Lebih nge-jreng piring-piringnya ketimbang masakannya, kwekwek :p *NgunyahPiring*
Dulu, saya heran melihat ibu saya, yang meskipun di meja
makan banyak hidangan yang baru beliau masak, namun lebih memilih memakan hidangan
kemarin yang diolah kembali. Atau, beliau memakan hidangan yang baru dimasak
dengan porsi lebih sedikit dibanding yang dimakan anak-anaknya. Atau, mengambil
bagian yang ia tahu tidak disukai oleh anak-anaknya.
Selain heran, kadang saya merasa kasihan (apa ibu saya
sedang tidak punya duit dan beliau sedang sangat berhemat) atau malah sebal
(saya kan jadi sungkan untuk makan banyak sementara beliau yang bikin masakan
ini malah hanya memakan secuil).
Saya lupa pernah menanyakan hal ini atau belum. Tapi yang
pasti, apa yang dilakukan ibu saya itu baru benar-benar saya pahami kemudian,
saat saya telah memiliki anak, serta menjadi juru masak di dalam
keluarga.
Saat akan memasak, saya benar-benar berupaya menakar agar
kuantitas makanan yang saya masak cukup untuk hari ini (tidak ada anggota
keluarga yang merasa kekurangan makanan) dan juga bisa habis untuk hari ini;
tidak bersisa sedikit pun. Jika ternyata jumlahnya kurang, maka saya harus
memasak lagi. Sebaliknya, jika jumlahnya berlebih, maka akan ada makanan
bersisa yang harus saya habiskan, esok harinya.
Untuk mengantisipasi agar saya tidak perlu memasak lagi, saya melakukan apa yang ibu saya pernah lakukan, mengambil
makanan secukupnya saja, bahkan seminimal mungkin, agar suami dan anak saya
bisa makan dengan puas. Sebaliknya, jika makanan berlebih, esoknya saya olah
lagi agar bisa saya makan, meski saya paham makanan yang sudah beberapa kali
diolah itu kurang sehat. Jika kejadiannya hanya sesekali, jumlah makanan
berlebih itu tidak banyak, dan berupa sayuran, dengan berat hati saya akan
membuangnya. Namun jika kejadian tersebut berulang kali dengan jumlah yang
cukup banyak dan bukan berupa sayuran, dengan berat hati pula saya akan
memakannya (kadang saya tawari juga pada suami saya).
Apa alasan saya melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan ibu? Sebab saya paham masih banyak orang-orang yang kekurangan makan. Sebab memasak itu (ternyata) tidak mudah, butuh waktu dan energi. Sebab saya jadi merasa takmenghargai hasil keringat suami saya.
“Kau
tidak akan pernah bisa memahami sesorang hingga kau melihat segala sesuatu dari
sudut pandangnya… hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup
dengan caranya.” -Harper Lee, dalam “To Kill A Mockingbird”
Ya, saya kini seorang ibu. Menjalani peran sebagai seorang ibu. Seperti ibu saya. Banyak sikap ibu yang baru saya pahami ketika saya menjadi ibu. Pemahaman itu datang seperti hujan yang tiba-tiba menderas.
Hari ini saya memasak soto kudus. Habis tanpa sisa.
Salam,
Nanda
Sama Mak....sy jg begitu...kdg tempe goreng sisa td mlm...paginya sy potong kecil2 sy buat utk campuran nasi goreng...dan suami kebetulan suka nasi goreng dg irisan tempe yg dimsk bareng sm nasi goreng....btw sotonya menggoda selera.....nyammy....
BalasHapuskirim ke sini nasi gorengnya mak, ntar saya kirim balik sotonya, wkwkk :p
HapusWah perlu pebfalaman bgt ya menakar jumlah makanan yang pas. Semangat mbak.. btw kalo perlu tim penyicip soto kudus hubungi saya ya.. hahahha
BalasHapusperluuu, terutama buat nakar makan si baby. hahhaa... okeh, saya tunggu di pontianak ya :D
HapusBukannya bisa dikira-kira ya mbak porsi makan suami dan anak-anak, jadinya memasak bisa pas kan? Atau memang sengaja dilebihkan supaya kalau mereka minta nambah lauk masih ada?
BalasHapusKalau Ibu saya, bila ada lauk yang tersisa dan masih layak makan, maka dibungkus bersama nasi kemudian diberikan ke pemulung (bukan pengemis lho).
kalo makan saya dan suami bisa ditakar. kalo makannya bayi agak susah karena porsi makannya berubah-ubah. suka-suka dia aja. belom lagi kadang-kadang sebelum makan dia suka eksplorasi makanan dulu (makanannya diaduk-aduk, dibejek-bejek, ditumpahin ^^') trus nanti minta lagi untuk dimakan beneran. waahh... ide bagus. etapi (baru inget) di sini gak ada pemulung (dan pengemis), hemm...
Hapus