Rabu, 12 Juni 2013

Krisis Percaya Diri


Tujuanku adalah sebuah toko kelontong modern. Kita dapat menjumpai kembarannya pada tiap satu kilo meter sepanjang jalan. Usaha yang sering diteriaki sebagai kapitalis namun tetap saja, sang peneriak masih betah berbelanja di sana. Barangkali termasuk aku. Barangkali bersebab tempatnya yang lebih nyaman dan berhawa dingin. Barangkali bersebab bisa puas berputar-putar mencermati satu persatu barang hingga terpilih sebuah yang akan dibeli. Barangkali bersebab banyak diskon yang ditawarkan.

Meski, ketika membuka pintu toko, sang kasir selalu mengucapkan selamat pagi atau siang atau sore atau malam tanpa menunjukkan wajah. Akan tetapi, bukankah juga taksemua pemilik toko kelontong biasa menunjukkan muka ramah? Meski, kadang harga untuk item yang dibeli sedang tinggi dibanding hari-hari biasa. Akan tetapi, bukankah harga barang di toko kelontong biasa malah kebanyakan lebih mahal? 

Toko kelontong modern yang kutuju, agak lebih besar dibanding dengan yang kerap bertaburan. Hawa dingin langsung menerpa begitu aku masuk. Kontras dengan kondisi di luar. Para pegawai yang tampak, ada yang sedang menghitung belanjaan pembeli, menata barang, dan mengepel lantai. Sebuah TV flat cukup besar tergantung di dinding sebelah kanan. Mendengungkan jingle toko. Menayangkan iklan toko. Rak-rak yang berbaris rapi hanya setinggi bahu perempuan Indonesia dewasa. Barangkali sengaja di desain begitu agar pembeli di semua lorong dapat meihat iklan di TV. 

Aku memasuki salah satu lorong di antara rak. Asal saja. Meski ingat apa yang ingin kubeli. Ingin sedikit berkeliling dulu sambil mencermati barang-barang lain. Melihat harganya. Lalu membandingkan dengan harga barang serupa di tempat lain. Setelah puas, baru melongok mencari barang yang kubutuhkan. Baby oil dan lulur mandi. Hari ini aku beruntung. Baby oil merk tertentu, isi dua ratus ml, harganya sama dengan isi seratus ml. Lalu, berpindah ke rak lulur mandi. Mencermati, membaca, menimbang, memilih sebuah dengan fungsi yang diinginkan, harga yang pas, dan merk yang tidak abal-abal, lalu menuju kasir.

Sang kasir sedang menghitung belanjaan seorang pembeli. Aku berdiri di belakangnya. Sambil menunggu, aku memperhatikan iklan di TV yang sedari tadi suaranya berputar-putar di telinga.

Seorang laki-laki muda sedang duduk di belakang setir. Lalu, secara tiba-tiba, jok mobil dipenuhi teman-temannya. Takberapa lama, mereka kabur, setelah sebelumnya menutup hidung. Tinggal si empunya mobil yang tetap duduk di belakang setir. Wajahnya nelangsa. Jok yang tadinya bersih, kini terlihat kusam. Lalu, laki-laki itu membeli pewangi mobil dari toko kelontong modern. Setelah ruang dalam mobil dipasang pewangi dan body mobil diperbagus, teman-temannya pun kembali.

Itu tadi visualisasinya. Narasi dari iklan tadi kira-kira begini:

Andi (laki-laki muda) memiliki sebuah mobil. Dengan mobilnya, ia dan teman-temannya hangout. Tetapi lama-lama, teman-temannya takmau lagi pergi dengan mobil Andi. Sebab mobilnya bau. Andi pun sedih. Kemudian, ia membeli pewangi mobil dari sebuah toko kelontong modern. Setelah mobilnya di pasang pewangi dan body mobilnya di perkeren, akhirnya teman-temannya kembali mau kongkow bareng Andi. Dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri.

Giliranku membayar belanjaan. Ketika menunggu kasir selesai menghitung, ujung narasi iklan itu melantun-lantun dalam benakku. Dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri. Aku menyerahkan sejumlah uang, mengecek nota, lalu keluar toko dengan diiringi ucapan terima kasih tanpa wajah dari kasir dan ujung narasi iklan yang menempel di benak.

Aku berjalan lebih menepi dan lebih hati-hati. Sebab pikiranku mulai lepas, menjelajah ke sana kemari. Siapa yang membuat naskah iklan itu? Apa ia tengah sadar ketika membikin kalimat, dengan mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri?  Disadari atau tidak, si pembuat naskah mengaitkan antara kebendaan dan rasa percaya diri. Ingatanku lantas menjalar pada beberapa tahun yang telah lepas. Menemukan sebuah tugas akhir yang berjudul,”Hubungan Antara brand Pakaian Dengan Rasa Percaya Diri”. Berkorelasi.

Mendapatkan rasa percaya diri dengan mengenakan sejumlah atribut, memang cara yang sungguh menggoda. Cara yang mudah dan instan. Takperlu bersusah-susah memupuknya dari dalam diri. Cukup dengan membeli benda-benda yang kamu anggap dapat meningkatkan rasa percaya dirimu. Selesai. Rasa percaya diri pun (seolah) meningkat. Dengan segala benda-benda itu, kamu dapat berjalan dengan menegakkan kepala dan tersenyum lebar pada dunia. Selain dengan cara memakai beragam atribut, cara mudah lainnya untuk mendapatkan rasa percaya diri adalah dengan merendahkan dan memandang buruk orang lain, sehingga merasa diri lebih baik. Mudah. Namun akibatnya, fatal.

Sebab, ketika atribut yang dikenakan hilang, rasa percaya diri pun ikut hilang. Aku jadi paham mengapa banyak orang yang ketika harta bendanya hilang, ia bisa sangat terpukul. Bahkan sakit-sakitan. Sebab sesungguhnya yang hilang itu lebih dari sekedar harta benda. Sesugguhnya yang hilang itu adalah rasa percaya dirinya sebagai manusia. Dengan tiadanya rasa percaya diri, ia jadi takberdaya menghadapi dunia.

Aku lalu berpikir, apa jadinya jika banyak orang yang rasa percaya dirinya terkait dengan atribut atau kebendaan atau materi? Berarti banyak orang yang akan terus-terusan membeli dan membeli sejumlah atribut yang menurutnya membuat rasa percaya dirinya bertambah. Itu artinya, mereka menjadi orang yang konsumtif. Jika mereka tinggal dalam sebuah negeri, maka banyak orang dalam negeri tersebut adalah orang yang konsumtif. Kondisi ini, di mana sebuah negeri dihuni oleh mayoritas orang yang konsumtif, akan membuat para pebisnis (baca: kapitalis) bergairah untuk terus-terusan menyediakan sejumlah benda yang dapat membuat rasa percaya diri orang-orang ini bertambah.

Lalu, dengan terus-terusan tersedianya banyak benda yang dianggap dapat membuat rasa percaya diri meningkat, terlebih lagi jika benda-benda itu memiliki masa trend-nya, maka orang-orang pun akan terus berusaha dan berusaha memiliki segala benda itu. Terus menggantinya dengan model terbaru. Sebab atribut-atribut jadul justru akan menjadikan rasa percaya diri tergadai. Lalu, apa yang akan dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut? Tentu saja, memikirkan bagaimana mencari dana sebanyak mungkin agar dapat membeli dan memiliki segala atribut itu. Di mulai dari bekerja keras nyaris serupa robot, sampai memikirkan segala peluang yang mungkin, hingga mencari jalan pintas.

Jika sebuah negeri dihuni oleh mayoritas orang yang rasa percaya dirinya bergantung dari atribut yang dikenakannya, wajar bila banyak orang di dalamnya memiliki sifat konsumtif dan akhirnya menghalalkan segala cara dalam memenuhinya, bukan?

Jalanan makin ramai oleh kendaraan. Terlebih, aku melewati sebuah jalan yang salah satu pinggirnya sedang dalam penggalian sehingga hanya sisi lainnya yang dapat digunakan oleh pejalan kaki, pengendara, dan kendaraan yang parkir. Aku menghentikan kegiatan berpikirku, demi berkonsentrasi melewati jalanan tersebut.

Salam,


Nanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar