Selasa, 28 Mei 2013

Mantra Sakti



Belajarlah yang rajin untuk memperoleh nilai baik, raihlah gelar setinggi mungkin, agar mendapatkan pekerjaan bagus, di perusahaan besar, dengan gaji besar pula.

Pada beberapa generasi sebelumnya, hingga pada generasi di atas saya, sepertinya, kalimat di atas ini lah yang menjadi mantra sakti para orang tua dalam membentuk mindset anak-anaknya. Dan mantra itu sungguh mujarab. Jutaan anak lahir dan bersekolah dengan  dengan tujuan kelak bisa bekerja di perusahaan besar dan mendapat gaji besar. Sekolah bukan untuk mengejar ilmu. Tapi untuk mengejar pendapatan besar kelak. Pendapatan besar dapat membeli segalanya. Untuk menunjukkan bahwa kamu memiliki pendapatan besar, kamu membeli sejumlah atribut yang dapat “menceritakan” hal itu. Dengan atribut yang dapat bercerita itu, kamu mendapatkan respek yang tinggi di mata masyarakat yang juga penganut mantra itu.

Lalu, bagaimana bila kemalasan melanda? Gampang. Bukan belajar rajinnya yang penting, tapi bagaimana mendapatkan nilai baiknya, agar dapat diterima di perusahaan besar, agar bisa mendapatkan pendapatan yang besar. Ide-ide kreatif pun berkeliaran, bagaimana mendapat nilai baik tanpa perlu rajin belajar. Akhirnya terbiasa.

Ternyata ide-ide kreatif itu tidak hanya bisa digunakan untuk mendapatkan nilai bagus, tapi juga posisi bagus di perusahaan atau lembaga lain tempat kamu bekerja, dan hei, ternyata ide-ide kreatif itu juga bisa digunakan untuk mendapatkan pendapatan besar tanpa perlu  harus menguras keringat. Itu yang jadi tujuan, bukan? Yang penting adalah, bagaimana tujuan itu dapat tercapai, tidak penting jalannya. Dan semua berawal dari mantra yang sudah terlanjur larut dalam darah jutaan orang di Indonesia.

Saya pernah beberapa kali mendengar para kerabat mengatakan, “memang uang itu adalah segalanya ya.” Atau,”kita itu hidup memang untuk cari uang.” Lalu yang lain menimpali,”ya memang buat apa lagi kalau bukan cari uang.”

Bukan berarti saya mengerdilkan fungsi dan kebutuhan akan uang. Akan tetapi, jika landasan dari pergerakan hanya sebatas untuk mendapatkan uang, hal itu tentu akan mematikan gairah untuk benar-benar memperjuangkan idealisme dan mendalami ilmu. Idealisme diperjuangkan dan ilmu didalami hanya jika sudah pasti ada uangnya saja. Dan jika menemukan jalan pintas untuk mendapatkan uang tanpa perlu memperjuangkan idealisme dan mendalami ilmu itu, ya sudah, ngapain susah-susah.

Bukan berarti saya juga menyalahkan pendidikan anak dari para orang tua zaman dulu. Saya yakin mereka juga berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya. Namun, pengetahuan pada masa lalu belum seberkembang sekarang dan fasilitas untuk mengakses berbagai pengetahuan pun belum semudah saat ini. Bisa jadi, dulu, mantra tersebut adalah mantra yang dipandang terbaik untuk memotivasi anak dalam belajar dan bekerja. Namun yang namanya hasil, baru akan kita ketahui belakangan. Yang tidak wajar adalah, setelah pendidikan masa lalu itu diketahui hasilnya tidak cukup baik, masih saja ada orang tua yang meneruskannya.  

Saya menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan pola asuh maupun pendidikan anak. Sejak tahu saya hamil, saya mengulang baca beberapa buku psikologi pendidikan anak dan bergabung dalam beberapa komunitas maya yang berkaitan dengan itu.

Setidaknya, saat ini seuntai rasa syukur perlu dipanjatkan. Ternyata, saya mendapati, banyak orang tua yang telah menyadari bahwa ada warisan yang salah dari pendidikan anak zaman dulu. Mereka berusaha belajar untuk tidak lagi meneruskan cara-cara lama.

Telah banyak orang tua yang menyadari kekeliruan mantra warisan masa lalu itu. Kemudian, mencari mantra baru yang dirasa lebih baik untuk diturunkan. Demi kelangungan hidup anak yang dilahirkan. Demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Meski tertatih. Sebab tidak mudah untuk mengubah segala sesuatu yang sudah mendarah daging.

Ketika anak lahir, ia sudah membawa serta potensi dan gaya belajarnya. Orang tua tinggal membantu menemukan, lalu membimbing anak untuk terus mengasah potensinya, hingga ia dapat melakukan sendiri. Dengan begitu, kelak ia akan menjalani profesi yang merupakan panggilan jiwanya. Yang benar-benar dicintainya. Apa yang perlu ditanamkan pada anak sedari kecil adalah akhlak; budi pekerti, itu yang belum dibawa serta anak ketika ia lahir.

Seperti itu kira-kira bunyi mantra terbaru yang dipercaya saat ini. Banyak orang tua saat ini berusaha untuk tidak lagi menuntut anaknya meraih nilai tinggi di sekolahnya, namun justru mencarikan wadah penyaluran bagi potensi sang anak. Jika anak mendapatkan wadah yang tepat, dengan sendirinya ia akan termotivasi berprestasi dalam bidangnya. Menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Dan tentu saja, setiap orang yang mampu menjadi yang terbaik dalam bidangnya akan bernilai tinggi. 

Lalu, banyak orang tua saat ini juga sudah mulai menyadari bahwa budi pekerti adalah perihal yang harus ditanamkan, sejak dini, tidak tiba-tiba ada dalam diri seorang anak. Dan juga menyadari bahwa orang tua lah yang berperan penting dalam proses penanaman itu, bukan melalui hafalan-hafalan tentang budi pekerti tentunya, akan tetapi mencontohkan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, setiap saat. Jika  merasa tidak mampu, orang tua akan berusaha mencarikan sekolah maupun wadah lain yang dapat membantu mereka dalam hal itu. 

Tidak hanya itu. Saat ini, para ibu pun sudah mulai memperhatikan asupan sehat untuk anak-anaknya. Dimulai dari kesadaran memberikan ASI eksklusif−alih-alih susu formula−pada enam bulan pertama, terus memberikan ASI hingga dua tahun, juga memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang sehat. Harapannya, tentu, agar anak menjadi kuat dan sehat secara jasmani.  

Dengan  penanaman mantra baru itu, bayangan saya, kelak Indonesia akan memiliki sejumlah pendidik yang betul-betul berdedikasi untuk membimbing anak didiknya, bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban mengajar untuk mengejar pendapatan. Memiliki wakil rakyat yang mencintai dan sepenuh hati bekerja untuk masyarakat dan negerinya, bukan sekedar memenuhi pundi-pundi uangnya. Memiliki penjaga hutan yang benar-benar menjaga hutan, bukan malah menggerogoti hasil hutan. Sebab mereka akan bekerja sesuai kecintaan mereka terhadap profesi dan memiliki akar budi pekerti yang kuat. 

Melihat mulai adanya kesadaran para orang tua saat ini, saya masih optimis, kondisi Indonesia di tangan satu atau dua generasi mendatang, akan berangsur lebih baik. 

Semoga. 

Salam,


Nanda

2 komentar:

  1. jangan lupa bahwa esensi dari sekolah bukan cuma prestasi. tapi.. bisa dapat makna dan arti kehidupan.. Noce Post, Salam Kenal yaa ^^,

    BalasHapus
    Balasan
    1. yap, sepakat. seharusnya memang begitu :)
      salam kenal juga ^^

      Hapus