Selasa, 27 Desember 2011

Melepas Topeng Kemandirian



Ibu saya berasal dari Matur, sebuah desa yang pasti akan dilewati orang jika akan menuju Danau Maninjau, salah satu tempat wisata terindah di Sumatera bagian Barat. Sementara, ayah saya berasal dari Tanete, Sulawesi Selatan, sebuah desa yang pada saat saya berumur tiga atau empat tahun, rumah-rumah di sana belum memiliki toilet yang layak, dan jika ingin buang hajat, mereka terlebih dulu harus menggali lubang di rimba sekitar.


Ayah saya bekerja di Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) sebagai Mualim, lalu kemudian (karena satu dan lain hal) memutuskan untuk melepas status pegawai negerinya dan bekerja di kapal swasta. Ibu saya seorang guru smp negeri di Padang, Sumatera Barat, dan kini tengah bersiap memasuki masa pensiunnya.


Setelah menikah, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Padang, ibukota Sumatera Barat. Lalu, di kota ini, lahirlah saya dan adik-adik. Meskipun saya bukan keturunan Minang asli, namun oleh karena Sumatera Barat menganut adat matrilinear (keturunan berasal dari pihak ibu) dan saya seorang perempuan, maka saya tetap diakui sebagai orang Minang dan juga sebagai penerus keturunan.


Saat saya berusia sekitar tiga tahun, ayah dan ibu memutuskan untuk pindah ke Sulawesi Selatan. Mungkin karena rute kapal ayah singgah di Sulawesi Selatan dan tidak lagi singgah di Sumatera Barat. Mungkin. Saya taktahu persis. Ibu memutuskan untuk berhenti penuh bekerja, juga berhenti dari status pegawai negerinya. Sebelum pasti kami akan tinggal di kota mana, untuk sementara kami tinggal di rumah kakak ayah, di Lakesik, salah satu desa di sana.


Namun kepindahan itu hanya berlangsung indah untuk sementara waktu. Sebagai orang yang bekerja di kapal, adalah wajar bila ayah saya pulang hanya dalam jangka waktu tertentu. Akan tetapi, semakin lama kepulangan dan kepergiannya semakin berjarak. Semakin ke sini, lebih sering hanya sejumlah kiriman uang saja yang sampai ke rumah. Naasnya, berkali-kali kiriman dari ayah itu pun, sebelum sampai ke tangan Ibu, disortir dulu oleh kakak ayah dan istrinya, dengan alasan pinjam untuk sementara waktu. Lama kelamaan, kiriman itu pun berhenti.


Ibu saya yang kondisinya saat itu semakin sulit melacak jejak keberadaan ayah saya, tinggal di negeri orang yang belum terlalu dikenalnya, setiap kiriman uang untuknya selalu dicegat, tidak lagi bekerja dan harus mengurusi tiga orang anak, agak kepayahan dengan kondisi tersebut. Ia sempat bertahan beberapa lama, kurang lebih setahun kami tinggal di Sulawesi Selatan, namun akhirnya Ibu memutuskan untuk berkirim surat ke salah satu kerabat di Jakarta minta dijemput, lalu segera setelahnya mengurus kembali status ke-pegawainegeri-annya yang tentunya tidak mudah. Setelah beberapa lama sempat tinggal di Jakarta (saya pun sempat menyelesaikan taman kanak-kanak di Jakarta, meski tidak masuk di awal tahun ajaran), kami akhirnya pindah ke Padang kembali.


Itulah sekelumit masa lalu yang sedikit saya ketahui. Ibu tidak pernah langsung bercerita. Saya hanya mendengar sepotong-sepotong saat Ibu sedang bercerita pada orang lain. Hanya itu yang berhasil saya tangkap dan beberapa potong episode setelahnya.


Ada sebuah kalimat yang meluncur dari mulut Ibu yang terpatri dalam benak saya hingga kini, yaitu “kalau mama ngga kerja Nda, ngga tahu deh mama mau kasih kalian makan dari mana.”


Entah saya umur berapa waktu itu. Saya terpana. Ibu hanya mengucapkan itu satu kali. Namun kalimat itu berpengaruh sangat besar pada saya hingga kini. Bahkan meluas dan menggeneralisasi.


Ayah saya orang baik. Saya tahu itu dan saya bisa merasakannya. Bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, ia cukup sering menjenguk kami. Ibu pun takpernah mengarahkan kami untuk membenci ayah. Setiap ayah datang, Ibu selalu meminta aku dan adik-adik untuk menyambut dan menghormati keberadaan beliau. Saat ketika sedang menyelesaikan tahap akhir studi saya pun, ayah cukup sering menghubungi saya (di antara adik-adik, saya yang paling sering berkomunikasi dengannya).


Namun orang baik sekalipun, pada kondisi tertentu, ternyata juga dapat meninggalkan keluarganya. Ia memang tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu. Akan tetapi, di dunia ini, sangat banyak hal-hal yang menghampiri takhentinya hingga membuat seorang manusia dapat sejenak lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya. Dan  ketika ia memperoleh kesadaran itu kembali, semuanya sudah terlambat.


Itu sebabnya saya takpernah mengatakan ayah dan ibu saya bercerai. Mereka berpisah, bukan bercerai (surat cerai resminya pun tak ada). Bagi saya, makna dari kedua kata itu berbeda. Jika bercerai, keduanya yang menginginkan perpisahan itu. Namun, dalam kasus ini, sesungguhnya takada yang menginginkan perpisahan itu.


Dalam benak saya, perlahan terbentuk asumsi-asumsi (yang dulu sama sekali tidak saya sadari), bahwa bergantung sepenuhnya terhadap orang lain (orang baik sekalipun), adalah hal yang menakutkan.  Sebab jika suatu saat apabila kondisi mengharuskan kebergantungan itu terputus, pihak yang bergantung pasti akan menderita. Mungkin kita bisa saja menjalin hubungan yang satu sama lain saling bergantung, satu sama lain saling memberi dan menerima, salah satu tidak bergantung secara penuh terhadap yang lain, namun apakah kita akan selalu dapat menjaga keseimbangan itu? Dan sejak mendengar dan meresapi ucapan ibu saya tersebut (saat itu saya sd), saya memilih untuk sepenuhnya mengandalkan diri sendiri. Saat itu, saya tidak membolehkan diri saya untuk tidak bekerja suatu saat nanti. Antisipasi.


Saya memiliki keluarga besar yang sangat perhatian dan memiliki kepedulian besar. Dalam adat Minang, paman memiliki tanggung jawab kepada kemenakan sama seperti tanggung jawab terhadap anak sendiri. Hal ini sudah mendarah daging dan sudah terpatri di alam bawah sadar orang-orang Minang. Dalam keluarga saya, tidak hanya om yang merasa bertanggung jawab kepada kemenakannya, akan tetapi tante-tante saya pun memiliki rasa yang sama (waktu saya masuk kuliah di Bandung, kakak mama yang pertama yang saya panggil dengan sebutan ibu lah yang paling repot mempersiapkan kebutuhan kos saya dari mulai menyediakan termos, piring, ember, seprai untuk kasur, dan lain-lainnya).


Sehingga, meskipun saya tidak penuh memiliki ayah, sesungguhnya saya tetap tidak kehilangan figur. Ibu menyerahkan pengarahan kami kepada om (terutama apabila dalam kondisi tertentu ibu sudah merasa kewalahan mengarahkan kami ,anak-anaknya, yang rata-rata berwatak pemberontak). Bahkan lebih sering kepedulian om dan tante saya lebih besar saya rasakan dibanding perhatian ibu.


Namun, oleh karena sebuah paradigma sudah terbentuk dalam benak saya, kepedulian mereka justru menakutkan buat saya. Semakin mereka memperlihatkan kepeduliannya, semakin saya menghindar dan menarik diri dari mereka. Menerima kebaikan dan perhatian mereka membuat saya merasa lemah. Menyimpan serta menyelesaikan masalah saya sendiri membuat saya merasa kuat (padahal saya jungkir balik menghadapinya sendiri). Sementara, dalam masa-masa tersebut (masa remaja dan dewasa awal), adalah masa dimana seseorang masih banyak membutuhkan bantuan dan arahan dari orang dewasa di sekitarnya. Mau tidak mau, tetap saja saya harus menerima banyak perhatian dan kepedulian dari mereka. Itu membuat saya semakin merasa lemah dan ketakutan.


Ibu selalu mengkait-kaitkan pekerjaan dengan prestasi. Jika kamu mau bekerja di tempat yang bagus, kamu harus memiliki prestasi bagus. Itu kata ibu. Bersebab saya merasa suatu saat nanti harus bekerja, maka saya sangat peduli dengan nilai-nilai sekolah saya. Oleh karena saat itu adalah zaman dimana lingkungan memberikan informasi pada saya bahwa ilmu eksakta lebih di pandang, maka saat itu saya banyak befokus pada ilmu-ilmu eksakta dibanding yang lainnya.


Kuliah di jurusan teknik industri (Unand) adalah impian saya. Dan menggapai impian itu juga cukup membutuhkan usaha yang lumayan. Saya harus mengulang ujian. Sebab, ketika remaja saya termasuk orang yang labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan memiliki konsentrasi  yang kurang bagus (mudah terpecah).  (Sebagai contoh, waktu menjelang akhir smu, saya sempat merasakan pengalaman religius yang sangat, hingga saya memutuskan berkerudung. Beberapa bulan kemudian, setelah pulang liburan dari Jakarta, saya sudah melepas kerudung dan memotong pendek rambut saya).


Dan ketika saya berhasil lulus ujian, bukannya senang, semangat saya melorot lebih dari setengahnya. Sebab saya lulus bukan di ptn dan jurusan yang saya inginkan. Di satu sisi saya senang bisa lulus di ptn yang diinginkan banyak orang. Namun di sisi lain, ptn dan jurusannya bukan impian saya. Saya gamang. Di satu sisi, oleh karena  alasan tertentu, saya memang sengaja memilih ptn di luar Padang sebagai salah satu pilihan saya, namun ketika ternyata lulus, saya malah bingung sebab bertolakbelakang dengan impian saya.


Saya mengurus semuanya dengan setengah hati. Sebab saya tahu saya juga pasti lulus di ptn dan jurusan yang saya inginkan. ptn impian itu saya letakkan di pilihan nomor dua, bersebab grade-nya hanya sekitar dua pertiga dari jurusan yang saya lulus saat ini. Saya hanya tidak menyangka lulus di pilihan pertama.


Semangat yang tidak penuh itu ternyata sangat berdampak bagi saya saat menjalankan studi. Terlebih lagi saat saya menemukan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran (jurusan yang paling saya hindari). Makin lengkap ketidakpenuhan hati saya. Intinya, saya tidak berminat (walau pada akhirnya saya sangat bersyukur dicemplungkan di sini. Ah, syukur memang sering datang kemudian).


Saya blingsatan. Dalam benak saya sudah terbentuk paradigma bahwa saya harus bekerja agar tidak harus bergantung sama siapapun dan untuk bisa bekerja saya harus memiliki nilai yang bagus. Sementara, saat kuliah, nilai-nilai saya sangat jauh dari harapan saya. Hal itu membuat saya cemas kalau-kalau tujuan saya tidak tercapai. Bayangan akan menjadi bergantung pada orang-orang sekitar menari-nari dibenak saya. Namun lagi-lagi saya hanya menyimpan semua kegalauan itu sebab dalam kondisi saya yang sedang cemas sekarang ini, berbagi cerita dan membuat orang peduli dengan saya malah akan membuat saya merasa lebih tidak berarti.


Sebuah paradigma baru menyelamatkan saya, berkat kesukaan saya membaca dan mengikuti berbagai kegiatan serta berkomunitas.  Paradigma “sekolah untuk memperoleh nilai bagus agar bisa bekerja” tergantikan dengan “memperjelas impian yang sejalan dengan passion, lalu berjuang menggapainya”. Saya suka membaca dan menulis. Saya menyukai seni merintis dan membangun usaha. Meski dasar dari pergerakan saya masih tetap sama, ketakutan dan kecemasan akan kebergantungan. Saya berusaha menggapai semua itu agar saya memiliki kompetensi, agar saya dapat berdiri dengan kaki sendiri, tidak harus bergantung pada siapapun.

***

Pekerjaan rumah saya sekarang adalah sedikit demi sedikit mengikis paradigma bahwa bergantung itu berarti lemah dan mencemaskan. Tidak mudah untuk melepaskan keyakinan yang sudah tertanam cukup kuat dalam diri kita, meski secara sadar kita memahami bahwa itu salah. Saya sekarang sedang mengumpulkan keyakinan-keyakinan yang berlawanan dengan keyakinan saya sebelumnya, dengan cara banyak membaca, banyak mendengarkan, banyak merenung, membuka diri, berbagi, dan lainnya.


Ya, saya sedang belajar bahwa merasa pantas menerima (apapun bentuknya) merupakan bagian dari penghargaan diri. Bahwa ada saat dimana kita memang harus bergantung pada orang lain dan itu bukanlah hal yang salah dan takperlu mencemaskan kebergantungan itu, sebab, ada kalanya kita pun memang harus berjalan sendiri, dan juga ada kalanya justru orang lainlah yang bergantung pada kita. Saling. Selain itu, mandiri tanpa sedikitpun bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat mustahil.


Begitulah. Saya sedang belajar. []



Salam,



Nanda

Senin, 26 Desember 2011

Jasad dan Waktu

Ada waktu yang harus diregang
Untuk menyelam ke dalam halaman demi halaman jasad itu
Lalu muncul ke permukaan dengan sejaring kalimat
Yang akan kauracik menjadi pesan atau kritik atau sekedar penawar gundah

Tapi oh, waktu lebih keras dari baja
Membuatmu tak habis-habisnya menghela dan menghembus
Dan mungkin terpelanting
Sebelum jejakmu utuh menggurat dalam halaman itu, jasad itu

Kenapa selalu mencoba meregangnya?
Telah menjadi takdirnya untuk taklentur 
Itulah gunanya kaudiberi akal kan?
Untuk mensiasati  keberadaan dan kekakuannya
Kau iklas menerimanya, kan?

Dan akhirnya nafasmu berirama teratur
Disela-sela tiga cangkir kosong bekas kopi
Diantara jasad itu, yang semakin menumpuk (kau yang mengundang)
Diujung waktu yang takjua regang, takpernah regang
 Kau iklas menerimanya, kan?  


                    Ananda Putri Bumi, Bandung 25 Desember 2011

Jumat, 23 Desember 2011

2012: Banyak Target = Tidak Memiliki Target



Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Seperti anak pertama pada umumnya, saya memiliki kebiasaan menuntut diri sendiri. Tuntutan ini pada awalnya berasal dari lingkungan, seperti, anak pertama harus selalu memberikan contoh yang baik bagi adik-adik, mengalah dan menjadi teladan bagi adik, membantu dan mengarahkan adik, membantu menyelesaikan tugas-tugas rumah, dan banyak lagi.

Pada akhirnya tuntutan itu menginternalisasi hingga menjadi tuntutan diri terhadap diri sendiri. Bahwa saya harus begini, saya harus begitu. Lantas, tuntutan terhadap diri itu menjelma menjadi segunung target-target. Lalu berlanjut dengan penyusunan dan penjabaran langkah-langkah pencapaian target.

Gunung target itu sering membuat saya depresi. Ya, saya sering merasa tertekan, bukan karena ujian atau cobaan yang saya alami, akan tetapi lebih disebabkan target-target yang saya buat. Saat membuat target-target tersebut, saya lupa bahwa saya adalah manusia yang pada suatu waktu bisa merasa malas, mengalami emosi yang dapat mengganggu pencapaian target, memiliki fisik yang tidak selalu fit, dan sebagainya. Saya cenderung melihat diri saya sebagai robot yang saat saya tekan sebuah tombol, akan bergerak teratur dan mekanis mengikuti langkah-langkah yang sudah dibuat.

Sebagai contoh (ini hanya contoh lho) saya menargetkan membaca buku empat jam sehari, menulis tiga jam sehari, tilawah sebanyak tiga juz sehari, hafalan quran setengah halaman sehari, bekerja minimal sepuluh jam sehari, menyelesaikan pekerjaan serapi dan sedetil mungkin, dan lain-lain.

Lalu,  ketika dalam sehari saya hanya mampu membaca selama dua jam, hanya sempat menulis selama dua jam, bekerja teng go, hanya tilawah satu juz sehari, saya merasa gagal. Saya frustrasi. Setelah beberapa waktu tak jua dapat mencapai target itu dengan sempurna, akhirnya semua target itu saya lepas sementara untuk menenangkan diri, sebelum mulai membuat gunung target yang lain lagi. Alhasil, lebih banyak perasaan gagal dalam pencapaian target daripada sebaliknya yang saya rasakan, meski sebenarnya apa yang berhasil saya selesaikan pun ngga jelek-jelek amat.

Setelah beberapa kali mengalami perasaan gagal  dalam mencapai target yang seabrek, saya pun mulai belajar menyederhanakan target hidup saya. Ini bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang yang cenderung menuntut diri. Perasaan frustrasi tergantikan oleh perasaan khawatir kalau-kalau saya terlalu memaklumi dan memanjakan diri. Kalau-kalau saya terlalu menuruti kesenangan diri dan akhirnya malah kebablasan.

Setiap kali saya mendapati diri mulai kembali pada kebiasaan lama, saya berusaha menyadarkan diri bahwa memiliki segudang target sangatlah tidak sehat dan sama saja dengan tidak punya target sebab saya menjadi depresi, berujung pada perasaan gagal, dan pada akhirnya semua target itu pun lepas satu persatu. Selain itu, saya juga berusaha menyadarkan diri bahwa reaksi alamiah saya adalah menuntut diri, sehingga takperlu khawatir akan kebablasan.

Namun, saya tetap butuh penguatan bahwa pilihan saya (menyederhanakan target) sudah benar. Jujur, meski saya sudah cukup lama berusaha menyederhanakannya, masih sering timbul pertanyaan, "apakah ini pilihan yang benar? Apakah pilihannya hanya ada dua jenis, yaitu membuat target segunung atau hanya memiliki beberapa saja?" Saya memilih menyederhanakan target bukan karena saya yakin bahwa itu benar, akan tetapi karena pilihan yang satunya sudah pernah saya jalani dan saya rasakan dampaknya.

Hingga beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel tentang visi (baca: target jangka panjang) yang ditulis oleh Rhenald Kasali (Visi Misi - Jawapos 10 Oktober 2011). Dalam artikel tersebut Rhenald mengatakan, semakin “besar” seseorang, semakin sederhana targetnya. Sederhana di sini bukan berarti tidak berkualitas. Akan tetapi semakin jelas, jernih, spesifik, dan kalimatnya pendek. Contohnya adalah visi Steve Jobs (Apple) "an apple at every desk", dan visi John F. Kennedy (AS) "mendaratkan manusia ke bulan dan membawa mereka kembali ke bumi dengan selamat pada akhir dekade ini".

Rhenald juga membandingkan visi sederhana tersebut dengan visi para pemimpin kita yang panjang, banyak, abstrak, tidak/sulit terukur, seperti "Terwujudnya Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur,  bla-bla-bla...". Setelah membaca tulisan Rhenald, saya jadi bertanya-tanya, adakah seorang saja penduduk Indonesia yang hapal visi presiden kita sekarang?

Saya merasa, isi artikel tersebut adalah hal yang saya cari selama ini untuk penguatan pilihan saya. Saat saya membaca artikel tersebut, mendekati akhir tahun 2011 dan jelang awal tahun 2012. Saat yang tepat untuk melakukan pembaharuan target tahunan.  Lalu, dari beberapa  (rencana) target 2012 yang sudah saya sederhanakan, saya beranikan diri untuk lebih menyederhanakannya kembali, memilih satu saja di antara mereka. Tapi yang mana ya? 

Beberapa target tersebut adalah meningkatkan/mengembangkan kecerdasan finansial (berkaitan dengan manajemen diri dalam me-manage keuangan), mulai teratur mengirimkan tulisan fiksi ke media (ada penjabaran lebih lanjut mengenai keteraturan di sini) (berkaitan dengan realisasi salah satu impian), mendalami kembali konsep effective team building beserta penerapannya (berkaitan dengan pekerjaan), tilawah satu juz sehari , dhuha dan membaca al matsurat setiap hari (berkaitan dengan spiritualitas).  Itulah target yang sudah saya sederhanakan.

Ada proses “berpikir” dan “merasa”  yang saya lakukan selama beberapa waktu dalam memilih salah satu di antara semuanya. Sampai akhirnya saya memilih hanya tilawah satu juz sehari saja target saya di 2012 ini, dengan pertimbangan bahwa saya merasa pencapaian target ini akan memenuhi kebutuhan spiritual, emosional, mental, fisik, dan intelektual saya,

1.         Tilawah adalah ibadah yang paling saya sukai dibanding yang lainnya.
2.         Ketika saya mencapai puncak ketegangan yang menyebabkan saya tidak dapat berpikir, meluangkan waktu beberapa saat untuk tilawah dapat melonggarkan ketegangan leher dan menyegarkan pikiran sehingga saya dapat berpikir kembali.
3.         Jika ada emosi yang saya tekan, ketika  tilawah, emosi itu dapat keluar sempurna.
4.         Jika membacanya dengan terbata-bata, ada dua pahala untuk kita dalam setiap hurufnya. Ini kalau terbata-bata lho. Dalam artian, dibanding ibadah yang lainnya, lebih mudah untuk mendapatkan pahala dengan ibadah ini.
5.         Al-Qur’an berisikan perkataan yang baik. Setiap perkataan yang baik akan berpengaruh baik pula bagi jiwa. Jiwa yang sehat akan menghasilkan tubuh yang sehat. Bukan berarti sudah tidak perlu olahraga ya. Maksudnya, paling tidak, kita dapat terhindar dari penyakit fisik yang asal muasalnya dari tidak sehatnya psikis.
6.         Tilawah setiap hari akan terus mengingatkan kita pada-Nya. Hal ini dapat menjadi pagar diri dari lingkungan yang tidak kondusif. Saya termasuk orang yang sangat mudah terwarnai oleh lingkungan.  Penjagaan diri melalui tilawah membuat saya tetap dapat berbaur dalam berbagai lingkungan namun tidak lebur.
7.         Secara kuantitas,  cukup realistis oleh karena beberapa waktu yang lalu saya pernah sanggup melakukan hal ini secara rutin walau akhirnya saya hancurkan sendiri dengan terus menambah kuantitasnya hingga melebihi kesanggupan saya. Bukannya semangat, saya malah merasa tertekan hingga kerutinan itu pun lepas. Takmembaca sama sekali dalam sehari hingga berhari-hari bahkan selama beberapa bulan. Kebiasaan yang seharusnya dapat menenangkan hati malah membuat saya tertekan oleh karena target yang tidak realistis.
8.         Meski ini target di tahun 2012, saya sudah mulai melatih diri sejak dua bulan sebelum awal tahun baru masehi itu, dengan demikian, saya sudah memiliki bayangan akan tingkat ketercapaiannya.
9.         Yang saya tuju adalah konsistensinya (setiap hari) agar terbentuk sebuah kebiasaan, bukan kuantitasnya.

Dengan telah memilih hanya sebuah target saja, itu artinya saya membiarkan yang lainnya mengalir. Bukan berarti saya tidak akan menulis, akan tetapi saya menulis apa yang ingin saya tulis, bukan apa yang harus saya tulis. Bukan berarti saya tidak membaca buku, akan tetapi saya membaca buku yang ingin saya baca, bukan buku yang harus saya baca. Bukan berarti ibadah lain (selain wajib) tidak saya kerjakan, akan tetapi tidak ada keharusan untuk melakukannya setiap hari. Begitu pula dengan yang lainnya.

Saya mencoba melepaskan diri dari kata “harus” yang terlalu banyak.

2012: Membiasakan diri (kembali) untuk tilawah satu juz perhari.

Cukup.


Salam,


Nanda






Selasa, 08 November 2011

Hati Nurani

Jelang jam tujuh malam. Saya (yang masih berada di kantor) berwudhu, lalu menuju masjid yang terletak di lantai M. Ruangan lapang yang dijadikan masjid sementara itu (masjid asli di lantai enam belas sedang direnovasi) redup. Beberapa lampu yang menyala hanya di sisi kanan ruangan yang merupakan tempat shalat laki-laki. Sedangkan tempat shalat perempuan yang berada di sisi kiri hanya mendapat sisa cahayanya. Meski dinding sebelah kiri masjid merupakan susunan kaca transparan, namun lampu-lampu gedung di luar yang tampak seperti pijaran bintang warna-warni lesap ke dalam malam sebelum mampu menembus dinding kaca masjid.

Di tengah ruangan itu terdapat sekat pemisah setinggi pundak, sebagai pembatas tempat shalat laki-laki dan perempuan. Dari dalam masjid terlihat titik-titik air sisa hujan masih berluncuran di dinding kaca. Jakarta hujan. Namun hawa di dalam ruangan tetap panas. Tidak ada AC (maklum, ruangan darurat). Hanya beberapa kipas angin di tempat shalat laki-laki dan sebuah di tempat shalat perempuan. Beberapa orang laki-laki sedang shalat, berdoa, ataupun merebahkan diri , sementara di tempat shalat perempuan, hanya ada seorang yang sedang merebahkan diri di sudut kiri, tepat di depan satu-satunya kipas angin. 

Saya memakai mukena. Karena adzan isya belum berkumandang, saya memutuskan untuk duduk menunggu sambil mengutak-atik ponsel. Masjid terasa makin gelap oleh cahaya yang terhalang sekat pemisah. Lalu, saya meraba-raba karpet di sisi kiri dan kanan saya, mencari ponsel saya. Namun tangan saya tidak berhasil menyentuh  benda apapun. Saya diam dan berusaha mengingat-ingat, dan oh, saya lupa membawa ponsel, benda yang selalu saya bawa, ke toilet sekalipun. 

Biasanya, ketika sedang menunggu –apapun dan dimana pun- mengutak-atik ponsel adalah kesenangan saya. Mulai dari bbm-an, facebook, twitter, browsing, download lagu, ataupun menulis (baca: mencatat ide tulisan yang tiba-tiba terlintas). Kegiatan yang semakin banyak mencuri waktu membaca ini saya lakukan secara bergantian. Namun saat ini saya tidak bisa melakukannya. Ada semacam perasaan kehilangan dan kosong. Seperti kehilangan dengan tiba-tiba seseorang yang selalu menemani dan menghiburmu kemanapun kau pergi. 

Ah, tidak mengapa, pikir saya. Toh masih bisa mengerjakan hal lain seperti merenung atau berdoa. Saya memutuskan berdiam diri sebelum memulai. Senyap. Hanya terdengar bunyi hembusan kipas angin sayup-sayup. Belum lagi saya mulai merenung atau berdoa, hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba saya merasa seperti terjebak dalam ruang sempit dan gelap, merasa diserang (entah oleh apa) dari segala penjuru, merasa akan berhadapan dengan sesuatu yang besar dan itu mencemaskan. Dan saya, hanya bisa diam dan merasakan. Saya merasakan dengan jelas detak jantung saya makin cepat. Nafas saya pendek-pendek dan sering. Samar-samar, rasa ngilu yang bermula dari tengkuk dan punggung atas menjalar setahap demi setahap.

Pengadilan. Saya merasa seperti terdakwa yang akan diadili. Namun oleh siapa? Atau oleh apa? Sesaat, saya merasa ingin lari. Kembali ke ruangan kantor, mungkin, untuk mengambil ponsel, agar saya takperlu berhadapan dengan senyap dalam ruangan yang redup ini. Namun sebuah suara menentang keinginan saya, untuk apa? Kenapa harus lari? Kenapa takdihadapi saja? Bersebab saya pun penasaran dengan perasaan dan reaksi fisik yang sedang saya rasakan ini, akhirnya saya memutuskan untuk tetap berdiam diri.

Saya berusaha menyelaraskan hati dan pikiran untuk mencari jawabannya. Dengan dipandu oleh emosi yang saya rasakan, pikiran saya menggali-gali ruang memori untuk mencari informasi, pengetahuan, ataupun pengalaman yang selaras dengan emosi tersebut. Lalu, perlahan, saya pun mendapatkannya.

Ketika diam dalam senyap, tidak hanya bunyi jarum jatuh yang terdengar jelas, namun suara hati nurani pun akan terdengar jelas. Suara hati nurani adalah suaraNya, yang akan selalu membimbing kita untuk kembali ke jalanNya, jika kita benar-benar mendengarkan. Hati nurani ini memiliki suara yang begitu halus dan lembut, nyaris takterdengar, namun takkan pernah berhenti bersuara, kecuali jika dibunuh dengan paksa. Akan tetapi, suara yang halus dan lembut ini akan menjadi momok yang menakutkan untuk dihadapi bila apa yang kita lakukan selama ini tidak atau kurang selaras dengan seruannya. Sebab di dasar hati yang paling dalam, kita tahu, hati nurani selalu menyuarakan kebenaran. Dan bila tindakan kita bertolak belakang dengan seruannya, itu berarti tindakan tersebut bertolak belakang dengan kebenaran. Karenanya, kita merasa diadili, dihakimi. 

Dalam kesibukan, suara ini takbegitu terdengar. Atau takbegitu didengarkan. Atau sengaja takdidengar. Dalam keseharian kita yang begitu banyak kegiatan seperti rantai yang takpernah putus, suara ini sering kalah dengan pembenaran-pembenaran yang kerap kita lakukan atas sebuah tindakan. Dengan pembenaran, akhirnya kita merasa tenang dan merasa benar saat melakukan sesuatu. Semakin hari kita semakin larut dengan pembenaran-pembenaran itu. Kita takmemberikan ruang sedikit pun bagi diri untuk mendengarkan suara hati nurani. Jika ada sedikit jeda dalam kesibukan, kita pun  berusaha mencari-cari kesibukan, apapun itu, meski takpenting, untuk menghindarkan diri agar takberhadapan dengan kegelisahan, keresahan, ataupun kecemasan menghadapi hati nurani.

Teringat pada sebuah percakapan antara saya dan salah seorang adik kos beberapa tahun lalu,

Adik kos  : Lagi baca apa Teh?
Saya         : (memperlihatkan sampul depan buku tersebut. Sebuah buku agama.)
Adik kos  : Saya kalau baca buku kaya gitu suka jadi ngerasa ada beban teh. Bawaannya malah nggak tenang dan pusing. Mending sekalian nggak usah baca. 

Lalu percakapan kedua,

Saya        : Ngga cape, udah kuliah sambil kerja, trus weekend juga keluar seharian? Hebat…
Adik kos : Cape sih teh, cuma gimana. Kalau seharian di kamar malah pusing. Semua masalah teh asa keingetan. Mending keluar we, trus pulang-pulang udah capek, tinggal tidur.

Saya meyakini, sejatinya shalat (atau meditasi) serta ibadah-ibadah lainnya adalah alat untuk mempertajam kembali kemampuan kita dalam mendengarkan hati nurani, serta alat untuk melembutkan hati agar lebih mampu mengikuti suara itu. Ketika melakukan shalat lima waktu dalam sehari dan setiap hari itu artinya, setiap hari sebanyak lima kali dalam sehari kita terhubung dengan hati nurani. Logikanya, semakin kita sering terhubung dengan hati nurani, semakin kita mampu mendengarnya, semakin lembut hati kita untuk mengikutinya. Saat tindakan selaras dengan hati nurani, saat itulah ketenangan didapatkan. Ironisnya, meski kita melakukan shalat setiap hari, lima kali sehari, ataupun bermeditasi, ketenangan takjua kita dapatkan. Jikapun ada, sifatnya hanya sementara. Setelahnya, kita kembali lagi pada kegalauan. Tentu, hal itu berujung pada sebuah pertanyaan, ada apa dengan shalat kita sehingga takmampu menghubungkan kita dengan hati nurani?

Ya. Bagaimana shalat kita bisa membuat kita terhubung dengan hati nurani jika pelaksanaannya terburu-buru karena dikejar deadline pekerjaan, diakhir waktu karena begitu sibuknya kita, pengerjaannya sudah setara dengan kegiatan rutin yang kita lakukan setiap hari (gerakan otomatis yang ketika sadar, tiba-tiba kita sudah sampai pada rakaat terakhir), atau melulu hanya digunakan untuk meminta (baca: memaksa) keinginan kita yang segunung (baca: meminta Dia yang bekerja untuk kita)? Ya, bagaimana mungkin, jika shalat kita tidak kita gunakan untuk lebih mengenalNya, memahami dan mengingat kembali apa yang diinginkanNya dari kita (bukan apa yang kita ingin Dia mengabulkannya), memahami dan mengingat kembali tujuan Dia menciptakan kita. 

Itulah secuil pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang berhasil saya bongkar-bongkar dari memori dalam menerjemahkan perasaan dan reaksi fisik saya. Mau tidak mau, saya diharuskan berhadapan dengan situasi yang membuat saya harus mengevaluasi kembali apa-apa yang telah saya lakukan, mengakui apa-apa yang telah saya benar-benarkan, mempertanyakan kembali dasar dari pilihan-pilihan hidup yang telah saya buat (masih sejalankah dengan hati nurani saya?), mengumpulkan apa-apa yang telah salah arah dan salah kaprah, lalu membuat rencana untuk memperbaikinya. 

Perlahan, perasaan saya mulai membaik. Adzan isya berkumandang. Malam itu, saya bersyukur lupa membawa ponsel. 



Salam


Nanda 

Selasa, 26 Juli 2011

Sebuah Pengakuan


Jarum jam terus berjalan, setia dengan keteraturannya, mendekati magrib. Sementara, jari-jari saya penuh keragu-raguan menekan tuts keyboard. Sudah cukup lama saya duduk di depan layar. Kebanyakan hanya menatap layar kosong. Atau mengetik lalu menghapus. Mengetik lalu menghapus lagi. 

Mata saya perih. Mungkin terlalu lama di depan layar. Tapi itu takpenting, dibanding dengan kelelahan yang akhir-akhir ini saya rasakan. Ya saya lelah. Setelah cukup lama melakukan penyangkalan, akhirnya, dengan cukup susah payah, saya akui, saya lelah. Pengakuan itu sungguh membuat lega. Kautakharus tampil kuat dan tegar setiap saat, kan. 

KepadaNya pertama kali saya mengakui kelelahan saya. Kalimat doa “Allah, beri saya selalu kekuatan, beri saya kemampuan…,” pun berganti dengan “saya lelah, lelah sangat, Allah, dan saya takut kelelahan ini berdampak tidak baik pada diri saya, pada hubungan saya dengan orang lain, dan terutama pada hubungan saya denganMu. Lindungi saya…”

Lelah yang saya maksud di sini, tentu bukan (hanya) lelah fisik. Jika kau lelah fisik, kaubisa membayarnya dengan tidur yang lebih lama dari biasanya, makan dengan gizi yang lebih, atau jalan-jalan. Mudah. Setelahnya, kaubugar kembali. 

Lelah yang saya maksud di sini adalah, meski tidurmu cukup, makanmu takkurang, kautetap merasakan lelah. Hati dan pikiranmu yang sesungguhnya lelah. Dan kelelahan menyebabkan konsentrasimu berkurang. Kesabaranmu menipis. 

Hanya saja, mengakui kelelahan bukan berarti berhenti. Mengakui berbeda dengan berhenti. Saya mengakui bahwa saya lelah, akan tetapi itu bukan berarti bahwa saya berhenti sampai di sini. Bagi saya, lelah adalah sebuah pertanda bahwa saya sudah membutuhkan energi tambahan. Mengakui kelelahan berarti bersedia mengalokasikan sebagian waktu untuk mengisi (terutama) jiwamu dengan energi. 

Dan kautahu? Mengakui kelelahan meringankan pundakmu. Entah kenapa. Mungkin karena pengakuan lelah  juga merupakan pengakuan bahwa kauadalah manusia yang memiliki batas kekuatan. Kaumengakui batasmu. Dan untuk bisa bergerak melebihi batas tersebut, kaumembutuhkan bantuan. Kau mengakui bahwa kaumembutuhkan bantuan. Meski energi belum bertambah, paling tidak, dengan pundak yang terasa lebih ringan, kaumasih bisa tetap berjalan.

Apa yang membuat saya lelah? Banyak hal. Semua bertumpuk, menggumpal, lalu menyekat hati dan pikiran. Dan biasanya, yang menyebabkan saya tetap bertahan adalah … impian. 

Meskipun menghadapi hari-hari yang sulit dan kaujatuh bangun menjalaninya, namun memiliki impian yang jelas dan spesifik, mengetahui bahwa realisasi dari impian itu akan membawa manfaat untuk  orang banyak, impian itu kauniatkan sebagai persembahan untuk SangPenciptamu atas kesempatan yang telah diberikanNya sebagai wakilNya, dan takkalah penting, apa yang kaulakukan saat ini, selain adalah minatmu, juga kausangat-sangat yakin telah sejalan dengan impianmu ... Itu yang membuatmu bertahan dan terus berjuang. Sebab di sana lah letak sumber energimu.  

Dan saat merasakan kelelahan, saya selalu mengingat alasan yang menyebabkan saya memilih jalan ini. Terutama dalam hal pekerjaan. Pekerjaanmu adalah kegiatan yang paling menyedot waktumu, kan? Dan sumber kelelahan utama, sangat mungkin, berasal dari sana. 

Orang yang bekerja dengan impian yang jelas dan orang yang bekerja hanya untuk makan dan memenuhi gaya hidup, tentu, akan memiliki ketahanan dan daya juang yang berbeda, kan? Pun bila kaumemiliki impian yang jelas, namun hanya sebatas mengejar jabatan dan popularitas, ketahanan dan daya juangmu pun masih akan kalah jauh dengan orang-oang yang impiannya melampaui atribut-atribut duniawi itu.

Dalam pekerjaan, tugas-tugas yang membuat saya merasa cepat lelah adalah tugas-tugas yang mengharuskan saya berkomunikasi, berkoordinasi, dan bernegosiasi dengan manusia lain, entah itu atasan, tim, mitra, maupun klien. Dan realitanya, memang kegiatan itulah yang cukup mewarnai sebagian hari-hari saya. Pekerjaan yang hampir setiap waktu mengharuskan saya membuka diri seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Dan akhir-akhir ini, dering hp, sms, atau email mampu membuat perut saya langsung mulas. Sebab, itu memang bukan saya yang sebenarnya. 

Terasa aneh ya. Di satu sisi saya mencintai pekerjaan saya, namun di sisi lain, saya menjalani sesuatu yang bukan saya. Secara keseluruhan, ya, ini adalah bidang yang saya minati. Hanya saja, sebagian kecil pada salah satu sudut bidang itu, memang bukan saya. Dan sebagian kecil itu akhir-akhir ini, dan dalam rentang beberapa waktu ke depan, memang agak dominan hadir dalam hari-hari saya. 

Dan impianlah yang menguatkan saya. Untuk mewujudkannya, saya membutuhkan kemampuan yang saya dapatkan dari menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini.


: kalaukalau “kamu” bertanyatanya apa alasan saya tetap bertahan dan berjuang di sini.


 Salam,


Nanda


Minggu, 26 Juni 2011

Sebuah Hal Besar

Saya takpernah bosan menuliskan impian saya. Bagi saya, ia adalah sumber energi untuk bergerak. Telah sejak dari enam tahun lalu, saya selalu mengingatnya tiap hari, tiap waktu. Enam tahun. Cukup lama ya. Sebab perwujudan dari impian itu benar-benar membutuhkan tujuan yang jelas, mental yang kuat, dan seabrek kemampuan, baik soft skills maupun hard skills. Semua harus dilatih, ditumbuhkan, dan dikembangkan. Takada yang instan.

*** 

Baru-baru ini, saya membaca "Your Job Is Not Your Career"-nya Rene Soehardono. Saya suka dan setuju dengan sudut pandangnya sehingga, ketika pada suatu malam saya dapati sebuah acara dialog dengan Rene di salah satu tv swasta, saya mengikutinya dengan khusyu. Saat itu, Rene membahas tentang the next big thing.

 The next big thing adalah titik temu antara passion dan purpose of life. Passions merupakan segala hal yang ketika mengerjakannya, kita benar-benar larut di dalamnya hingga takkenal waktu. Sementara, purpose of life adalah sesuatu yang sangat kita pedulikan (idealisme) dan sedang atau ingin diperjuangkan. Untuk dapat mencapai perasaan bahagia dan puas, keduanya harus dipertemukan dan diselaraskan. Menjalankan passion tanpa mengetahui sesuatu yang ingin kita perjuangkan, ataupun memperjuangkan suatu hal tanpa kita terlibat sepenuh hati dan merasa bahagia menjalankannya, akan membuat hidup terasa taklengkap.

***

Saya merasa beruntung, sebab jauh sebelum membaca buku maupun mengikuti dialog dengan Rene di tv,  saya sudah menemukan passion dan purpose of life saya, serta menyelaraskan keduanya. Lebih dari itu, saya juga menyelaraskannya dengan kodrat saya sebagai perempuan.

Purpose of life saya yaitu, saya begitu ingin generasi masa depan indonesia berkembang dengan optimal pada usia keemasannya, yaitu pada usia di bawah lima atau enam tahun, dimana pada tahun-tahun tersebut otak berkembang dengan pesatnya sehingga sangat mudah bagi seorang anak menyerap dan belajar berbagai hal.

Selain itu, saya juga ingin setiap anak sejak dini diarahkan untuk mendalami passion-nya. Tentu, peran orang tua sangat signifikan dalam hal mencermati hingga menemukan passion sang anak ini. Semakin jauh orang tua terlibat, lalu membantu anak untuk mengasahnya, itu tentu semakin baik. Sebab, mengetahui passion kita bukanlah perkara gampang. Sering dibutuhkan waktu cukup lama untuk menemukan harta karun dalam diri ini.

Semakin optimal seorang anak berkembang pada masa keemasannya, tentu akan semakin baik perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotornya, sehingga semakin baik pula kemampuannya dalam menangani berbagai masalah. Dan juga, semakin dini anak menemukan dan terus mengasah kemampuan yang sesuai dengan passion-nya, tentu, semakin besar dan semakin cepat ia mencapai kesuksesan sesuai dengan parameternya. 

***

Mengapa saya begitu peduli akan hal di atas?
Saat saya berusia di bawah enam tahun, adalah saat dimana kedua orang tua saya begitu sibuk dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Penyelesaian dari persoalan itu takjarang membuat mereka harus bolak balik ke luar kota dalam rentang waku yang cukup lama. Takmungkin untuk selalu membawa saya dan adik-adik, apalagi ketika kami telah mulai bersekolah. Banyak persoalan yang harus diselesaikan berarti berkurangnya fokus untuk memperhatikan tumbuh kembang saya dan adik-adik.

Dampaknya? Yang saya rasakan, ketika menginjak usia remaja, banyak kemampuan-kemampuan (khususnya life skills) yang kurang berkembang, dan banyak nilai-nilai hidup yang kurang saya pahami sehingga saya sering merasakan kebingungan-kebingungan, terutama ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan (dan hidup setiap jengkalnya adalah tentang pilihan, bukan?) Saya takpunya parameter yang jelas dan pasti dalam memilih ini atau itu. Untuk menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan itu, sungguh, sangat menguras waktu dan energi, yang sampai sekarang pun, saya masih melakukannya. Begitu, cerita singkatnya.

Kemudian, tentang passion. Awal mula perkenalan dalam saya dengan konsep ini terjadi sewaktu mengikuti salah mata kuliah. Waktu itu kami belajar, yang kesimpulannya adalah, penyebab seseorang dapat bertahan dan terus berjuang menjadi terbaik dalam suatu bidang adalah passion, bukan bakatnya. Namun, tentu akan lebih baik lagi jika passions dan bakat kita berada dalam satu ranah. Seperti mengasah pisau yang sudah tajam. Akan semakin tajam dan jauh lebih tajam di atas yang lain.

Selain itu, saya banyak memiliki teman-teman yang dari segi kecerdasan, mereka di atas rata-rata. Mereka unggul dan menonjol dalam bidang yang digeluti saat ini. Takada yang meragukan kemampuan mereka. Akan tetapi, jauh di lubuk hati, mereka tetap merasa hampa meski telah mengukir (banyak) prestasi. Sebab, meski memiliki kemampuan, mereka bergelut bukan di area yang menjadi passion-nya.

***

Saya mencermati passion saya melalui kegiatan yang mampu menyita waktu saya berjam-jam, yaitu membaca. Lalu mencermati jenis buku bacaan yang sebelum selesai, saya takkan meninggalkannya, dan takbosan-bosan membacanya. Saya menemukan, buku-buku bergenre spiritual-religius, manajemen, self development, leadership, serta karya sastra, beranak pinak di lemari buku saya. Membaca mereka mampu membuat saya takmandi, takmakan, takkemana-mana, dan tidur larut.

Kesukaan dalam membaca biasanya berkaitan dengan kesukaan dalam menulis. Sebab, setelah banyak buku yang kaubaca, pada suatu ketika kauakan merasakan kepalamu penuh karena terus-terusan mengingat isi buku yang kausuka, dan terus terusan mengingat sanggahan terhadap isi buku yang berbeda dengan pemikiranmu. Jadilah menulis menjadi sebuah kebutuhan bagi saya.

Meski sebenarnya dalam menemukan kesukaan dalam menulis ini, sangatlah kebetulan, yaitu saat saya bergabung menjadi reporter suatu majalah, beberapa tahun lalu . Setelah menjalankannya, saya merasa "nge-klik" dengan dunia ini. Takmau meninggalkannya, meski dalam perkembangannya, saya lebih menyukai dunia fiksi. Mencipta puisi, cerpen, maupun novel buat saya terasa lebih menantang dibanding menulis artikel yang ketika kita telah terbiasa dan mendapatkan polanya, terasa seperti rutinitas yang pada akhirnya menjemukan.

Sehingga saya pun menyimpulkan, area yang ketika saya masuk ke dalamnya, saya betul-betul larut dan tenggelam, adalah manajemen dan menulis (khususnya fiksi).

***

Sebenarnya, purpose of life saya takhanya satu seperti yang saya jabarkan di atas. Akan tetapi purpose of life yang cocok dengan saya, disamping adalah seorang yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri yang cukup tinggi, juga seorang perempuan (seperti perempuan lainnya) yang memiliki tanggung jawab dalam mencetak wakil-wakilNya selanjutnya di muka bumi ini, saya memilih purpose of life yang selaras dengan tanggung jawab tersebut.

 ***

Dan keselarasan antara passion, purpose of life, dan kesadaran akan tanggung jawab sebagai seorang perempuan, bertemu pada satu titik, yaitu memiliki sebuah sekolah balita. Itulah hal besar yang akan saya wujudkan. Pernah baca toto-chan? oke, mungkin gambaran sekolahnya akan seperti itu. Konsep ini sudah bukan hal yang asing, memang. Sudah cukup banyak preschool ataupun tk yang menerapkannya. Dan saya ingin menjadi salah satu di antara mereka.

Lalu, untuk mempertajam dan memperjelas konsep sekolah itu, saya akan menggunakan passion saya dalam menulis fiksi. Menyelesaikan sebuah novel yang temanya sesuai dengan purpose of life saya. Sebenarnya takharus dengan novel. Hanya saja, saya ingin menikmati perjalanan ini, merealisasikannya dengan cara yang saya sukai. Itu saja. Membayangkannya, membuat energi saya meluap-luap.

***

Memiliki impian itu penting agar langkah kita terarah. Dan tetap berpijak pada realita, agar impian kita takhanya menjadi khayalan semata, itu lebih penting. Itu yang selalu saya tekankan pada diri. Saat memutuskan untuk membuat sebuah sekolah sekitar enam tahun lalu, saya melihat jurang yang begitu besar terhampar di hadapan saya ketika membandingkan antara kemampuan saya saat itu dengan kemampuan yang harus saya miliki jika ingin berhasil merealisasikan hal besar itu. Jika saya nekad melangkah tanpa persiapan, sudah sangat jelas, saya akan mendarat manis di dasar jurang.

Ada tiga hal yang harus saya tingkatkan dan terus kembangkan, yaitu mental, soft skills, dan hard skills yang berkaitan dengan impian saya. Dan di sinilah saya sekarang, dalam upaya terus memupuk ketiga hal tersebut.

***

Kosongkanlah waktumu minggu depan. Mari bertemu untuk minum kopi atau coklat hangat bersama, lalu saling bercerita. Dan saya akan melanjutkan cerita saya ini.

Salam,


Nanda

Minggu, 19 Juni 2011

Prolog

        Kata-kata semakin bertumpuk dalam benak saya. Tumpang tindih. Pada mulanya hanyalah beberapa kata dalam serangkai kalimat. Lalu bertambah serangkai lagi. Lalu bertambah dan bertambah lagi. Naasnya, mereka tergeletak takrapi seperti coretan anak-anak. Makin lama makin penuh hingga taktertampung. Ini bikin kepala saya terasa berat. Satu-satunya cara, saya harus mengeluarkannya; menuangnya ke dalam sebuah wadah. 

        Ketika menuangnya, kata-kata itu takboleh berpisah satu sama lain. Mereka harus tetap dalam bentuk kalimat awalnya yang utuh. Ini sebuah pekerjaan yang cukup memakan energi. Saya harus mengurainya satu persatu terlebih dulu hingga kalimat demi kalimat itu terpisah satu sama lain namun tetap serangkai dengan kata-kata yang membentuknya. Sebab, hanya mengeluarkan kata perkata saja tidak membuat benak saya lapang. Kata-kata yang berdiri sendiri hanyalah sebuah konsep tanpa makna. Sementara, yang membuat benak saya penuh adalah makna yang dihasilkan dari kalimat-kalimat itu.

        Sebenarnya ini adalah akibat dari hobi menulis di dalam benak. Sebagian orang memang suka menulis dalam benak mereka. Salah satunya adalah saya. Ketika melihat atau mendengar sesuatu, mereka tidak membiarkan sesuatu itu tergeletak begitu saja seperti apa adanya. Mereka lalu mengasahnya, menyerutnya, mendalaminya, mengait-ngaitkannya dengan sesuatu yang lain, melihatnya dari berbagai sudut pandang, mengulitinya, ataupun memberikan atribut-atribut yang baru. Inilah yang kemudian menciptakan berbagai kalimat dalam benak. Begitulah cara mereka menulis dalam benak. Termasuk saya.

        Bagi saya, kebanyakan dari mereka adalah tentang minat dan tujuan hidup saya. Tentang hal-hal yang membuat saya bahagia. Tentang hal-hal yang membuat hidup saya kian bermakna. Tentang hal-hal yang membuat saya kian mengalun dan tenggelam dalam kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang setiap tindakan di dalamnya saya pilih dengan sadar hingga rangkaiannya membentuk berbagai kisah. Cara saya mengisi hidup.


Salam,


Nanda