Belajarlah yang rajin
untuk memperoleh nilai baik, raihlah gelar setinggi mungkin, agar mendapatkan
pekerjaan bagus, di perusahaan besar, dengan gaji besar pula.
Pada beberapa generasi sebelumnya, hingga pada generasi di
atas saya, sepertinya, kalimat di atas ini lah yang menjadi mantra sakti para
orang tua dalam membentuk mindset
anak-anaknya. Dan mantra itu sungguh mujarab. Jutaan anak lahir dan bersekolah
dengan dengan tujuan kelak bisa bekerja
di perusahaan besar dan mendapat gaji besar. Sekolah bukan untuk mengejar ilmu.
Tapi untuk mengejar pendapatan besar kelak. Pendapatan besar dapat membeli
segalanya. Untuk menunjukkan bahwa kamu memiliki pendapatan besar, kamu membeli
sejumlah atribut yang dapat “menceritakan” hal itu. Dengan atribut yang dapat
bercerita itu, kamu mendapatkan respek yang tinggi di mata masyarakat
yang juga penganut mantra itu.
Lalu, bagaimana bila kemalasan melanda? Gampang. Bukan belajar
rajinnya yang penting, tapi bagaimana mendapatkan nilai baiknya, agar dapat diterima
di perusahaan besar, agar bisa mendapatkan pendapatan yang besar. Ide-ide
kreatif pun berkeliaran, bagaimana mendapat nilai baik tanpa perlu rajin
belajar. Akhirnya terbiasa.
Ternyata ide-ide kreatif itu tidak hanya bisa digunakan
untuk mendapatkan nilai bagus, tapi juga posisi bagus di perusahaan atau
lembaga lain tempat kamu bekerja, dan hei, ternyata ide-ide kreatif itu juga
bisa digunakan untuk mendapatkan pendapatan besar tanpa perlu harus menguras keringat. Itu yang jadi
tujuan, bukan? Yang penting adalah, bagaimana tujuan itu dapat tercapai, tidak
penting jalannya. Dan semua berawal dari mantra yang sudah terlanjur larut
dalam darah jutaan orang di Indonesia.
Saya pernah beberapa kali mendengar para kerabat mengatakan,
“memang uang itu adalah segalanya ya.” Atau,”kita itu hidup memang untuk cari
uang.” Lalu yang lain menimpali,”ya memang buat apa lagi kalau bukan cari
uang.”
Bukan berarti saya mengerdilkan fungsi dan kebutuhan akan
uang. Akan tetapi, jika landasan dari pergerakan hanya sebatas untuk
mendapatkan uang, hal itu tentu akan mematikan gairah untuk benar-benar memperjuangkan
idealisme dan mendalami ilmu. Idealisme diperjuangkan dan ilmu didalami hanya
jika sudah pasti ada uangnya saja. Dan jika menemukan jalan pintas untuk
mendapatkan uang tanpa perlu memperjuangkan idealisme dan mendalami ilmu itu,
ya sudah, ngapain susah-susah.
Bukan berarti saya juga menyalahkan pendidikan anak dari para
orang tua zaman dulu. Saya yakin mereka juga berusaha memberikan yang terbaik
untuk pendidikan anak-anaknya. Namun, pengetahuan pada masa lalu belum
seberkembang sekarang dan fasilitas untuk mengakses berbagai pengetahuan pun
belum semudah saat ini. Bisa jadi, dulu, mantra tersebut adalah mantra yang
dipandang terbaik untuk memotivasi anak dalam belajar dan bekerja. Namun yang
namanya hasil, baru akan kita ketahui belakangan. Yang tidak wajar adalah,
setelah pendidikan masa lalu itu diketahui hasilnya tidak cukup baik, masih saja
ada orang tua yang meneruskannya.
Saya menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan pola asuh
maupun pendidikan anak. Sejak tahu saya hamil, saya mengulang baca beberapa
buku psikologi pendidikan anak dan bergabung dalam beberapa komunitas maya yang
berkaitan dengan itu.
Setidaknya, saat ini seuntai rasa syukur perlu dipanjatkan. Ternyata,
saya mendapati, banyak orang tua yang telah menyadari bahwa ada warisan yang
salah dari pendidikan anak zaman dulu. Mereka berusaha belajar untuk tidak lagi
meneruskan cara-cara lama.
Telah banyak orang tua yang menyadari kekeliruan mantra warisan
masa lalu itu. Kemudian, mencari mantra baru yang dirasa lebih baik untuk
diturunkan. Demi kelangungan hidup anak yang dilahirkan. Demi kelangsungan
hidup generasi mendatang. Meski tertatih. Sebab tidak mudah untuk mengubah
segala sesuatu yang sudah mendarah daging.
Ketika anak lahir, ia
sudah membawa serta potensi dan gaya belajarnya. Orang tua tinggal membantu menemukan, lalu membimbing anak untuk terus
mengasah potensinya, hingga ia dapat melakukan sendiri. Dengan begitu, kelak ia
akan menjalani profesi yang merupakan panggilan jiwanya. Yang benar-benar dicintainya. Apa yang perlu ditanamkan pada anak sedari
kecil adalah akhlak; budi pekerti, itu yang belum dibawa serta anak ketika ia
lahir.
Seperti itu kira-kira bunyi mantra terbaru
yang dipercaya saat ini. Banyak orang tua saat ini berusaha untuk tidak lagi
menuntut anaknya meraih nilai tinggi di sekolahnya, namun justru mencarikan
wadah penyaluran bagi potensi sang anak. Jika anak mendapatkan wadah yang
tepat, dengan sendirinya ia akan termotivasi berprestasi dalam bidangnya.
Menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Dan tentu saja, setiap orang yang mampu
menjadi yang terbaik dalam bidangnya akan bernilai tinggi.
Lalu, banyak orang tua saat ini juga sudah mulai menyadari
bahwa budi pekerti adalah perihal yang harus ditanamkan, sejak dini, tidak
tiba-tiba ada dalam diri seorang anak. Dan juga menyadari bahwa orang tua lah
yang berperan penting dalam proses penanaman itu, bukan melalui hafalan-hafalan
tentang budi pekerti tentunya, akan tetapi mencontohkan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari, setiap saat. Jika merasa tidak mampu, orang tua akan berusaha mencarikan
sekolah maupun wadah lain yang dapat membantu mereka dalam hal itu.
Tidak hanya itu. Saat ini, para ibu pun sudah mulai memperhatikan
asupan sehat untuk anak-anaknya. Dimulai dari kesadaran memberikan ASI
eksklusif−alih-alih susu formula−pada enam bulan pertama, terus memberikan ASI hingga
dua tahun, juga memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang sehat.
Harapannya, tentu, agar anak menjadi kuat dan sehat secara jasmani.
Dengan penanaman
mantra baru itu, bayangan saya, kelak Indonesia akan memiliki sejumlah pendidik
yang betul-betul berdedikasi untuk membimbing anak didiknya, bukan hanya
sekedar memenuhi kewajiban mengajar untuk mengejar pendapatan. Memiliki wakil
rakyat yang mencintai dan sepenuh hati bekerja untuk masyarakat dan negerinya,
bukan sekedar memenuhi pundi-pundi uangnya. Memiliki penjaga hutan yang
benar-benar menjaga hutan, bukan malah menggerogoti hasil hutan. Sebab mereka
akan bekerja sesuai kecintaan mereka terhadap profesi dan memiliki akar budi
pekerti yang kuat.
Melihat mulai adanya kesadaran para orang tua saat ini, saya
masih optimis, kondisi Indonesia di tangan satu atau dua generasi mendatang,
akan berangsur lebih baik.
Semoga.
Salam,
jangan lupa bahwa esensi dari sekolah bukan cuma prestasi. tapi.. bisa dapat makna dan arti kehidupan.. Noce Post, Salam Kenal yaa ^^,
BalasHapusyap, sepakat. seharusnya memang begitu :)
Hapussalam kenal juga ^^