Rabu, 19 Juni 2013

A Thousand Words

gambar diambil dari sini

Jack McCall, seorang literary agent, masuk ke sebuah kedai kopi, menatap antrian, lalu meminta kemurahan hati pengantri terdepan untuk mendahulukan dirinya. Permintaannya ditolak. Ia lalu berjalan menuju antrian paling belakang. Namun pria berkulit hitam itu takkehilangan akal. Sebab waktu sangat penting baginya. Mengantri berarti membuang-buang waktu. Ia berlagak seolah sedang menerima telepon dengan mengeraskan suara. Pura-pura kaget mengetahui istrinya tengah di ruang persalinan. Taktanggung-tanggung bualannya, sang istri melahirkan bayi kembar. Semua pengantri akhirnya merelakan Jack untuk memotong antrian. Sementara saat itu, sang istri tengah bersama putra mereka yang berusia beberapa bulan.

Sambil tetap memegang cangkir kopi, Jack berbicara terus menerus di hadapan psikiaternya, dengan tempo yang cepat seraya menggerak-gerakkan tangan ke atas ke bawah ke samping kanan dan kiri. Belum sempat sang psikiater merespon perkataannya, sebab takdapat memotong ucapannya, Jack sudah minta izin pamit.

Setibanya di depan kantor, Jack diberondong dengan pertanyaan dan permohonan oleh seorang petugas parkir, apakah Jack sudah membaca naskah yang ditulisnya, apakah ia bisa membaca setidaknya dua puluh lembar saja. Belum sempat menjawab, ponsel Jack berbunyi. Ia berjalan cepat menuju kantor sambil menerima telepon dan memerintahkan seseorang di sana untuk berbicara dalam dua kalimat, menjawab pertanyaan dan berkata pada petugas parkir itu, lalu melanjutkan pembicaraan lewat ponsel.

Di dalam ruang pribadi di kantornya, Jack memerintahkan asistennya yang sedang menghadap untuk berbicara dari pikiran tapi lakukan dengan cepat. Ketika asistennya itu menawarinya untuk membaca buku, Jack mengatakan, Semua buku terbaik memiliki semua yang ingin kauketahui di lima halaman depan dan lima halaman terakhir. Jadi, baca saja bagian-bagian itu dan kamu akan mengetahui keseluruhan isi buku tersebut.

***

Jack berkesempatan bekerja sama dengan Sinja, seorang tokoh spiritualis, penyembuh, dan memiliki puluhan juta pengikut.  Dengan rasa percaya dirinya yang tinggi, dan sedikit upaya membuat keributan kecil saat ritual meditasi berlangsung, keberadaan Jack berhasil menarik perhatian Sinja. Kepentingan Jack? Menjadi agen untuk memasarkan buku Sinja. Ia tahu buku itu akan menjadi best seller bersebab banyaknya jumlah pengikut tokoh tersebut. Jack sedikit membual untuk membuat Sinja tertarik bekerja sama. Di bawah sebatang pohon yang sempat melukai jari Jack ketika ia meraba pohon itu hingga sedikit darah dari jarinya menempel pada batang pohon, jabat tangan pun berlangsung, tanda kerja sama.

Sebagai ungkapan kegembiraan atas terjalinnya kerja sama itu, sekembalinya dari tempat Sinja, Jack mengunjungi ibunya yang sedang mengadakan pesta kecil perayaan ulang tahun. Setiap bertemu sang ibu, sebuah peristiwa selalu terjadi berulang. Sang ibu selalu menganggap Jack adalah Raymond, suaminya yang sempat pergi meninggalkannya dan telah wafat. Dan seperti biasa, Jack selalu menyangkal dan taksuka ia dianggap sebagai ayahnya.

Malam hari, sesampainya di rumah. Caroline, istri Jack, membuka percakapan. Menawarkan untuk pindah ke rumah yang lebih aman dan lingkungan yang lebih ramah bagi anak mereka. Jack menolak. Sebab baginya rumah mewah dan modern yang ditempati saat ini sudah sangat sempurna. Caroline sepakat bahwa rumah yang sekarang memang sempurna, namun tidak aman untuk anak kecil. Rumah yang dominan berdinding kaca itu berkolam renang tanpa pembatas dan berada di tepi tebing dengan ketinggian dua ribu kaki. Tiap hari, ia mengganti popok anaknya di bar. Menidurkan anaknya di ruang media. Jack tetap menolak dengan alasan pindah rumah adalah sebuah perubahan besar. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Jack mengatakan, baiklah, mari kita lakukankita akan mengecat ulang ruang media dan menambahkan beberapa tokoh kartun anak-anak…”

Setelah pembicaraan berakhir, rumah mereka bergetar. Sebatang pohon tiba-tiba muncul dari tanah dan menjulang di tepian kolam renang. Pohon berdaun rimbun yang melukai jarinya siang tadi, sewaktu di tempat Sinja. Saat Jack mengucap dua kata, luruhlah dua helai daun dari pohon itu.

***

Pagi hari, di kantor. Seperti biasa, Jack selalu meminta asistennya berbicara cepat saat menghadap. Sang asisten bilang, contoh buku Sinja sudah diterima. Jack yang tadinya bergembira dengan informasi tersebut, langsung terdiam dan kesal ketika melihat buku Sinja. Sebuah buku saku yang berisi lima halaman. Selesai. Seperti buku yang dikhususkan untukmu, celetuk asistennya.

Jack lantas menemui tokoh spiritual itu dan mengungkapkan kekesalannya. Pertama mengenai buku yang taksesuai harapan, kedua mengenai pohon yang tiba-tiba muncul di rumahnya. Mengenai buku, Sinja dengan tenang menanggapi kekesalan Jack. Mengenai pohon, Sinja heran sebab merasa tidak pernah “mengirimkan” apa pun. Jack lantas mengajak Sinja berkunjung ke rumahnya.

Ternyata pohon ini kemari, ucap Sinja tenang, saat melihatnya. Sebuah cabang takberdaun dari pohon itu menarik perhatiannya. Sinja memperhatikan, ketika Jack berbicara, beberapa helai daun luruh. Sinja lalu meminta Jack mengatakan sesuatu, untuk memastikan. Beberapa kali Jack berbicara, daun itu kembali luruh. Ia pun menyimpulkan, Jack dan pohon itu terhubung. Makin banyak kauberbicara, makin banyak daun yang gugur. Kausemakin sakit. Kira-kira apa yang terjadi bila semua daun itu gugur? Pohon itu akan mati. Itu berarti, Jack juga akan mati.

Satu kata untuk sehelai daun yang luruh. Jack panik. Berusaha menebang pohon itu dengan kapak. Yang terjadi justru, ia terpental dan pada pinggangnya yang sakit, tiba-tiba terdapat segaris bekas luka sayat. Jack bertambah panik. Sinja, yang akan berangkat ke sebuah tempat spiritual di Bolivia dan akan menghabiskan waktunya selama  tiga hari di sana, berjanji akan mencari informasi dari teman-teman spiritualnya untuk menyelesaikan masalah Jack. Dan dalam waktu tiga hari itu, Sinja memberi saran agar Jack tidak menghamburkan kata-kata, alias bungkam, jika ia tidak ingin mati cepat.

Takingin mempertaruhkan nyawanya, Jack pun menuruti saran Sinja. Akan tetapi, sungguh tidak mudah baginya −seseorang yang selalu berpikir, berbicara, dan bergerak cepat− untuk membungkam mulut. Meski mulutnya takbersuara, tetapi pikirannya selalu bergerak ke sana kemari sehingga dengan mulutnya yang bungkam namun pikiran yang tetap bergerak, emosinya jadi sering tersulut. Alhasil, semakin Jack berusaha bungkam justru semakin banyak sumpah serapah yang keluar dari mulutnya, mengakibatkan daun-daun itu tetap luruh. Menyisakan cabang dan rating kering tanpa daun.

Dalam waktu tiga hari masa diam Jack, karirnya hancur; ia dipecat. Keluarganya berantakan; istrinya pergi dari rumah. Daun-daun itu tetap berangsur luruh; ia makin sekarat. Dalam kemarahan dan kepanikannya, terbersitlah ide untuk berbuat kebaikan. Jack mulai membagi-bagikan roti untuk para tunawisma, bersedekah, dan menolong orang lain. Namun tidak ada pengaruhnya. Daun-daun itu tetap luruh tiap kali ia berbicara.

Jack makin nelangsa ketika mengetahui Sinja tidak berhasil mendapatkan solusi atas masalahnya. Spiritualist itu hanya memberikan beberapa wejangan. Kau harus mencari kebenaran tentang dirimu. Kau harus tenang, bukan hanya mulutmu, tapi juga pikiranmu. Dan dalam ketenangan itu, kau akan mendengar kebenarannya.

Sinja lalu menuntun Jack menemukan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam dirinya dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Perhatikan omonganmu Jack. Kau mengatakan padanya seperti jutaan daun yang jatuh dari pohon sekarat. Kata-kata. Coba perlihatkan padanya bahwa kau mencintainya. Buat kedamaian. Perlihatkan pada mereka bahwa kau mencintai mereka dan bisa dipercaya, lanjut Sinja.

Kau juga perlu terima kemungkinan bahwa saat semua daun jatuh dari pohon itu…, Jack menyetop ucapan Sinja dengan mengangkat kelima jari kirinya.

Jack pulang dalam keadaan mabuk. Ia menghampiri sang pohon dan mengeluarkan sumpah serapah. Lalu meracau. Asisten kantornya yang kebetulan juga berada di sana dan telah mengetahui masalah Jack, mati-matian menyuruhnya berhenti berbicara. Mulai dari memarahi lalu mendorong Jack hingga pingsan.

Pagi hari ketika Jack sadarkan diri, hanya belasan daun yang tersisa pada pohon itu. Seperti tubuhnya yang juga makin sekarat. Di tengah kesedihan yang melanda, akhirnya ia menyempatkan diri untuk membaca buku lima halaman yang ditulis Sinja.  

Jack memutuskan untuk tidak lagi bungkam. Ia memilih untuk mendengarkan dan berkata-kata yang memang perlu saja untuk diucapkan, pada beberapa orang yang membutuhkan perhatiannya. Pada beberapa orang yang kerap berinteraksi dengannya namun kerap pula diabaikannya bersebab ia terlalu fokus pada dirinya sendiri. Kata-kata yang memang ingin didengar oleh mereka dari mulut Jack.

Pertama kali yang ditemuinya adalah istri dan anaknya. Kepada mereka, Jack hanya mengatakan empat kata. Orang kedua yang didatanginya adalah pelayan di kedai kopi yang setiap pagi bertemu dengannya. Jack memberikan hadiah, sebuah benda yang diimpikannya, mendengarkannya berbicara, lalu mengucapkan tiga kata. Orang ketiga adalah petugas parkir yang juga setiap pagi bertemu dengannya, yang selalu bertanya apakah Jack sudah membaca naskahnya. Kepada petugas parkir itu, Jack mengucapkan dua kata yang selalu dinantikan. Orang keempat yang dikunjunginya adalah ibunya. Jack membiarkan sang ibu menyangka dirinya adalah ayahnya. Mendengarkan sepenuh hati ibunya berbicara. Kepada sang ibu, Jack mengucapkan enam kata.

Terakhir, ia mengunjungi makam ayahnya. Hubungannya dengan sang ayah adalah akar dari semua permasalahannya saat ini. Ayahnya telah lama meninggalkan rumah. Itu membuat Jack marah sekaligus merasa bersalah. Jack selalu mengira, ia lah penyebab ayahnya pergi. Tanpa sadar, Jack pun “pergi” meninggalkan orang-orang yang menyayangi dan disayanginya, meski bukan dalam arti fisik. Di depan makam ayahnya, Jack mengucapkan tiga kata, yang sekaligus meluruhkan tiga helai daun terakhir.

Apakah Jack akhirnya meninggal?


Judul Film : A Thousand Words • Kategori: drama, komedi • Pemeran: Eddie Murphy (Jack McCall, seorang literary agent), Cliff Curtis (Sinja, tokoh spiritual), Kerry Washington) (Caroline, istri Jack), Clark Duke (Aaron, asisten Jack) • Sutradara:  Brian Robbins • Penulis: Steve Koren • Produser: Alain Chabat, Stephanie Danan, Nicolas Cage, Norman Golightly, Brian Robbins, Sharla Sumpter Bridgett  • Musik: John Debney • Distribusi: Paramount Pictures • Rilis: 09 Maret 2012 • Durasi: 90 menit




Tidak ada komentar:

Posting Komentar