Selasa malam beberapa waktu lalu, saya berkesempatan
mengikuti talkshow terakhir Ayah Edi, seorang praktisi pendidikan, di radio
Smart fm. Tema talkshow adalah tentang “cinta” (saya lupa tema lengkapnya).
Ayah Edi juga mengundang dua narasumber lain, salah satunya, Gede Prama,
seorang spiritualist.
Gede Prama mengatakan, “Cinta tidak selalu merupakan
hubungan romantik. Dalam banyak hal (justru) adalah rasa sakit. Sebab kita
sering harus merelakan sesuatu yang kita sukai agar dapat memberikan ruang pada
yang kita cintai untuk bertumbuh sesuai dengan panggilannya.”
Saya lalu teringat dengan pernyataan seorang teman, beberapa
tahun lalu,”Pernikahan sejatinya adalah sebuah tim. Tim yang sehat adalah
ketika masing-masing orang di dalamnya punya kesadaran untuk meluruhkan
setengah egonya.” Teman saya
menekankan,
tidak lebih, tidak kurang. Jika lebih atau kurang, salah satu akan
mendominasi
dan yang lainnya selalu merasa menjadi korban. Kondisi tim tidak akan
sehat. Pernikahan itu tidak akan berjalan sehat. Apalagi jika keduanya
bertahan dengan
seratus persen egonya.
Ya. Saya sepakat. Pernikahan sejatinya adalah sebuah tim.
Seperti ketika kita bergabung dalam sebuah organisasi. Seperti halnya ketika
kita bekerja dalam perusahaan. Namun, dalam tim kerjasama biasa, jika
taksepaham, kita bisa meninggalkan tim itu begitu saja. Atau, jika punya
kekuasaan yang lebih, bisa dengan ringan mendepak salah satu anggota tim.
Dalam pernikahan, kita takbisa meninggalkan tim atau
mendepak salah satu anggota di dalamnya dengan seenaknya. Ikatan suami istri
suatu saat mungkin bisa terputus. Akan tetapi, orang tua dan anak adalah tim
seumur hidup, sebab ikatannya takkan dapat terputus. Jadi bagaimana pun, kita
dipaksa untuk terus menghadapinya.
Terlebih, tim kecil ini kita niatkan untuk langgeng seumur
hidup. Sehingga, apa pun yang terjadi, ada usaha keras dan terus-menerus untuk
mempertahankannya. Dengan cara apa? Ya dengan meluruhkan setengah ego itu tadi.
Meluruhkan setengah ego. Bukan hal yang gampang, bukan. Tidak semua kehendak
kita dapat terpenuhi bulat-bulat. Ada tanggung jawab yang harus dijalankan. Ada
komitmen yang harus terus dijaga. Ada waktu yang harus dialokasikan untuk
mendengarkan dan memahami.
Seperti yang diucapkan Gede Prama, ada kerelaan, ada
pengorbanan, dengan tujuan memberikan ruang bertumbuh pada orang-orang yang
kita cintai, yang (mungkin) akan menimbulkan rasa sakit. Beruntungnya, landasan
dari pembentukan tim keluarga adalah cinta kasih. Barangkali, cinta yang akan
sedikit meredakan rasa sakit itu.
Akan tetapi, manusia memang takkan pernah menjadi bijak
melalui kesenangan semata, bukan? Kualitas diri akan terus membaik justru
ketika kita bertahan menghadapi dan menerima rasa sakit, menghadapi dan memberi
ruang untuk berbagai kesulitan, bukan malah lari darinya atau memberontak.
Memilih lari ataupun memberontak hanya akan menyebabkan kita berhenti
bertumbuh. Lari akan membuat kita jadi manusia lemah, sementara memberontak,
akan membuat kita jadi manusia keras.
Anak adalah juga anggota tim. Ia memiliki hak untuk
mendapatkan setengah egonya, juga memiliki kewajiban untuk meluruhkan setengah
egonya. Di dalam keluarga lah, anak pertama kali belajar mengenai kerja sama
tim; bekerja sama dengan orang lain. Orang tua yang mampu membentuk keluarga
sebagai sebuah tim yang sehat akan memberikan banyak pembelajaran tentang kerja
tim pada anak. Anak akan belajar mengemukakan pendapat dan belajar mendengarkan
pendapat. Belajar menghargai kebutuhan orang lain, juga belajar bahwa
kebutuhannya juga layak untuk dihargai. Belajar membuat dan menjalani
kesepakatan. Belajar menjaga komitmen tim. Belajar untuk bertanggung jawab
terhadap tugasnya. Belajar berbagi. Belajar bahwa tidak semua kehendaknya dapat
terpenuhi utuh. Dan belajar banyak yang lainnya.
Ya. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak.
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar