Jumat, 14 Juni 2013

Jendela, Ia, Waktu



Jendela
Sepasang jendela di sebuah kamar. Satu dan yang lainnya tegak bersisian. Lebar kedua jendela itu, jika digabung, selebar rentangan kedua tangan. Panjangnya, bukan seperti jendela yang menghabiskan dinding hingga nyaris menyentuh lantai. Seperti layaknya kebanyakan jendela saja. Setengah dinding lebih sedikit. Kacanya yang nyaris hitam adalah persegi panjang vertikal berkolom dua dan berbaris tiga. Begitu pun dengan jendela yang satunya. Serupa anak kembar.    

Di luar, ada dinding bercat putih setinggi rumah, berjarak sekitar satu meter dari jendela. Pada ruang antara jendela dan dinding, empat pot besar berisi tanaman berdaun hijau pekat, panjang, dan lebar, dijajarkan. Dua pot besar yang posisinya ditengah diletakkan lebih tinggi, menggunakan semacam penyangga, hingga daunnya yang jadi setinggi setengah jendela terlihat dari kamar. Dua pot lainnya diletakkan di sisi sebelah kiri dan kanan, di atas lantai. Daunnya pun menyembul hampir setengah jendela, sebab lebih tinggi, panjang, dan besar. Selain empat pot besar itu, terdapat tiga pot kecil disekitarnya bila melongokkan kepala keluar jendela. Namun daun-daunnya tidak terlihat dari kamar.

Ruang di antara jendela dan dinding dibuat tanpa atap. Hanya besi-besi yang saling berkait membentuk bujur sangkar kecil-kecil. Membikin hujan dan angin leluasa menyelusup. Menyejukkan hawa kamar bila jendela dibuka. Bila angin datang, dedaunan akan bergoyang seperti mengangguk-angguk. Bila hujan yang datang, air yang jatuh pada permukaan dedaunan akan memantul ke kaca jendela, menyisakan serupa embun rintik, nyaris hampir menutupi setengah di bagian bawahnya. Ada sedikit atap fiber di atas jendela yang fungsinya melindungi agar tidak kuyup bila hujan bertamu.

Kusen dan teralis jendela berwarna putih tulang. Teralis berbesi pipih. Berkait-kait menyerupai macam-macam bangun dua dimensi. Pada tepi kiri dan kanan, besi teralis membentuk susunan segi empat dan persegi panjang vertikal. Pada bagian tengah, membentuk susunan segitiga, jajaran genjang, belah ketupat, dan trapesium yang berulang-ulang. Pun dengan jendela di sebelahnya.  


 gambar diambil dari sini

Ia
Sebuah tempat tidur menelentang dibalik jendela. Tempat tidur dengan lebar 120 cm. Di sinilah ia menghabiskan sebagian harinya. Ditemani sebuah laptop yang diletakkan di atas tumpukan bantal. Ia suka mengetik di atas kasur yang bersisian dengan kedua jendela. Tidak di kursi dan meja yang juga terdapat di dalam kamar itu. Kursinya membelakangi jendela dan menghadap dinding mati. Kerap membuatnya mengantuk dan kehabisan ide.

Sejak mulai subuh hingga lepas magrib, ia akan membiarkan jendela itu terbuka setengahnya. Tidak dibuka sepenuhnya sebab akan membengkokkan beberapa helai daun yang nyaris menyentuh kaca jendela. Namun angin tetap leluasa masuk ke dalam kamar. Angin yang membuatnya merasa sedang duduk dan menulis di sebuah taman hijau lepas. Sambil menyelonjorkan sebelah kaki bergantian atau bersila di atas rumput.

Pagi ini, cuaca redup. Angin berbondong-bondong masuk dari atas melalui celah-celah persegi. Menggoyangkan daun-daun. Mereka bergesekan satu sama lain. Menimbulkan gerisik. Gerimis takmau kalah mengikuti angin. Mengetuk-ngetuk atap fiber dan dedaunan. Permukaan daun basah. Juga dinding di dekatnya. Namun rintik air yang menyentuh permukaan dedaunan, tidak memercik ke kaca jendela. Mungkin bersebab hujan tidak deras.

Ia masih terus menulis. Sesekali menatap daun-daun yang tengah menari bersama angin. Sesekali sambil mendengarkan ketukan gerimis. Sesekali mengubah posisi kaki. Sesekali juga berbaring sebentar meluruskan punggung. Ia menulis sejak selepas subuh tadi. Hampir setiap hari pada waktu yang sama. Sebab di kala subuh, pikirannya serupa sumber mataair yang mengalir. Hingga pada waktu tertentu. Setelahnya ia akan jeda agak lama. Melakukan hal lain. Lalu selepas makan siang, kembali lagi. Meski pikirannya tidak sejernih di subuh hari.

Namun ia suka siang seperti saat ini. Cuaca masih redup. Bila siang, biasanya cahaya matahari juga ikut-ikutan memancar dari atas. Menggaris-garis dinding. Namun tidak sampai masuk kamar. Siang kali ini, tidak ada cahaya  yang memancar. Meski gerimis juga telah pergi. Hanya angin yang sesekali masih menggoyangkan daun-daun. Dan ada nyanyian burung. Barangkali berasal dari rumah tetangga. Beberapa tetangga terdekat gemar memelihara burung. Hawa siang ini masih menyerupai pagi. Itu membantunya untuk bertahan di depan laptop. Dari sudut mata, dedaunan masih menari. Kadang pelan, kadang cepat. Tergantung mood angin.         

Waktu
Sejak beberapa waktu ke belakang, ia memiliki waktu yang melimpah untuk menulis. Sesuatu yang didambanya semenjak dulu. Ketika menulis hanya dilakukan pada sisa waktu. Dengan energi sisa pula. Ketika kuliah dan pekerjaan ngotot untuk ditempatkan pada prioritas utama. Dulu, ia sempat berkhayal untuk jadi pengangguran saja. Agar bisa membaca dan menulis sepanjang hari. Benar-benar menulis hal yang diinginkan. Tanpa intervensi. Tanpa desakan dari luar. Tanpa dikejar-kejar deadline. Menulis untuk menghayati kehidupan. Ia muak melakukan hal yang disukai dengan diburu-buru.

Meski kadang, terlalu banyak waktu untuk melakukan sesuatu juga jadi membosankan. Begitulah manusia. Tidak diberi, memohon-mohon untuk diberi. Diberi dengan melimpah, malah jadi bosan dan tidak mensyukuri. Tapi, ia tetap bertahan. Sebab ia menyadari waktu yang diberikan kini adalah pengabulan atas gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati spontannya yang lalu-lalu, kapan aku punya waktu untuk menulis, ketika harus pergi bekerja pagi-pagi sekali dan pulang malam sekali. Ketika di kala weekend pun harus mengurusi pekerjaan lain. Dan ketika-ketika lainnya. Ia pun menyadari, semua ketika-ketika itu pun, kegiatan yang menyita waktunya itu, ia yang meminta melalui gumaman atau pikiran selintas atau jeritan dalam hati.

Beberapa hal masih diingatnya. Dimulai saat ia ingin bersekolah di luar kota kelahirannya.  Beberapa saat kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya terwujud. Lalu, saat ia ingin kembali bersekolah di kota kelahirannya; ingin berdekatan kembali dengan orang tuanya. Beberapa waktu kemudian, meski tidak langsung pada saat ia meminta, keinginannya juga terwujud.

Kemudian, saat ingin kos dan kuliah di sebuah kota. Saat ingin takhanya kuliah saja, tapi juga sambil bekerja. Saat ingin aktif dalam berbagai organisasi. Saat ia ingin memiliki banyak waktu untuk mendalami agamanya. Saat ingin merasakan bekerja dari pagi hingga malam hari. Saat ingin punya waktu banyak untuk berkegiatan di luar. Saat ingin menikah. Saat ingin memiliki anak. Saat ingin punya waktu untuk menulis sepuasnya. Semua waktu yang diinginkannya untuk dapat melakukan sesuatu hal pada akhirnya didapatnya. Meski pengabulannya tidak pada saat itu. Meski lebih banyak dimintanya melalui gumanan atau pikiran yang tiba-tiba terlintas atau jeritan dalam hati, bukan berdoa dengan sadar pada waktu-waktu tertentu.       

Bahwa akan selalu ada waktu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, meskipun tidak sekarang. Itu sebuah pembelajaran yang dipetiknya setelah melewati beberapa episode hidup. Jadi, fokus saja terhadap apa pun kesempatan yang diberikan saat ini. Sebab, waktu berlimpah yang diberikan ini berbatas dan akan tiba waktu untuk melakukan sesuatu yang lain yang (sebenarnya) juga atas keinginan sendiri. Sebab keinginan manusia untuk melakukan ini dan itu begitu banyak.

Dulu, ia memiliki pendekatan lain dalam memandang waktu yang diberikan untuk berkesempatan melakukan sesuatu. Ketika diberikan waktu untuk berkesempatan melakukan A, saat bosan, ia bergegas dan menjerit-jerit ingin diberikan waktu untuk dapat melakukan B, sehingga takdapat menikmati proses melakukan A secara penuh. Sebab sementara tubuhnya menjalani kegiatan A, pikirannya menjelajah pada B. Dan ketika mendapatkan kesempatan melakukan B, hal yang sama terulang lagi. Tubuhnya menjalani kegiatan B, pikirannya menjelajah pada kegiatan C. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya ia bingung sendiri dan bertanya pada diri, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?

Itu sebabnya, saat ini, jika ada teman yang curhat tentang waktu, tentang kesempatan ingin melakukan ini itu, ia akan selalu bilang, nikmati waktu dan kesempatan saat ini, sebab belum tentu nanti akan diberikan kesempatan untuk melakukannya lagi. Kepada teman yang belum menikah ia akan bilang, nikmati kesendirianmu dan maksimalkan penggunaan waktumu saat masih sendiri sebab belum tentu nanti kamu akan diberikan kesempatan seperti ini lagi. Kepada teman yang belum dikarunia anak, ia akan bilang, nikmati keaadaan sekarang dan maksimalkan waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu yang tidak akan bisa kamu lakukan lagi setelah memiliki anak nanti. Sebab hanya dengan begitu kita dapat benar-benar menikmati hidup dan kesempatan yang diberikan saat ini.  

gambar diambil dari sini

Salam,


Nanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar