Sabtu, 25 Mei 2013

Jatuh Cinta (lagi)


Saya mulai membongkar-bongkar perlengkapan bayi yang telah dibeli. Memilah jenis yang akan dicuci terlebih dulu. Sebab terlalu banyak jika harus dicuci sekaligus. Lagipula, jemurannya tidak akan cukup. Pilihan saya jatuh pada setengah lusin kain bedong, sejumlah baju, celana pendek, dan celana kacamata. Kamu tahu celana kacamata? Celana bayi yang dua bolongan kakinya ada di bagian depan, nyaris bulat seperti kacamata. 

Untuk mencuci dan membilasnya, saya menggunakan deterjen dan pelembut pakaian khusus bayi. Saya juga mencuci beberapa box yang akan digunakan untuk tempat meletakkan sejumlah kain itu, tempat menyimpan kosmetik bayi, serta pernak pernik lainnya. Menggemaskan sekali melihat deretan tali jemuran itu penuh dengan celana dan pakaian ukuran sangat mini.

Saya mendapati pesan yang dikirim suami saya sekitar setengah jam lalu. Menanyakan saya sudah makan atau belum. Saat itu sudah hampir jam setengah tiga sore. Biasanya, saya yang menanyakan duluan, ia sudah makan atau belum. Saya membalas pesannya. Ini pesan pertama kami pada hari ini. Menjelang sore kami baru berkirim pesan. 

Sejak menjelang siang tadi, saya terlalu asyik mengurusi pernak-pernik si kecil. Sebelum merendamnya, saya mencermati satu persatu. Mencopot stiker-stiker yang sengaja ditempelkan untuk menandai ini itu, mencermati modelnya, gambar-gambarnya, warnanya, me-matching-kan antara warna plus corak baju dan celana. Saya menghabiskan banyak waktu untuk memandangi ketimbang mencucinya. Hingga kegiatan mencuci itu molor dan selesai menjelang sore. 

Saya baru tahu kalau kebanyakan baju bayi itu berwarna bahan dasar putih dengan pinggiran berwarna pink, biru, kuning, atau hijau. Atau jika berwarna, ya warnanya tidak bergeser dari ke empat warna tadi. Jikapun ada warna lain, itu terdapat pada gambar-gambarnya. Saya juga baru ngeh kalau kebanyakan perlengkapan bayi itu bergambar hewan. Kemarin, mama mertua saya menanyakan pada penjualnya, kenapa gambarnya hewan semua. Mama mencari yang bergambar gitar, sesuai pesanan suami saya, dan tidak ada.

Mama mertua pernah cerita, waktu suami saya lahir, pikiran mama selalu tertuju pada anak pertamanya itu. Hal yang lain kerap terabaikan. Mengerjakan apa pun di kantor jadi tidak fokus. Karena mama dan papa bekerja, mama kerap menitipkan anak pertamanya di rumah ibunya yang berbeda kota. Mama rela harus bolak-balik dua kali seminggu untuk menjenguk anaknya. 

Mama kerap mengatakan, hubungan ibu dan anak itu, bagaimana pun, begitu dekat dan takkan terputus, sebab sebelum lahir, selalu bersama setiap saat selama sembilan bulan. Bagaimana pun sikap dan perilaku sang anak terhadapnya, seorang ibu takkan pernah sanggup menghentikan rasa sayangnya. Apa pun akan dilakukan tanpa hitung-hitungan. Berbeda dengan sebaliknya, seorang anak masih mungkin untuk hitung-hitungan dengan orang tuanya. 

Saya lalu teringat dengan mama saya. Sedari kami kecil, mama sendiri yang mengurusi kami bertiga, selain harus bekerja, memasak, dan mengurus rumah. Meski kadang, kami juga kerap dititipkan ke kerabat lain jika mama punya keperluan yang memakan waktu cukup lama. Sampai saat ini saya tidak habis pikir dari mana datangnya kekuatan itu. Mengurus tiga anak kecil yang mesih sering rewel ketimbang membantunya, sementara juga harus bekerja dan mengurusi hal lain, tentu tidak mudah. 

Dua bulan menjelang menikah dulu, saya berkesempatan membantu mengurus keponakan saya yang berusia sembilan belas bulan. Setiap hari saya menemaninya bermain. Hingga akhirnya ia sangat dekat dengan saya. Sesekali juga ngemong adiknya yang berusia enam bulan. Sampai sekarang, rasa kangen saya pada mereka tidak habis-habis. Saya jadi berpikir, terhadap keponakan saja, rasa kangen saya tidak pernah luntur, apalagi anak sendiri.

Saat ini, saya mulai merasakannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mengurusi pernak-perniknya, memandangi lama-lama perut saya yang bergerak-gerak, dan benar-benar mengatur asupan makanan saya agar ia selalu sehat. Begitulah. Meski belum melihat rupanya, saya sudah jatuh cinta dan selalu merindukan kehadirannya. 

Salam,


Nanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar