Jendela
Sepasang jendela di
sebuah kamar. Satu dan yang lainnya tegak bersisian. Lebar kedua jendela itu,
jika digabung, selebar rentangan kedua tangan. Panjangnya, bukan seperti
jendela yang menghabiskan dinding hingga nyaris menyentuh lantai. Seperti
layaknya kebanyakan jendela saja. Setengah dinding lebih sedikit. Kacanya yang
nyaris hitam adalah persegi panjang vertikal berkolom dua dan berbaris tiga.
Begitu pun dengan jendela yang satunya. Serupa anak kembar.
Di luar, ada
dinding bercat putih setinggi rumah, berjarak sekitar satu meter dari jendela.
Pada ruang antara jendela dan dinding, empat pot besar berisi tanaman berdaun hijau
pekat, panjang, dan lebar, dijajarkan. Dua pot besar yang posisinya ditengah
diletakkan lebih tinggi, menggunakan semacam penyangga, hingga daunnya yang jadi
setinggi setengah jendela terlihat dari kamar. Dua pot lainnya diletakkan di
sisi sebelah kiri dan kanan, di atas lantai. Daunnya pun menyembul hampir
setengah jendela, sebab lebih tinggi, panjang, dan besar. Selain empat pot
besar itu, terdapat tiga pot kecil disekitarnya bila melongokkan kepala keluar
jendela. Namun daun-daunnya tidak terlihat dari kamar.
Ruang di antara
jendela dan dinding dibuat tanpa atap. Hanya besi-besi yang saling berkait membentuk
bujur sangkar kecil-kecil. Membikin hujan dan angin leluasa menyelusup.
Menyejukkan hawa kamar bila jendela dibuka. Bila angin datang, dedaunan akan
bergoyang seperti mengangguk-angguk. Bila hujan yang datang, air yang jatuh
pada permukaan dedaunan akan memantul ke kaca jendela, menyisakan serupa embun
rintik, nyaris hampir menutupi setengah di bagian bawahnya. Ada sedikit atap
fiber di atas jendela yang fungsinya melindungi agar tidak kuyup bila hujan
bertamu.
Kusen dan teralis jendela
berwarna putih tulang. Teralis berbesi pipih. Berkait-kait menyerupai
macam-macam bangun dua dimensi. Pada tepi kiri dan kanan, besi teralis
membentuk susunan segi empat dan persegi panjang vertikal. Pada bagian tengah,
membentuk susunan segitiga, jajaran genjang, belah ketupat, dan trapesium yang
berulang-ulang. Pun dengan jendela di sebelahnya.
gambar diambil dari sini
Ia
Sebuah tempat tidur
menelentang dibalik jendela. Tempat tidur dengan lebar 120 cm. Di sinilah ia
menghabiskan sebagian harinya. Ditemani sebuah laptop yang diletakkan di atas
tumpukan bantal. Ia suka mengetik di atas kasur yang bersisian dengan kedua
jendela. Tidak di kursi dan meja yang juga terdapat di dalam kamar itu.
Kursinya membelakangi jendela dan menghadap dinding mati. Kerap membuatnya mengantuk
dan kehabisan ide.
Sejak mulai subuh
hingga lepas magrib, ia akan membiarkan jendela itu terbuka setengahnya. Tidak
dibuka sepenuhnya sebab akan membengkokkan beberapa helai daun yang nyaris
menyentuh kaca jendela. Namun angin tetap leluasa masuk ke dalam kamar. Angin
yang membuatnya merasa sedang duduk dan menulis di sebuah taman hijau lepas. Sambil
menyelonjorkan sebelah kaki bergantian atau bersila di atas rumput.
Pagi ini, cuaca
redup. Angin berbondong-bondong masuk dari atas melalui celah-celah persegi.
Menggoyangkan daun-daun. Mereka bergesekan satu sama lain. Menimbulkan gerisik.
Gerimis takmau kalah mengikuti angin. Mengetuk-ngetuk atap fiber dan dedaunan.
Permukaan daun basah. Juga dinding di dekatnya. Namun rintik air yang menyentuh
permukaan dedaunan, tidak memercik ke kaca jendela. Mungkin bersebab hujan
tidak deras.
Ia masih terus
menulis. Sesekali menatap daun-daun yang tengah menari bersama angin. Sesekali
sambil mendengarkan ketukan gerimis. Sesekali mengubah posisi kaki. Sesekali
juga berbaring sebentar meluruskan punggung. Ia menulis sejak selepas subuh
tadi. Hampir setiap hari pada waktu yang sama. Sebab di kala subuh, pikirannya
serupa sumber mataair yang mengalir. Hingga pada waktu tertentu. Setelahnya ia
akan jeda agak lama. Melakukan hal lain. Lalu selepas makan siang, kembali
lagi. Meski pikirannya tidak sejernih di subuh hari.
Namun ia suka siang
seperti saat ini. Cuaca masih redup. Bila siang, biasanya cahaya matahari juga
ikut-ikutan memancar dari atas. Menggaris-garis dinding. Namun tidak sampai
masuk kamar. Siang kali ini, tidak ada cahaya
yang memancar. Meski gerimis juga telah pergi. Hanya angin yang sesekali
masih menggoyangkan daun-daun. Dan ada nyanyian burung. Barangkali berasal dari
rumah tetangga. Beberapa tetangga terdekat gemar memelihara burung. Hawa siang
ini masih menyerupai pagi. Itu membantunya untuk bertahan di depan laptop. Dari
sudut mata, dedaunan masih menari. Kadang pelan, kadang cepat. Tergantung mood angin.
Waktu
Sejak beberapa waktu ke belakang, ia memiliki waktu yang melimpah untuk menulis. Sesuatu yang didambanya semenjak dulu. Ketika menulis hanya dilakukan pada sisa waktu. Dengan energi sisa pula. Ketika kuliah dan pekerjaan ngotot untuk ditempatkan pada prioritas utama. Dulu, ia sempat berkhayal untuk jadi pengangguran saja. Agar bisa membaca dan menulis sepanjang hari. Benar-benar menulis hal yang diinginkan. Tanpa intervensi. Tanpa desakan dari luar. Tanpa dikejar-kejar deadline. Menulis untuk menghayati kehidupan. Ia muak melakukan hal yang disukai dengan diburu-buru.
Sejak beberapa waktu ke belakang, ia memiliki waktu yang melimpah untuk menulis. Sesuatu yang didambanya semenjak dulu. Ketika menulis hanya dilakukan pada sisa waktu. Dengan energi sisa pula. Ketika kuliah dan pekerjaan ngotot untuk ditempatkan pada prioritas utama. Dulu, ia sempat berkhayal untuk jadi pengangguran saja. Agar bisa membaca dan menulis sepanjang hari. Benar-benar menulis hal yang diinginkan. Tanpa intervensi. Tanpa desakan dari luar. Tanpa dikejar-kejar deadline. Menulis untuk menghayati kehidupan. Ia muak melakukan hal yang disukai dengan diburu-buru.
Meski kadang,
terlalu banyak waktu untuk melakukan sesuatu juga jadi membosankan. Begitulah
manusia. Tidak diberi, memohon-mohon untuk diberi. Diberi dengan melimpah,
malah jadi bosan dan tidak mensyukuri. Tapi, ia tetap bertahan. Sebab ia
menyadari waktu yang diberikan kini adalah pengabulan atas gumaman atau pikiran
selintas atau jeritan dalam hati spontannya yang lalu-lalu, kapan aku punya waktu untuk menulis,
ketika harus pergi bekerja pagi-pagi sekali dan pulang malam sekali. Ketika di kala
weekend pun harus mengurusi pekerjaan
lain. Dan ketika-ketika lainnya. Ia pun menyadari, semua ketika-ketika itu pun,
kegiatan yang menyita waktunya itu, ia yang meminta melalui gumaman atau
pikiran selintas atau jeritan dalam hati.
Beberapa hal masih
diingatnya. Dimulai saat ia ingin bersekolah di luar kota kelahirannya. Beberapa saat kemudian, meski tidak langsung
pada saat ia meminta, keinginannya terwujud. Lalu, saat ia ingin kembali
bersekolah di kota kelahirannya; ingin berdekatan kembali dengan orang tuanya.
Beberapa waktu kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta,
keinginannya juga terwujud.
Kemudian, saat
ingin kos dan kuliah di sebuah kota. Saat ingin takhanya kuliah saja, tapi juga
sambil bekerja. Saat ingin aktif dalam berbagai organisasi. Saat ia ingin
memiliki banyak waktu untuk mendalami agamanya. Saat ingin merasakan bekerja
dari pagi hingga malam hari. Saat ingin punya waktu banyak untuk berkegiatan di
luar. Saat ingin menikah. Saat ingin memiliki anak. Saat ingin punya waktu
untuk menulis sepuasnya. Semua waktu yang diinginkannya untuk dapat melakukan
sesuatu hal pada akhirnya didapatnya. Meski pengabulannya tidak pada saat itu.
Meski lebih banyak dimintanya melalui gumanan atau pikiran yang tiba-tiba
terlintas atau jeritan dalam hati, bukan berdoa dengan sadar pada waktu-waktu
tertentu.
Bahwa
akan selalu ada waktu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, meskipun tidak sekarang. Itu sebuah pembelajaran yang
dipetiknya setelah melewati beberapa episode hidup. Jadi, fokus saja terhadap apa pun kesempatan yang diberikan saat ini.
Sebab, waktu berlimpah yang diberikan ini berbatas dan akan tiba waktu untuk melakukan
sesuatu yang lain yang (sebenarnya) juga atas keinginan sendiri. Sebab
keinginan manusia untuk melakukan ini dan itu begitu banyak.
Dulu, ia memiliki
pendekatan lain dalam memandang waktu yang diberikan untuk berkesempatan
melakukan sesuatu. Ketika diberikan waktu untuk berkesempatan melakukan A, saat
bosan, ia bergegas dan menjerit-jerit ingin diberikan waktu untuk dapat
melakukan B, sehingga takdapat menikmati proses melakukan A secara penuh. Sebab
sementara tubuhnya menjalani kegiatan A, pikirannya menjelajah pada B. Dan ketika
mendapatkan kesempatan melakukan B, hal yang sama terulang lagi. Tubuhnya
menjalani kegiatan B, pikirannya menjelajah pada kegiatan C. Begitu seterusnya.
Hingga akhirnya ia bingung sendiri dan bertanya pada diri, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?
Itu sebabnya, saat
ini, jika ada teman yang curhat tentang waktu, tentang kesempatan ingin
melakukan ini itu, ia akan selalu bilang, nikmati
waktu dan kesempatan saat ini, sebab belum tentu nanti akan diberikan
kesempatan untuk melakukannya lagi. Kepada teman yang belum menikah ia akan
bilang, nikmati kesendirianmu dan
maksimalkan penggunaan waktumu saat masih sendiri sebab belum tentu nanti kamu
akan diberikan kesempatan seperti ini lagi. Kepada teman yang belum
dikarunia anak, ia akan bilang, nikmati
keaadaan sekarang dan maksimalkan waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu
yang tidak akan bisa kamu lakukan lagi setelah memiliki anak nanti. Sebab
hanya dengan begitu kita dapat benar-benar menikmati hidup dan kesempatan yang
diberikan saat ini.
Salam,
Nanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar