Entah mengapa, tiba-tiba saya merasa sudah saatnya (kembali) meluangkan waktu beberapa saat, setiap hari, untuk menulis. Tentu saja untuk tujuan menajamkan rasa. Dan entah mengapa pula, saya memutuskan untuk menulis di ujung hari setelah anak saya lelap. Padahal, anak saya nyaris takpernah tidur sebelum jam sebelas malam dan ketika ia pulas, rasanya nyaris seluruh energi saya sudah menguap.
Barangkali justru bersebab kombinasi itulah, yaitu di waktu malam dan ketika energi tinggal secuil, ditambah dengan, saya mengetik di dalam ruangan kamar yang gelap (sambil berjaga-jaga kalau-kalau bayi saya terbangun dan ingin menyusu), maka rasa semakin jelas untuk ditumpahkan. Sebab otak sudah terlalu lelah berputar seharian sehingga kerjanya di malam hari sudah takmaksimal. Saat otak (barangkali) sudah tertidur sebagian, kita menjadi lebih jujur tentang apa-apa yang dirasakan.
Dulu, sebelum menikah, saya pernah beberapa kali nge-twit maupun menulis status tentang "bahagia itu sederhana", seperti misalnya, "bahagia adalah ketika bertemu kasur setelah lelah bekerja seharian", "bahagia itu, secangkir teh hangat, sepiring pisang goreng, dan sore yang gerimis", "bahagia adalah saat berhasil menyelesaikan sebuah tulisan", dan lainnya. Saya pun saat itu meyakini bahwa bahagia itu memang sederhana.
Namun kini, setelah menikah dan memiliki anak, pernyataan itu sedikit saya ralat. Ya memang, ada saat-saat di mana bahagia itu terasa begitu sederhana; ia (pasti) singgah beberapa kali dalam perjalanan hidup kita. Mungkin beberapa kali dalam seminggu atau beberapa kali dalam sehari. Bahagia yang sederhana itu mampu sedikit menyegarkan otak dan hati yang telah bekerja cukup berat dalam menghadapi berbagai peristiwa sehari-hari. Saat ini pun saya masih dapat merasakannya. Beberapa di antaranya, senyum manis, binar mata, dan tingkah polos bayi saya adalah obat bagi saya dalam menjalani hari.
Suatu malam, ketika kami sedang berkumpul dan bercengkrama bertiga; saya, suami, dan bayi kami, saya dengan spontan berucap pada suami, "Bahagia itu mahal ya." "Iya," jawab suami, sespontan ucapan saya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar