ini porsi makan siapa ya? ^.^
Salah satu pelajaran yang telah hidup berikan pada saya
adalah, manusia tidak pernah menjadi. Manusia selalu berproses untuk menjadi.
Selalu berada di dalam prosesnya. Terus menerus berada di dalam proses. Takpernah
menjadi. Kalaupun ia menjadi, hanya menjadi untuk sementara yang lantas masuk
ke dalam sebuah proses kembali. “Menjadi” ibarat sebuah terminal atau stasiun
atau bandara. Tempat untuk transit, sejenak beristirahat dari perjalanan
sebelumnya, sejenak merayakan proses yang telah dilalui sebelumnya, sejenak
menghembuskan napas lega, lalu setelah itu bergerak lagi, berjalan lagi,
berproses lagi, hingga sampai pada terminal atau stasiun atau atau bandara berikutnya.
Begitu seterusnya.
Akan tetapi, uniknya, kebanyakan manusia begitu mendambakan
sebuah akhir. Akhir dari proses. Akhir dari perjalanan. Pada akhir tersebut, ia
membayangkan ia yang telah menjadi. “Menjadi” diumpamakan sebagai sebuah hadiah
atas proses yang telah dilalui. Hadiah yang abadi. Akhir, dihayati sebagai
tempat menggenangnya kebahagiaan. Demi mendapatkan “akhir” yang dikhayalkan,
kebanyakan manusia rela bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian.
Pikirnya, kelak ia akan abadi dalam kesenangan setelah beragam kesakitan telah
dirasa.
Lalu, ternyata, akhir yang didambakan takjua kunjung tiba.
Pernah, pada suatu masa ia merasa ia telah menjadi. Ia pun menghembuskan napas
lega. “Saatnya menikmati hasil dari jerih payah,” pikirnya. Alangkah kagetnya
ia bahwa akhir yang dipikirnya abadi ternyata hanyalah sebuah persinggahan sementara.
Ia tetap harus melanjutkan perjalanan, kembali berproses. Jika tidak, ia akan
tenggelam di antara hiruk-pikuknya dunia. Ia yang telah ada perlahan akan redup
dan musnah sama sekali. Ia pun terpaksa melanjutkan proses itu. Demi Menjadi.
Pada kenyataannya ia takpernah kekal menjadi. Lalu, tiba-tiba ia merasa lelah
sebab takjua menemukan ujung dari perjalanan. Demi mengejar untuk menjadi yang
kekal, ia lupa bersenang-senang di dalam proses, lupa untuk menikmati proses.
Ia pikir, “Ah, nanti saja, bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang
kemudian.” Lalu, kelelahan, perasaan tertekan, kekecewaan, perasaan gagal, mengerubutinya. “Begitu
panjang perjalanan ini. Mengapa aku takjua sampai?” rintih batinnya.
Sebaliknya, ia yang menyadari bahwa manusia takkan pernah kekal
menjadi, mempersiapkan diri untuk menyongsong proses yang akan berlangsung
abadi dalam kehidupan. Itu sebabnya, ia taklupa untuk tetap bergembira dalam
menjalani proses. Itu sebabnya, ia memilih proses yang dicintainya sepenuh
hati. Itu sebabnya, ia selalu menghargai tiap proses yang telah dilewatinya,
meski hanya sebuah proses singkat. Ia takharus menunggu untuk sampai di tempat "transit" dulu untuk
merayakannya. Ia merayakannya setiap saat, setiap selangkah proses yang telah
dijalaninya. Baginya berproses adalah juga menjadi. Dengan begitu, ia menjadi
setiap saat, selama ia tetap menjalani proses.
Bersebab ia meyakini tak ada manusia yang menjadi, maka takada
manusia bijak, menurutnya. Yang ada adalah manusia yang selalu berusaha untuk
bijak. Takada manusia baik. Yang ada adalah manusia yang selalu berusaha untuk baik.
Takada manusia yang pintar. Yang ada adalah manusia yang terus menerus berusaha
mengasah keahliannya dalam satu atau beberapa hal. Takada manusia yang soleh.
Yang ada adalah manusia yang terus menerus berupaya untuk taat pada aturan
agama.
Dalam menjalani sebuah proses, melakukan kesalahan adalah
sebuah keniscayaan. Takada proses yang bebas dari kesalahan. Bersebab itu, ia
yang memahami bahwa manusia takpernah menjadi, akan maklum jika manusia takpernah
luput dari kesalahan, sampai kapan pun. Ia memaklumi akan banyak kesalahan yang
dilakukannya saat sedang berproses, pun kesalahan yang dilakukan orang lain,
sehingga ketika orang lain melakukan kesalahan, takkan keluar dari mulutnya
kalimat seperti, “Katanya bijak, tapi kok…,” “Katanya baik, tapi kok…,”
“Katanya pinter, tapi kok…,” Beragama tapi kok…,” “Berilmu tapi kok…,” dan
kalimat lain yang sejenis.
Ya, itu salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari hidup.
Bahwa manusia tidak pernah menjadi. Manusia selalu berada di dalam proses.
“Menjadi” hanyalah sebuah persinggahan sementara. Berproses adalah sesuatu yang
kekal dalam kehidupan. Aku berproses maka aku ada. Bersebab itu, mari merayakan proses.
Ah, ini adalah salah satu pikiran yang berseliweran dibenak saya ketika sedang memasak. Saya selalu begitu. Melakukan sesuatu sambil pikiran saya memikirkan hal lain.
Salam,
Nanda
: Meski judul tulisan ini adalah nama masakan, namun sesungguhnya ini
bukanlah tulisan yang memuat resep masakan. Sebab saya tidak sedang
menciptakan resep. Saya hanya mempraktekkan resep yang sudah ada, dengan
sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan, selera, dan
ketersediaan bahan. Tulisan ini memuat celoteh saya tentang masakan yang
saya bikin, hal-hal lain yang berkaitan, dan pikiran-pikiran lain yang
berseliweran saat saya sedang memasak. Celotehan dari dapur.
Mbak izin aku share di fan page gitajiwa ya. Bagus banget tulisan nya. Membantu mengingatkan tentang proses yang terua berlanjut.
BalasHapusiya boleh, silakan :)
HapusKeren tulisannya...betapa beruntungnya jiwa jiwa yg menyadari proses kehidupan. Salute
BalasHapusSetuju mbak rina. Beruntungnya karena dengan menyadari itu selangkah kedepan menjadi damai.
HapusMbak Rina: makasih mbak :)
HapusMahotama: iya bener, dan jadi semangat untuk terus berproses berproses, berproses, hehee...