gambar diambil dari sini
Jack McCall,
seorang literary agent, masuk ke
sebuah kedai kopi, menatap antrian, lalu meminta kemurahan hati pengantri
terdepan untuk mendahulukan dirinya. Permintaannya ditolak. Ia lalu berjalan
menuju antrian paling belakang. Namun pria berkulit hitam itu takkehilangan
akal. Sebab waktu sangat penting baginya. Mengantri berarti membuang-buang
waktu. Ia berlagak seolah sedang menerima telepon dengan mengeraskan suara. Pura-pura
kaget mengetahui istrinya tengah di ruang persalinan. Taktanggung-tanggung
bualannya, sang istri melahirkan bayi kembar. Semua pengantri akhirnya
merelakan Jack untuk memotong antrian. Sementara saat itu, sang istri tengah
bersama putra mereka yang berusia beberapa bulan.
Sambil tetap
memegang cangkir kopi, Jack berbicara terus menerus di hadapan psikiaternya,
dengan tempo yang cepat seraya menggerak-gerakkan tangan ke atas ke bawah ke
samping kanan dan kiri. Belum sempat sang psikiater merespon perkataannya, sebab
takdapat memotong ucapannya, Jack sudah minta izin pamit.
Setibanya di depan
kantor, Jack diberondong dengan pertanyaan dan permohonan oleh seorang petugas
parkir, apakah Jack sudah membaca naskah yang ditulisnya, apakah ia bisa
membaca setidaknya dua puluh lembar saja. Belum sempat menjawab, ponsel Jack
berbunyi. Ia berjalan cepat menuju kantor sambil menerima telepon dan
memerintahkan seseorang di sana untuk berbicara dalam dua kalimat, menjawab pertanyaan
dan berkata pada petugas parkir itu, lalu melanjutkan pembicaraan lewat ponsel.
Di dalam ruang
pribadi di kantornya, Jack memerintahkan asistennya yang sedang menghadap untuk
berbicara dari pikiran tapi lakukan dengan cepat. Ketika asistennya itu
menawarinya untuk membaca buku, Jack mengatakan, Semua buku terbaik memiliki semua yang ingin kauketahui di lima halaman
depan dan lima halaman terakhir. Jadi, baca saja bagian-bagian itu dan kamu
akan mengetahui keseluruhan isi buku tersebut.
***
Jack berkesempatan
bekerja sama dengan Sinja, seorang tokoh spiritualis, penyembuh, dan memiliki
puluhan juta pengikut. Dengan rasa
percaya dirinya yang tinggi, dan sedikit upaya membuat keributan kecil saat
ritual meditasi berlangsung, keberadaan Jack berhasil menarik perhatian Sinja. Kepentingan
Jack? Menjadi agen untuk memasarkan buku Sinja. Ia tahu buku itu akan menjadi best seller bersebab banyaknya jumlah
pengikut tokoh tersebut. Jack sedikit membual untuk membuat Sinja tertarik
bekerja sama. Di bawah sebatang pohon yang sempat melukai jari Jack ketika ia
meraba pohon itu hingga sedikit darah dari jarinya menempel pada batang pohon,
jabat tangan pun berlangsung, tanda kerja sama.
Sebagai ungkapan
kegembiraan atas terjalinnya kerja sama itu, sekembalinya dari tempat Sinja, Jack
mengunjungi ibunya yang sedang mengadakan pesta kecil perayaan ulang tahun. Setiap
bertemu sang ibu, sebuah peristiwa selalu terjadi berulang. Sang ibu selalu
menganggap Jack adalah Raymond, suaminya yang sempat pergi meninggalkannya dan
telah wafat. Dan seperti biasa, Jack selalu menyangkal dan taksuka ia dianggap
sebagai ayahnya.
Malam hari, sesampainya
di rumah. Caroline, istri Jack, membuka percakapan. Menawarkan untuk pindah ke
rumah yang lebih aman dan lingkungan yang lebih ramah bagi anak mereka. Jack
menolak. Sebab baginya rumah mewah dan modern yang ditempati saat ini sudah
sangat sempurna. Caroline sepakat bahwa rumah yang sekarang memang sempurna,
namun tidak aman untuk anak kecil. Rumah yang dominan berdinding kaca itu
berkolam renang tanpa pembatas dan berada di tepi tebing dengan ketinggian dua
ribu kaki. Tiap hari, ia mengganti popok anaknya di bar. Menidurkan anaknya di ruang
media. Jack tetap menolak dengan alasan pindah rumah adalah sebuah perubahan
besar. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Jack mengatakan, baiklah, mari kita lakukan… kita akan mengecat ulang ruang media dan
menambahkan beberapa tokoh kartun anak-anak…”
Setelah pembicaraan
berakhir, rumah mereka bergetar. Sebatang pohon tiba-tiba muncul dari tanah dan
menjulang di tepian kolam renang. Pohon berdaun rimbun yang melukai jarinya siang
tadi, sewaktu di tempat Sinja. Saat Jack mengucap dua kata, luruhlah dua helai
daun dari pohon itu.
***
Pagi hari, di
kantor. Seperti biasa, Jack selalu meminta asistennya berbicara cepat saat
menghadap. Sang asisten bilang, contoh buku Sinja sudah diterima. Jack yang
tadinya bergembira dengan informasi tersebut, langsung terdiam dan kesal ketika
melihat buku Sinja. Sebuah buku saku yang berisi lima halaman. Selesai. Seperti buku yang dikhususkan untukmu,
celetuk asistennya.
Jack lantas menemui
tokoh spiritual itu dan mengungkapkan kekesalannya. Pertama mengenai buku yang
taksesuai harapan, kedua mengenai pohon yang tiba-tiba muncul di rumahnya.
Mengenai buku, Sinja dengan tenang menanggapi kekesalan Jack. Mengenai pohon, Sinja
heran sebab merasa tidak pernah “mengirimkan” apa pun. Jack lantas mengajak Sinja
berkunjung ke rumahnya.
Ternyata
pohon ini kemari,
ucap Sinja tenang, saat melihatnya. Sebuah cabang takberdaun dari pohon itu
menarik perhatiannya. Sinja memperhatikan, ketika Jack berbicara, beberapa
helai daun luruh. Sinja lalu meminta Jack mengatakan sesuatu, untuk memastikan.
Beberapa kali Jack berbicara, daun itu kembali luruh. Ia pun menyimpulkan, Jack
dan pohon itu terhubung. Makin banyak
kauberbicara, makin banyak daun yang gugur. Kausemakin sakit. Kira-kira apa
yang terjadi bila semua daun itu gugur? Pohon itu akan mati. Itu berarti,
Jack juga akan mati.
Satu kata untuk
sehelai daun yang luruh. Jack panik. Berusaha menebang pohon itu dengan kapak.
Yang terjadi justru, ia terpental dan pada pinggangnya yang sakit, tiba-tiba
terdapat segaris bekas luka sayat. Jack bertambah panik. Sinja, yang akan
berangkat ke sebuah tempat spiritual di Bolivia dan akan menghabiskan waktunya
selama tiga hari di sana, berjanji akan
mencari informasi dari teman-teman spiritualnya untuk menyelesaikan masalah
Jack. Dan dalam waktu tiga hari itu, Sinja memberi saran agar Jack tidak menghamburkan
kata-kata, alias bungkam, jika ia tidak ingin mati cepat.
Takingin
mempertaruhkan nyawanya, Jack pun menuruti saran Sinja. Akan tetapi, sungguh
tidak mudah baginya −seseorang yang selalu berpikir, berbicara, dan bergerak
cepat− untuk membungkam mulut. Meski mulutnya takbersuara, tetapi pikirannya
selalu bergerak ke sana kemari sehingga dengan mulutnya yang bungkam namun pikiran
yang tetap bergerak, emosinya jadi sering tersulut. Alhasil, semakin Jack
berusaha bungkam justru semakin banyak sumpah serapah yang keluar dari
mulutnya, mengakibatkan daun-daun itu tetap luruh. Menyisakan cabang dan rating
kering tanpa daun.
Dalam waktu tiga
hari masa diam Jack, karirnya hancur; ia dipecat. Keluarganya berantakan;
istrinya pergi dari rumah. Daun-daun itu tetap berangsur luruh; ia makin
sekarat. Dalam kemarahan dan kepanikannya, terbersitlah ide untuk berbuat
kebaikan. Jack mulai membagi-bagikan roti untuk para tunawisma, bersedekah, dan
menolong orang lain. Namun tidak ada pengaruhnya. Daun-daun itu tetap luruh
tiap kali ia berbicara.
Jack makin nelangsa
ketika mengetahui Sinja tidak berhasil mendapatkan solusi atas masalahnya. Spiritualist
itu hanya memberikan beberapa wejangan. Kau
harus mencari kebenaran tentang dirimu. Kau harus tenang, bukan hanya mulutmu,
tapi juga pikiranmu. Dan dalam ketenangan itu, kau akan mendengar kebenarannya.
Sinja lalu menuntun
Jack menemukan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam dirinya dengan mengajukan
beberapa pertanyaan.
…
Perhatikan
omonganmu Jack. Kau mengatakan padanya seperti jutaan daun yang jatuh dari
pohon sekarat. Kata-kata. Coba perlihatkan padanya bahwa kau mencintainya. Buat
kedamaian. Perlihatkan pada mereka bahwa kau mencintai mereka dan bisa
dipercaya, lanjut
Sinja.
Kau
juga perlu terima kemungkinan bahwa saat semua daun jatuh dari pohon itu…, Jack menyetop ucapan Sinja dengan
mengangkat kelima jari kirinya.
Jack pulang dalam
keadaan mabuk. Ia menghampiri sang pohon dan mengeluarkan sumpah serapah. Lalu
meracau. Asisten kantornya yang kebetulan juga berada di sana dan telah mengetahui
masalah Jack, mati-matian menyuruhnya berhenti berbicara. Mulai dari memarahi
lalu mendorong Jack hingga pingsan.
Pagi hari ketika
Jack sadarkan diri, hanya belasan daun yang tersisa pada pohon itu. Seperti
tubuhnya yang juga makin sekarat. Di tengah kesedihan yang melanda, akhirnya ia
menyempatkan diri untuk membaca buku lima halaman yang ditulis Sinja.
Jack memutuskan
untuk tidak lagi bungkam. Ia memilih untuk mendengarkan dan berkata-kata yang
memang perlu saja untuk diucapkan, pada beberapa orang yang membutuhkan
perhatiannya. Pada beberapa orang yang kerap berinteraksi dengannya namun kerap
pula diabaikannya bersebab ia terlalu fokus pada dirinya sendiri. Kata-kata
yang memang ingin didengar oleh mereka dari mulut Jack.
Pertama kali yang
ditemuinya adalah istri dan anaknya. Kepada mereka, Jack hanya mengatakan empat
kata. Orang kedua yang didatanginya adalah pelayan di kedai kopi yang setiap
pagi bertemu dengannya. Jack memberikan hadiah, sebuah benda yang diimpikannya,
mendengarkannya berbicara, lalu mengucapkan tiga kata. Orang ketiga adalah petugas
parkir yang juga setiap pagi bertemu dengannya, yang selalu bertanya apakah
Jack sudah membaca naskahnya. Kepada petugas parkir itu, Jack mengucapkan dua
kata yang selalu dinantikan. Orang keempat yang dikunjunginya adalah ibunya.
Jack membiarkan sang ibu menyangka dirinya adalah ayahnya. Mendengarkan sepenuh
hati ibunya berbicara. Kepada sang ibu, Jack mengucapkan enam kata.
Terakhir, ia
mengunjungi makam ayahnya. Hubungannya dengan sang ayah adalah akar dari semua
permasalahannya saat ini. Ayahnya telah lama meninggalkan rumah. Itu membuat
Jack marah sekaligus merasa bersalah. Jack selalu mengira, ia lah penyebab
ayahnya pergi. Tanpa sadar, Jack pun “pergi” meninggalkan orang-orang yang
menyayangi dan disayanginya, meski bukan dalam arti fisik. Di depan makam
ayahnya, Jack mengucapkan tiga kata, yang sekaligus meluruhkan tiga helai daun
terakhir.
Apakah Jack
akhirnya meninggal?
Judul Film : A
Thousand Words • Kategori: drama, komedi • Pemeran: Eddie Murphy
(Jack McCall, seorang literary agent),
Cliff Curtis
(Sinja, tokoh spiritual), Kerry
Washington) (Caroline, istri Jack), Clark Duke
(Aaron, asisten Jack) • Sutradara: Brian Robbins
• Penulis: Steve Koren • Produser: Alain Chabat,
Stephanie Danan, Nicolas Cage, Norman Golightly, Brian Robbins, Sharla
Sumpter Bridgett • Musik: John Debney
• Distribusi: Paramount Pictures • Rilis: 09 Maret 2012 •
Durasi: 90 menit