Tujuanku adalah sebuah
toko kelontong modern. Kita dapat menjumpai kembarannya pada tiap satu kilo
meter sepanjang jalan. Usaha yang sering diteriaki sebagai kapitalis namun
tetap saja, sang peneriak masih betah berbelanja di sana. Barangkali termasuk
aku. Barangkali bersebab tempatnya yang lebih nyaman dan berhawa dingin. Barangkali
bersebab bisa puas berputar-putar mencermati satu persatu barang hingga
terpilih sebuah yang akan dibeli. Barangkali bersebab banyak diskon yang
ditawarkan.
Meski, ketika
membuka pintu toko, sang kasir selalu mengucapkan selamat pagi atau siang atau
sore atau malam tanpa menunjukkan wajah. Akan tetapi, bukankah juga taksemua
pemilik toko kelontong biasa menunjukkan muka ramah? Meski, kadang harga untuk
item yang dibeli sedang tinggi dibanding hari-hari biasa. Akan tetapi, bukankah
harga barang di toko kelontong biasa malah kebanyakan lebih mahal?
Toko kelontong
modern yang kutuju, agak lebih besar dibanding dengan yang kerap bertaburan.
Hawa dingin langsung menerpa begitu aku masuk. Kontras dengan kondisi di luar. Para
pegawai yang tampak, ada yang sedang menghitung belanjaan pembeli, menata
barang, dan mengepel lantai. Sebuah TV flat cukup besar tergantung di dinding
sebelah kanan. Mendengungkan jingle toko. Menayangkan iklan toko. Rak-rak yang
berbaris rapi hanya setinggi bahu perempuan Indonesia dewasa. Barangkali
sengaja di desain begitu agar pembeli di semua lorong dapat meihat iklan di
TV.
Aku memasuki salah
satu lorong di antara rak. Asal saja. Meski ingat apa yang ingin kubeli. Ingin
sedikit berkeliling dulu sambil mencermati barang-barang lain. Melihat
harganya. Lalu membandingkan dengan harga barang serupa di tempat lain. Setelah
puas, baru melongok mencari barang yang kubutuhkan. Baby oil dan lulur mandi. Hari ini aku beruntung. Baby oil merk
tertentu, isi dua ratus ml, harganya sama dengan isi seratus ml. Lalu,
berpindah ke rak lulur mandi. Mencermati, membaca, menimbang, memilih sebuah
dengan fungsi yang diinginkan, harga yang pas, dan merk yang tidak abal-abal,
lalu menuju kasir.
Sang kasir sedang
menghitung belanjaan seorang pembeli. Aku berdiri di belakangnya. Sambil
menunggu, aku memperhatikan iklan di TV yang sedari tadi suaranya
berputar-putar di telinga.
Seorang
laki-laki muda sedang duduk di belakang setir. Lalu, secara tiba-tiba, jok
mobil dipenuhi teman-temannya. Takberapa lama, mereka kabur, setelah sebelumnya
menutup hidung. Tinggal si empunya mobil yang tetap duduk di belakang setir.
Wajahnya nelangsa. Jok yang tadinya bersih, kini terlihat kusam. Lalu,
laki-laki itu membeli pewangi mobil dari toko kelontong modern. Setelah ruang
dalam mobil dipasang pewangi dan body mobil diperbagus, teman-temannya pun
kembali.
Itu tadi
visualisasinya. Narasi dari iklan tadi kira-kira begini:
Andi
(laki-laki muda) memiliki sebuah mobil. Dengan mobilnya, ia dan teman-temannya hangout.
Tetapi lama-lama, teman-temannya takmau lagi pergi dengan mobil Andi. Sebab
mobilnya bau. Andi pun sedih. Kemudian, ia membeli pewangi mobil dari sebuah
toko kelontong modern. Setelah mobilnya di pasang pewangi dan body mobilnya di
perkeren, akhirnya teman-temannya kembali mau kongkow bareng Andi. Dengan mobil
wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri.
Giliranku membayar
belanjaan. Ketika menunggu kasir selesai menghitung, ujung narasi iklan itu
melantun-lantun dalam benakku. Dengan
mobil wangi dan body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya
diri. Aku menyerahkan sejumlah uang, mengecek nota, lalu keluar toko dengan
diiringi ucapan terima kasih tanpa wajah dari kasir dan ujung narasi iklan yang
menempel di benak.
Aku berjalan lebih menepi dan lebih hati-hati. Sebab pikiranku mulai lepas, menjelajah ke sana
kemari. Siapa yang membuat naskah iklan itu? Apa ia tengah sadar ketika
membikin kalimat, dengan mobil wangi dan
body mobil yang lebih keren, Andi pun merasa lebih percaya diri? Disadari atau tidak, si pembuat naskah
mengaitkan antara kebendaan dan rasa percaya diri. Ingatanku lantas menjalar
pada beberapa tahun yang telah lepas. Menemukan sebuah tugas akhir yang
berjudul,”Hubungan Antara brand Pakaian Dengan Rasa Percaya Diri”. Berkorelasi.
Mendapatkan rasa
percaya diri dengan mengenakan sejumlah atribut, memang cara yang sungguh
menggoda. Cara yang mudah dan instan. Takperlu bersusah-susah memupuknya dari
dalam diri. Cukup dengan membeli benda-benda yang kamu anggap dapat
meningkatkan rasa percaya dirimu. Selesai. Rasa percaya diri pun (seolah)
meningkat. Dengan segala benda-benda itu, kamu dapat berjalan dengan menegakkan
kepala dan tersenyum lebar pada dunia. Selain dengan cara memakai beragam
atribut, cara mudah lainnya untuk mendapatkan rasa percaya diri adalah dengan
merendahkan dan memandang buruk orang lain, sehingga merasa diri lebih baik.
Mudah. Namun akibatnya, fatal.
Sebab, ketika
atribut yang dikenakan hilang, rasa percaya diri pun ikut hilang. Aku jadi
paham mengapa banyak orang yang ketika harta bendanya hilang, ia bisa sangat
terpukul. Bahkan sakit-sakitan. Sebab sesungguhnya yang hilang itu lebih dari
sekedar harta benda. Sesugguhnya yang hilang itu adalah rasa percaya dirinya
sebagai manusia. Dengan tiadanya rasa percaya diri, ia jadi takberdaya
menghadapi dunia.
Aku lalu berpikir,
apa jadinya jika banyak orang yang rasa percaya dirinya terkait dengan atribut
atau kebendaan atau materi? Berarti banyak orang yang akan terus-terusan
membeli dan membeli sejumlah atribut yang menurutnya membuat rasa percaya
dirinya bertambah. Itu artinya, mereka menjadi orang yang konsumtif. Jika
mereka tinggal dalam sebuah negeri, maka banyak orang dalam negeri tersebut
adalah orang yang konsumtif. Kondisi ini, di mana sebuah negeri dihuni oleh
mayoritas orang yang konsumtif, akan membuat para pebisnis (baca: kapitalis) bergairah
untuk terus-terusan menyediakan sejumlah benda yang dapat membuat rasa percaya
diri orang-orang ini bertambah.
Lalu, dengan
terus-terusan tersedianya banyak benda yang dianggap dapat membuat rasa percaya
diri meningkat, terlebih lagi jika benda-benda itu memiliki masa trend-nya, maka orang-orang pun akan
terus berusaha dan berusaha memiliki segala benda itu. Terus menggantinya
dengan model terbaru. Sebab atribut-atribut jadul
justru akan menjadikan rasa percaya diri tergadai. Lalu, apa yang akan dilakukan
untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut? Tentu saja, memikirkan bagaimana
mencari dana sebanyak mungkin agar dapat membeli dan memiliki segala atribut
itu. Di mulai dari bekerja keras nyaris serupa robot, sampai memikirkan
segala peluang yang mungkin, hingga mencari jalan pintas.
Jika sebuah negeri
dihuni oleh mayoritas orang yang rasa percaya dirinya bergantung dari atribut
yang dikenakannya, wajar bila banyak orang di dalamnya memiliki sifat
konsumtif dan akhirnya menghalalkan segala cara dalam memenuhinya, bukan?
Jalanan makin ramai
oleh kendaraan. Terlebih, aku melewati sebuah jalan yang salah satu pinggirnya
sedang dalam penggalian sehingga hanya sisi lainnya yang dapat digunakan oleh
pejalan kaki, pengendara, dan kendaraan yang parkir. Aku menghentikan kegiatan
berpikirku, demi berkonsentrasi melewati jalanan tersebut.
Nanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar