ananda putri bumi
Jumat, 28 Juni 2019
Kamis, 26 Juni 2014
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #11 : Sup Jagung Daging
Bagi Azka, ibu adalah tempat ia mencari perasaan aman dan nyaman. Sementara ayah adalah teman bermain dan tertawa.
Beberapa kali hal di atas terlintas dibenak saya saat sedang meracik bumbu, di dapur. Dari dapur, kerap terdengar gelak tawa azka yang takputus bersebab dicandai oleh ayahnya. Saat saya berada dengan leluasa di dapur adalah saat azka sedang riang bermain dan tertawa dengan ayahnya, sampai beberapa saat kemudian, terdengar suara azka memanggil saya, "eeeii... eeeii..." Itu artinya ia sudah mulai kepingin disusui. Di dalam pangkuan saya, azka meringkuk, melipat dirinya.
Azka sewaktu berusia 8,5 bulan
Azka sewaktu berusia 8,5 bulan
Salam,
Nanda
: Meski judul tulisan ini adalah nama masakan, namun sesungguhnya ini
bukanlah tulisan yang memuat resep masakan. Sebab saya tidak sedang
menciptakan resep. Saya hanya mempraktekkan resep yang sudah ada, dengan
sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan, selera, dan
ketersediaan bahan. Tulisan ini memuat celoteh saya tentang masakan yang
saya bikin, hal-hal lain yang berkaitan, dan pikiran-pikiran lain yang
berseliweran saat saya sedang memasak. Celotehan dari dapur.
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #10 : Ketoprak
Sewaktu saya masih bekerja di Jakarta, ketoprak adalah salah satu makanan favorit saya untuk makan siang. Sampai-sampai pedagangnya hapal pesanan saya; dengan rawit lebih banyak dari takaran pedas pada umumnya dan bumbu yang lebih banyak pula. Makanan ini terbilang murah bila dibandingkan dengan makanan lain yang dijual di sekitarnya dan rasanya enak sekali. Saya tidak pernah bosan mencicipinya. Bersebab itulah, saya kepingin sesekali memasaknya.
Ketoprak hasil bikinan saya rasanya masih kalah jauh dari ketoprak langganan saya itu. Apalagi membuatnya pun terburu-buru. Tapi takapa. Cukup meredakan kekangenan saya. Juga, saya jadi mengetahui bumbu apa saja dan cara meraciknya yang membuat rasa ketoprak itu menjadi khas dibandingkan dengan makanan lain berkuah kacang yang dari segi wujud nyaris serupa.
Salam,
Nanda
: Meski judul tulisan ini adalah nama masakan, namun sesungguhnya ini
bukanlah tulisan yang memuat resep masakan. Sebab saya tidak sedang
menciptakan resep. Saya hanya mempraktekkan resep yang sudah ada, dengan
sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan, selera, dan
ketersediaan bahan. Tulisan ini memuat celoteh saya tentang masakan yang
saya bikin, hal-hal lain yang berkaitan, dan pikiran-pikiran lain yang
berseliweran saat saya sedang memasak. Celotehan dari dapur.
Minggu, 22 Juni 2014
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #9 : Soto Kudus (lagi) dan Sebuah Pelajaran tentang "Menjadi"
ini porsi makan siapa ya? ^.^
Salah satu pelajaran yang telah hidup berikan pada saya
adalah, manusia tidak pernah menjadi. Manusia selalu berproses untuk menjadi.
Selalu berada di dalam prosesnya. Terus menerus berada di dalam proses. Takpernah
menjadi. Kalaupun ia menjadi, hanya menjadi untuk sementara yang lantas masuk
ke dalam sebuah proses kembali. “Menjadi” ibarat sebuah terminal atau stasiun
atau bandara. Tempat untuk transit, sejenak beristirahat dari perjalanan
sebelumnya, sejenak merayakan proses yang telah dilalui sebelumnya, sejenak
menghembuskan napas lega, lalu setelah itu bergerak lagi, berjalan lagi,
berproses lagi, hingga sampai pada terminal atau stasiun atau atau bandara berikutnya.
Begitu seterusnya.
Akan tetapi, uniknya, kebanyakan manusia begitu mendambakan
sebuah akhir. Akhir dari proses. Akhir dari perjalanan. Pada akhir tersebut, ia
membayangkan ia yang telah menjadi. “Menjadi” diumpamakan sebagai sebuah hadiah
atas proses yang telah dilalui. Hadiah yang abadi. Akhir, dihayati sebagai
tempat menggenangnya kebahagiaan. Demi mendapatkan “akhir” yang dikhayalkan,
kebanyakan manusia rela bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian.
Pikirnya, kelak ia akan abadi dalam kesenangan setelah beragam kesakitan telah
dirasa.
Lalu, ternyata, akhir yang didambakan takjua kunjung tiba.
Pernah, pada suatu masa ia merasa ia telah menjadi. Ia pun menghembuskan napas
lega. “Saatnya menikmati hasil dari jerih payah,” pikirnya. Alangkah kagetnya
ia bahwa akhir yang dipikirnya abadi ternyata hanyalah sebuah persinggahan sementara.
Ia tetap harus melanjutkan perjalanan, kembali berproses. Jika tidak, ia akan
tenggelam di antara hiruk-pikuknya dunia. Ia yang telah ada perlahan akan redup
dan musnah sama sekali. Ia pun terpaksa melanjutkan proses itu. Demi Menjadi.
Pada kenyataannya ia takpernah kekal menjadi. Lalu, tiba-tiba ia merasa lelah
sebab takjua menemukan ujung dari perjalanan. Demi mengejar untuk menjadi yang
kekal, ia lupa bersenang-senang di dalam proses, lupa untuk menikmati proses.
Ia pikir, “Ah, nanti saja, bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang
kemudian.” Lalu, kelelahan, perasaan tertekan, kekecewaan, perasaan gagal, mengerubutinya. “Begitu
panjang perjalanan ini. Mengapa aku takjua sampai?” rintih batinnya.
Sebaliknya, ia yang menyadari bahwa manusia takkan pernah kekal
menjadi, mempersiapkan diri untuk menyongsong proses yang akan berlangsung
abadi dalam kehidupan. Itu sebabnya, ia taklupa untuk tetap bergembira dalam
menjalani proses. Itu sebabnya, ia memilih proses yang dicintainya sepenuh
hati. Itu sebabnya, ia selalu menghargai tiap proses yang telah dilewatinya,
meski hanya sebuah proses singkat. Ia takharus menunggu untuk sampai di tempat "transit" dulu untuk
merayakannya. Ia merayakannya setiap saat, setiap selangkah proses yang telah
dijalaninya. Baginya berproses adalah juga menjadi. Dengan begitu, ia menjadi
setiap saat, selama ia tetap menjalani proses.
Bersebab ia meyakini tak ada manusia yang menjadi, maka takada
manusia bijak, menurutnya. Yang ada adalah manusia yang selalu berusaha untuk
bijak. Takada manusia baik. Yang ada adalah manusia yang selalu berusaha untuk baik.
Takada manusia yang pintar. Yang ada adalah manusia yang terus menerus berusaha
mengasah keahliannya dalam satu atau beberapa hal. Takada manusia yang soleh.
Yang ada adalah manusia yang terus menerus berupaya untuk taat pada aturan
agama.
Dalam menjalani sebuah proses, melakukan kesalahan adalah
sebuah keniscayaan. Takada proses yang bebas dari kesalahan. Bersebab itu, ia
yang memahami bahwa manusia takpernah menjadi, akan maklum jika manusia takpernah
luput dari kesalahan, sampai kapan pun. Ia memaklumi akan banyak kesalahan yang
dilakukannya saat sedang berproses, pun kesalahan yang dilakukan orang lain,
sehingga ketika orang lain melakukan kesalahan, takkan keluar dari mulutnya
kalimat seperti, “Katanya bijak, tapi kok…,” “Katanya baik, tapi kok…,”
“Katanya pinter, tapi kok…,” Beragama tapi kok…,” “Berilmu tapi kok…,” dan
kalimat lain yang sejenis.
Ya, itu salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari hidup.
Bahwa manusia tidak pernah menjadi. Manusia selalu berada di dalam proses.
“Menjadi” hanyalah sebuah persinggahan sementara. Berproses adalah sesuatu yang
kekal dalam kehidupan. Aku berproses maka aku ada. Bersebab itu, mari merayakan proses.
Ah, ini adalah salah satu pikiran yang berseliweran dibenak saya ketika sedang memasak. Saya selalu begitu. Melakukan sesuatu sambil pikiran saya memikirkan hal lain.
Salam,
Nanda
: Meski judul tulisan ini adalah nama masakan, namun sesungguhnya ini
bukanlah tulisan yang memuat resep masakan. Sebab saya tidak sedang
menciptakan resep. Saya hanya mempraktekkan resep yang sudah ada, dengan
sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan, selera, dan
ketersediaan bahan. Tulisan ini memuat celoteh saya tentang masakan yang
saya bikin, hal-hal lain yang berkaitan, dan pikiran-pikiran lain yang
berseliweran saat saya sedang memasak. Celotehan dari dapur.
Selasa, 17 Juni 2014
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #8 : Soto Kudus
Rabu, 11 Juni 2014
Lebih nge-jreng piring-piringnya ketimbang masakannya, kwekwek :p *NgunyahPiring*
Dulu, saya heran melihat ibu saya, yang meskipun di meja
makan banyak hidangan yang baru beliau masak, namun lebih memilih memakan hidangan
kemarin yang diolah kembali. Atau, beliau memakan hidangan yang baru dimasak
dengan porsi lebih sedikit dibanding yang dimakan anak-anaknya. Atau, mengambil
bagian yang ia tahu tidak disukai oleh anak-anaknya.
Selain heran, kadang saya merasa kasihan (apa ibu saya
sedang tidak punya duit dan beliau sedang sangat berhemat) atau malah sebal
(saya kan jadi sungkan untuk makan banyak sementara beliau yang bikin masakan
ini malah hanya memakan secuil).
Saya lupa pernah menanyakan hal ini atau belum. Tapi yang
pasti, apa yang dilakukan ibu saya itu baru benar-benar saya pahami kemudian,
saat saya telah memiliki anak, serta menjadi juru masak di dalam
keluarga.
Saat akan memasak, saya benar-benar berupaya menakar agar
kuantitas makanan yang saya masak cukup untuk hari ini (tidak ada anggota
keluarga yang merasa kekurangan makanan) dan juga bisa habis untuk hari ini;
tidak bersisa sedikit pun. Jika ternyata jumlahnya kurang, maka saya harus
memasak lagi. Sebaliknya, jika jumlahnya berlebih, maka akan ada makanan
bersisa yang harus saya habiskan, esok harinya.
Untuk mengantisipasi agar saya tidak perlu memasak lagi, saya melakukan apa yang ibu saya pernah lakukan, mengambil
makanan secukupnya saja, bahkan seminimal mungkin, agar suami dan anak saya
bisa makan dengan puas. Sebaliknya, jika makanan berlebih, esoknya saya olah
lagi agar bisa saya makan, meski saya paham makanan yang sudah beberapa kali
diolah itu kurang sehat. Jika kejadiannya hanya sesekali, jumlah makanan
berlebih itu tidak banyak, dan berupa sayuran, dengan berat hati saya akan
membuangnya. Namun jika kejadian tersebut berulang kali dengan jumlah yang
cukup banyak dan bukan berupa sayuran, dengan berat hati pula saya akan
memakannya (kadang saya tawari juga pada suami saya).
Apa alasan saya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan ibu? Sebab saya paham masih banyak orang-orang yang kekurangan makan. Sebab memasak itu (ternyata) tidak mudah, butuh waktu dan energi. Sebab saya jadi merasa takmenghargai hasil keringat suami saya.
“Kau
tidak akan pernah bisa memahami sesorang hingga kau melihat segala sesuatu dari
sudut pandangnya… hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup
dengan caranya.” -Harper Lee, dalam “To Kill A Mockingbird”
Ya, saya kini seorang ibu. Menjalani peran sebagai seorang ibu. Seperti ibu saya. Banyak sikap ibu yang baru saya pahami ketika saya menjadi ibu. Pemahaman itu datang seperti hujan yang tiba-tiba menderas.
Hari ini saya memasak soto kudus. Habis tanpa sisa.
Salam,
Nanda
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #7 : Hati Ayam Bumbu dan Sambal Terasi
Selasa, 10 Juni 2014
Hari ini saya memasak hati Ayam bumbu dan sambal terasi. Bersebab ada sedikit kendala teknis, saya takbisa memotretnya. Tapi taksoal. Sebagai gantinya, saya pajang foto Azka (11 bulan) saja. Juga, bercerita tentang mpasi Azka saja.
Takterasa, sudah hampir enam bulan Azka menjalani mpasi. Sejauh ini, Azka belum pernah melakukan gerakan tutup mulut (GTM). Semua makanan yang disodorkan padanya pasti dimakan. Hanya porsinya saja yang berubah-ubah. Kalaupun tidak dimakannya, biasanya bersebab saya menyodorkannya pada waktu yang salah, saat ia mulai mengantuk. Jika sedang mengantuk, ia takmau makan dan minum apapun selain ASI.
Jika disodori makanan, biasanya, yang diambil pertama kali adalah sayur, lalu makanan berprotein hewani, terakhir baru makanan berkarbohidrat. Dugaan suami saya, bersebab warna-warni sayurlah yang menyebabkan Azka tertarik untuk terlebih dulu mengambil sayuran, ketika makan. Tapi ketika saya sodorkan sayur dengan warna takmenyolok pun, Azka tetap memprioritaskannya.
Namun, selera makan bayi masih bisa berubah-ubah hingga ia berusia dua tahun. Boleh jadi makanan yang disukainya sekarang, beberapa bulan lagi justru menjadi makanan yang takpernah disentuhnya. Bersebab itu lah, hingga ia berusia dua tahun, saya berupaya membentuk pola
makannya agar kelak ia condong pada makanan yang sehat, tidak semata enak.
Untuk pola mpasi Azka, saya menggunakan pola Food Combining (FC). Pola makan yang menekankan untuk selalu memakai bahan-bahan alami dalam membuat makanan bayi dan balita. Sasaran FC adalah terbentuknya imunitas yang baik sehingga anak tidak mudah sakit.
Beberapa aturan dalam FC untuk makanan anak selain menggunakan bahan alami adalah, menghindari pemakaian gula dan garam ataupun makanan olahan yang mengandung gula dan garam hingga anak berusia dua tahun, menghindari pemakaian bahan tambahan makanan sintetis, menghindari makanan berlemak tinggi seperti gorengan dan coklat olahan, menghindari pemakaian makanan awetan, menghindari makanan olahan pabrik, menghindari pemakaian tepung terigu, menghindari pemakaian susu sapi, mengkonsumsi sayur dan buah (jus buah manis pada pagi hari sebelum makan) setiap hari dengan porsi seimbang dengan protein hewani dan karbohidrat, dan memberikan makanan yang beragam agar gizi anak terpenuhi*.
Aturan ini seoptimal mungkin saya terapkan meski kadang situasi dan kondisi takmendukung. Rata-rata, aturan tersebut cukup mudah diterapkan, kecuali untuk bagian “memberikan makanan yang beragam”. Standar FC untuk makanan beragam dalam sehari dan setiap harinya cukup tinggi, yaitu setiap hari anak makan dengan menu berbeda, dan dalam sehari anak memakan dua menu makanan berbeda (untuk makanan utama). Standar ini cukup membuat saya kewalahan.
Akan tetapi, hasilnya cukup memuaskan, meski saya belum bisa seratus persen menerapkannya. Hingga saat ini (enam bulan masa mpasi dan hampir setahun usianya) Azka belum pernah batuk. Pernah satu kali pilek dengan kadar sangat-sangat ringan (selama dua hari), satu kali panas selama satu hari dan reda dengan sendirinya (bersamaan dengan tumbuhnya dua gigi baru), dan satu kali panas tinggi selama dua hari bersamaan dengan tumbuhnya empat gigi baru sekaligus.
Apalagi yang paling membahagiakan bagi seorang ibu selain anaknya sehat dan lincah, bukan?
*Disimpulkan dari "Buku Super Lengkap: Makanan Bayi Sehat Alami", Wied Harry Apriadji
Salam,
Nanda
Untuk pola mpasi Azka, saya menggunakan pola Food Combining (FC). Pola makan yang menekankan untuk selalu memakai bahan-bahan alami dalam membuat makanan bayi dan balita. Sasaran FC adalah terbentuknya imunitas yang baik sehingga anak tidak mudah sakit.
Beberapa aturan dalam FC untuk makanan anak selain menggunakan bahan alami adalah, menghindari pemakaian gula dan garam ataupun makanan olahan yang mengandung gula dan garam hingga anak berusia dua tahun, menghindari pemakaian bahan tambahan makanan sintetis, menghindari makanan berlemak tinggi seperti gorengan dan coklat olahan, menghindari pemakaian makanan awetan, menghindari makanan olahan pabrik, menghindari pemakaian tepung terigu, menghindari pemakaian susu sapi, mengkonsumsi sayur dan buah (jus buah manis pada pagi hari sebelum makan) setiap hari dengan porsi seimbang dengan protein hewani dan karbohidrat, dan memberikan makanan yang beragam agar gizi anak terpenuhi*.
Aturan ini seoptimal mungkin saya terapkan meski kadang situasi dan kondisi takmendukung. Rata-rata, aturan tersebut cukup mudah diterapkan, kecuali untuk bagian “memberikan makanan yang beragam”. Standar FC untuk makanan beragam dalam sehari dan setiap harinya cukup tinggi, yaitu setiap hari anak makan dengan menu berbeda, dan dalam sehari anak memakan dua menu makanan berbeda (untuk makanan utama). Standar ini cukup membuat saya kewalahan.
Akan tetapi, hasilnya cukup memuaskan, meski saya belum bisa seratus persen menerapkannya. Hingga saat ini (enam bulan masa mpasi dan hampir setahun usianya) Azka belum pernah batuk. Pernah satu kali pilek dengan kadar sangat-sangat ringan (selama dua hari), satu kali panas selama satu hari dan reda dengan sendirinya (bersamaan dengan tumbuhnya dua gigi baru), dan satu kali panas tinggi selama dua hari bersamaan dengan tumbuhnya empat gigi baru sekaligus.
Apalagi yang paling membahagiakan bagi seorang ibu selain anaknya sehat dan lincah, bukan?
*Disimpulkan dari "Buku Super Lengkap: Makanan Bayi Sehat Alami", Wied Harry Apriadji
Salam,
Nanda
Jumat, 13 Juni 2014
Berkarya dan Berceloteh dari Dapur #6 : Ayam Ungkep (lagi) dan Sambal Terasi
Senin, 09 Juni 2014
Takterasa kita sudah menginjakkan kaki dipertengahan Juni 2014. Padahal, rasanya baru kemarin saya mendengar suara terompet dan petasan bersahutan pada pukul dua belas malam lebih sedikit. Dua minggu lagi, bayi saya akan berusia satu tahun. Padahal, momen saat dan sedang melahirkan yang berlangsung hampir setahun lalu itu masih terekam jelas di benak. tanggal 14 September 2014 nanti, genap dua tahun usia pernikahan saya. Padahal, Riuh dan bahagianya saat persiapan pernikahan masih terasa jejaknya di hati. Lalu, Awal Oktober 2014 ini, genap pula dua tahun saya tinggal di Kota Khatulistiwa ini. Padahal, repotnya mengemas barang saat pindahan dari Bandung ke Pontianak, masih kerap jadi bahan pembicaraan kami.
Waktu makin ahli berlari. Semakin menjadi pelari tangguh. Meninggalkan hari-hari. Membuat saya seperti taksempat menapak dulu, atau menarik napas dulu, dan meresapi hari satu demi satu. Rasanya, saya hanya melayang-layang saja dalam meniti hari. Terbang hari satu hari ke hari selanjutnya. Tak sempat ada jejak yang ditorehkan. Pagi dan malam seperti terpisahkan hanya oleh seutas benang.
Begitu cepatnya waktu berlalu, itu juga lah yang menjadi salah satu alasan saya menulis "berkarya dan berceloteh dari dapur" ini. Menyempatkan diri untuk menjejak, semampu mungkin.
Hari ini saya masak ayam ungkep, lagi. Azka menghabiskan tiga potong ayam hari ini.
Salam,
Nanda
Takterasa kita sudah menginjakkan kaki dipertengahan Juni 2014. Padahal, rasanya baru kemarin saya mendengar suara terompet dan petasan bersahutan pada pukul dua belas malam lebih sedikit. Dua minggu lagi, bayi saya akan berusia satu tahun. Padahal, momen saat dan sedang melahirkan yang berlangsung hampir setahun lalu itu masih terekam jelas di benak. tanggal 14 September 2014 nanti, genap dua tahun usia pernikahan saya. Padahal, Riuh dan bahagianya saat persiapan pernikahan masih terasa jejaknya di hati. Lalu, Awal Oktober 2014 ini, genap pula dua tahun saya tinggal di Kota Khatulistiwa ini. Padahal, repotnya mengemas barang saat pindahan dari Bandung ke Pontianak, masih kerap jadi bahan pembicaraan kami.
Waktu makin ahli berlari. Semakin menjadi pelari tangguh. Meninggalkan hari-hari. Membuat saya seperti taksempat menapak dulu, atau menarik napas dulu, dan meresapi hari satu demi satu. Rasanya, saya hanya melayang-layang saja dalam meniti hari. Terbang hari satu hari ke hari selanjutnya. Tak sempat ada jejak yang ditorehkan. Pagi dan malam seperti terpisahkan hanya oleh seutas benang.
Begitu cepatnya waktu berlalu, itu juga lah yang menjadi salah satu alasan saya menulis "berkarya dan berceloteh dari dapur" ini. Menyempatkan diri untuk menjejak, semampu mungkin.
Hari ini saya masak ayam ungkep, lagi. Azka menghabiskan tiga potong ayam hari ini.
Salam,
Nanda
Langganan:
Postingan (Atom)