Pada usia tujuh belas tahun, saya sudah keluar dari rumah.
Merantau, kata orang, ke sebuah kota yang lebih besar dari kota tempat saya
tinggal sebelumnya, di mana taksatu pun ada kerabat dekat di sana, untuk
melanjutkan kuliah.
Keluar dari kota kelahiran, lalu tinggal di kota lain yang
hanya bisa di tempuh dengan satu jam tiga puluh menit dengan memakai pesawat
atau dua hari semalam dengan memakai kapal laut, berarti hanya akan sesekali
pulang. Berarti hanya akan sesekali bertemu dengan orang tua.
Saya masih ingat, ketika dinyatakan lulus, lalu mulai
berkemas menata separuh isi lemari ke dalam sejumlah tas (separuhnya lagi punya
adik saya), mama memperhatikan kegiatan saya dari pintu kamar. Saat saya
menoleh beberapa saat, mama menyunggingkan senyum. Saya lalu lanjut berkemas. Takberapa
lama, mama berlalu. Adik saya yang saat itu juga sedang ada di kamar berkata,
“Kak, mama tadi nangis.”
Saya tercenung dan jadi merasa serba salah. Seingat saya,
pilihan jurusan kuliah dan kotanya adalah hasil kesepakatan kami. Bahkan, mama
lah yang mengusulkan kotanya. Tadinya saya memilih jurusan itu di kota propinsi
tetangga, agar bisa sering pulang. Namun mama punya pertimbangan lain yang
akhirnya saya sepakati.
Saya memang tergolong orang yang cukup jarang berkumpul
dengan orang tua. Sewaktu smu, selain sekolah, waktu saya banyak terpakai oleh
kegiatan ini itu dan berkumpul dengan teman-teman, di hari libur sekali pun.
Sewaktu smp, adalah masa di mana saya mulai lebih menyukai kumpul-kumpul
bersama teman ketimbang hadir dalam acara keluarga. Terlebih, dua tahun di
akhir sd dan dua tahun di awal smp, saya tinggal dengan tante dan om. Waktu itu saya ingin sekolah di Jakarta, sebab
sebelumnya saya sempat liburan ke sana dan merasa betah. Saat itu pun saya
sudah jarang bertemu dengan orang tua.
Masa-masa anak membutuhkan kehadiran orang tua secara fisik,
barangkali hanya sepuluh hingga dua belas tahun diawal kehidupannya. Setelah
itu, mereka akan lebih senang berkumpul dengan teman sebaya, mulai
mengembangkan diri dengan banyak mengikuti kegiatan ini itu yang takjarang
menyita waktu. Ketika hendak melanjutkan studi saat kuliah, besar kemungkinan
mereka ingin menjelajahi kota atau tempat lain, ingin melihat keluasan dunia.
Terhadap anak nanti,
saya hanya tidak ingin ketika mereka masih membutuhkan kehadiran saya, saya
malah tidak ada di sampingnya. Lalu, ketika mereka mulai memiliki kebutuhan
untuk eksplorasi diri, ingin menjelajah daerah lain, saya malah
melarang-larangnya. Hal ini hanya akan memicu konflik antara saya sebagai orang
tua dan mereka.
Namun di sisi lain, sebagai manusia, saya juga memiliki
kebutuhan untuk aktualisasi diri. Saya rasa pilihan terbaik saat ini dan
beberapa tahun ke depan adalah beraktualisasi diri dari rumah, melakukan kegiatan
atau pekerjaan yang tidak mengharuskan saya berlama-lama berada di luar rumah. Agar
saya tetap dapat mendampingi tumbuh-kembang anak-anak saya. Saat ini, sarana
untuk memungkinkan beraktualisasi diri dari rumah juga telah banyak.
Bekerja yang menyita waktu seperti kemarin-kemarin tentu
tidak akan jadi pilihan untuk saat ini. Saya juga merasa beruntung, menikah dan
memiliki anak di saat saya sudah cukup puas berkegiatan terus-terusan di luar
rumah.
Oya, ini memang pikiran ideal saya. Memprioritaskan untuk
membimbing dan mendampingi tumbuh kembang anak saya sambil tetap dapat
beraktualisasi diri.
Salam,
benaar...aku sendiri meski dr kecil hingga kuliah tinggal bersama ortu, tapi jarang kuhabiskan waktu di rmh. bwtku rumah hanyalah utk numpang tidur ;-p
BalasHapus:))
BalasHapus