaran tentang saya dan kehidupan
saya beberapa tahun dari sekarang sebelum kematian datang. Padahal, sekali
lagi, jika masa depan direkatkan pada rentang waktu tersebut, takubahnya
seperti bandul yang saya gambarkan di atas tadi.
Untuk itu, agar tak terus-terusan salah kaprah, ketika
berbicara tentang masa depan, marilah kita berbicara tentang kehidupan setelah
mati dan/atau kematian, bukan berbicara tentang kapal pesiar, liburan keliling
dunia, mobil seharga milyaran jika kita mampu mengumpulkan sejumlah point atau
sejumlah orang downline #eh-apa-ini. []
Salam,
Nanda
jujurkah tulisan ini? hehe
BalasHapusyang bagian mana? yang bagian "berbicara tentang masa depan seharusnya berbicara tentang hidup sesudah mati/kematian?" atau bagian "saya sendiri masih kerap salah kaprah"? atau bagian "makin ke sini saya makin takpaham dengan makna masa depan"?
BalasHapusbaca yang lengkap n bener kalau mau tau jujur apa enggaknya. jangan cuma selintas-selintas trus langsung komen.